Monday, April 6, 2015

Sembahyang

Sama seperti lukisan kaligrafi yang menyimbol dalam identitas Islam, umat Nasrani memiliki salib sebagai salah satu identitas diri. Simbol dalam sejarah yang paling panjang sekalipun—mulai zaman primitif hingga zaman modern yang serba fiktif—akan tetap hadir. Sebab, simbol selalu mengejawantahkan kehadiran yang tak terjangkau. Ia akan selalu dilahirkan agar manusia bisa meraba.

Ini hanya sekelumit kisah tentang simbol dari seorang bapak yang kujumpai di suatu hari tanpa persengajaan sebelumnya.

“Sudah sembahyang, Mas?” tanyanya.
“Belum, Pak!”
“Di rumah saya saja. Keburu sore lho,” tawarnya.

Saya tak bisa mengelak. Diajaklah saya masuk ke dalam rumahnya. Di sana tak kutemukan simbol kaligrafi, salib, atau patung. Saya lega. Sebab, dari awal saya memang tak ingin tahu apa keyakinan atau agama bapak itu. Saya percaya hubungan kemanusiaan itu memang semestinya utuh, tulus, tanpa berjarak keyakinan yang berbeda. Saya hanya ingin mengetahui kebaikan bapak itu. Seorang yang mengajakku keliling naik kendaraanya, mampir ke warung makan, dan menawariku sembayang setelah menuntaskan pekerjaanku.

* * *

Tawaran sembayang itu memang sempat membuatku menarik konklusi bahwa bapak itu mungkin se-iman denganku. Saya pun bergegas menuju kamar mandi, menuntaskan hajat kecil, dan mengambil air wudhu. Di sebuah ruangan yang kusangka adalah musala kecil itu, aku khidmat merapal doa dalam hati. Aku himpun segenap kekuatan untuk mentakbirkan segala kebesaran-Nya lalu aku tundukkan segala kedha’ifanku, duniaku, dan kefana’anku.

“Allahu Akbar....”Aku angkat pandanganku ke haribaan-Nya. Aku baca segala janji yang kuhapal sejak kecil. Aku himpun hatiku agar sanggup menghadirkan kekhusu’an. Namun belum seberapa lama itu, tiba-tiba sepasang mataku menatap sebuah simbol salib tepat di depanku. Aku termenung sesaat. Siapakah gerangan yang di hadapanku itu. Simbol identitaskah? Simbol keyakinan yang berbedakah? Ataukah simbol Tuhan?

* * *

Lama aku tercenung, bertanya tentang ikhwal itu. Hatiku mengembara entah kemana? Aku pun melepas segala keangkuhan pemahamanku tentang sembahyang. Aku lantas belajar membaca kemauan-Nya. Tuhan, kata hatiku, mungkin sengaja mengajakku berlayar ke dasar samudera luas-Nya yang tak bertepi itu. Aku belajar pasrah, mencoba bersandar kepada keesaan-Nya. Aku pun ‘tersesat’ di samudera-Nya. Aku menyaksikan sungguh dalam haribaan-Nya, tak ada siapa-siapa lagi selain Dia. Bukan lagi kekhusu’an, tumakninah, pahala, atau perbedaan keyakinan yang berseliweran di hatiku.

* * *

Aku kembali hening. Ragaku mungkin sembahyang di hadapan salib itu. Namun, kehadiran Tuhan bisa di mana saja dan kapan saja. Bisa di salib, di masjid, di pura, di wihara, di hutan, di lautan, di gedung, di berbagai simbol, atau di kesunyian hati. Tuhan memang menjelma dalam setiap keyakinan para hamba-Nya yang beraneka rupa itu, namun pada hakikat Ia tetap satu! Esa!



No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates