Wednesday, April 8, 2015

Aku dan Bekas Petinggi Jemaah Islamiyah


Tragedi itulah rupanya yang membuatnya gelisah. Peristiwa itu baginya adalah titik balik dari perjalanan panjangnya sebagai pentolan Jemaah Islamiyah sejak 1984.


ABDUL Rahman Ayub, itulah namanya. Aku bertemu dan berbincang dengannya suatu senja di Kota Bengawan pertengahan 2013 silam. Tak kusangka, pertemuan itu sangat membekas di hatiku. Sampai saat ini, ketika isu radikalisme digoreng menjadi santapan nikmat oleh sejumlah kelompok orang, sosok Ayub mendadak hadir dalam ingatanku.

Wajah Ayub menyiratkan keseriusan ketika berkisah kepadaku. Siapa sangka, lelaki sepuh dan berjenggot itu adalah bekas petinggi Jamaah Islamiyah. Ia bahkan menjadi salah satu orang orang yang paling diincar polisi Australia pascabom Bali I. Namun, gara-gara tragedi itulah, Ayub menemukan jalan terang. Pria kelahiran 5 Maret 1963 silam ini sadar sepenuh jiwa, pemahamannya tentang yang ia imani selama ini keliru.

Suatu malam, pertengahan Oktober 2002 silam, kisah Ayub, ia dikejutkan sebuah berita pada tayangan televisi. Saat itu, ia saksikan asap hitam membumbung tinggi di langit Legian, Kuta, Bali, 12 Oktober 2002. Sebuah bom berdaya ledak tinggi menghancurkan Paddy’s Pub dan Sari Club (SC). Lebih dari 200 nyawa melayang. Ratusan orang cedera dan terluka.

“Aku sudah menduga, itu pasti ulah Hambali, teman seangkatan saya di Afghanistan ,” kata dia.

Aku tertegun mendengar kisah-kisahnya. Wajah Ayub masih serius. Sekadar diketahui, Ayub pernah belajar di Akademi Militer (Akmil) Mujahidin Afghanistan Kamp Ijtihad Islami Abdul Rasul Sayaf.

Tragedi itulah rupanya yang membuatnya gelisah. Peristiwa itu baginya adalah titik balik dari perjalanan panjangnya sebagai pentolan Jemaah Islamiyah sejak 1984.

Perlahan ia lantas meragukan sepak terjang organisasi JI yang menurutnya telah keluar dari manhaj atau doktrin yang ia pelajari sejak awal. Pemahaman keislaman Ayub pun mulai perlahan tercerahkan setelah intens berdiskusi dengan para syekh asal Madinah yang membuatnya sangat terpukai oleh kecerdasan dan kealimannya.
“Para ulama dari Madinah tak sekadar hafal Alquran. Mereka bahkan hafal dan mengusasi tafsir tujuh kitab hadits termasyhur.”

Aku terpana ketika Ayub berkisah tentang kemahirannya membikin bom. Baginya, merakit bom adalah aktivitas yang paling gampang. “Merem pun, saya bisa bikin bom,” ujarnya.
Begitu pun soal doktrin, Ayub bahkan mengaku bisa mencuci otak anak remaja hingga antipati kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hanya dalam waktu dua jam. Ayub cukup beberkan kepingan fakta sejarah NKRI hingga dalil-dalil agama yang intinya bahwa negara Indonesia ini kafir dan harus diganti.

“Apalagi orang awam, dikasih tulisan berbahasa Arab saja langsung dicium-cium. Padahal, bisa jadi itu iklan handphone,” ujarnya.

Ayub bergabung dengan JI ketika masih duduk di kelas II STM Boedi Oetomo Lapangan Banteng Jakarta. Di usia yang 17 tahun kala itu, Ayub ikut pengajian di salah satu masjid daerah Kramat Raya. Dari sanalah, lorong samar itu terbentang. Ia lantas mengenal Sulaiman Mahmud, komandan Darul Islam Aceh. Kemudian ia mengenal sejumlah petinggi Jamaah Islamiyah hingga ia dibaiat untuk setia di Solo 1984.

Setahun berikutnya, Ayub menempuh ilmu kemiliteran di Afghanistan selama lima tahun. Di sana, selain jago bertempur melawan Uni Soviet (Rusia), Ayub juga seorang pengajar Akmil para milisi JI pimpinan Osamah Bin Laden. Ia memiliki sejumlah murid asal Indonesia yang sudah “terkenal”, antara lain Imam Amrozy dan Imam Samodra.

Untuk menjadi seorang pengajar, kata Ayub, mereka harus diambil dari murid yang cerdas dan berbakat. Bagi murid yang dianggap kurang cerdas, akan dikembalikan ke tanah airnya. Aku masih ingat, Ayub sempat menyebut Hambali sebagai pelajar kurang cerdas. “Ia dipulangkan ke Indonesia gara-gara dianggap kurang cerdas itu,” katanya.

Lima tahun berikutnya, Ayub bergerak di Sabah, Malaysia, tepatnya di Sandakan, tak jauh dari Lahad Datu. Di sana, ia menjadi semacam penghubung atau kurir bagi mujahidin yang hendak berlatih ke Moro, Filipina, melalui jalur Malaysia. “Saya pernah mengirim Omar Patek, Abu Tolut dan banyak lagi,’’ ungkapnya.

Pada 1997-2002, Ayub lantas ditugaskan petinggi JI ke Australia. Alasannya, Ayub dinilai cukup mahir dalam berdakwah. Di sana, ia masih menjabat sebagai pentolan Jamaah Islamiyah (JI) divisi kekuatan ekonomi dan politik. Ia juga berdakwah dan memiliki murid cukup banyak. Salah satunya, bernama Jack Roche, imigran asal Inggris yang memeluk Islam karena dakwahnya. “Namun, dia ditangkap polisi lantaran merencanakan pengeboman Kedutaan Israel di Canberra.”


Ayub hidup mapan di Australia. Ia tak boleh bekerja, sebab segala kebutuhan hidupnya dicukupi oleh JI. Uang bulanannya saja saat itu berkisar Rp5 juta/ bulan. Belum uang transport pesawat, dan lain-lainnya. “Akses internet saat itu bagus. Saya sering berdiskusi dengan ulama Madinah sampai akhirnya tercerahkan,” paparnya


No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates