Friday, May 8, 2009

bukan (semata) ojek

Malam telah larut. Jarum jam merayap pukul 23.30 WIB. Perempatan bangjo itu benar-benar terasa nglangut dan sepi. Hanya satu penjaja warung angkringan yang terlihat di sudut jalan, setia menanti pembeli di bawah temaram cahaya dimar kecil. Seperti pada malam yang sudah-sudah, sopir bus kerapkali berubah menjadi penguasa jalanan. Meski lampu yang menggantung pada tiang menyala merah penuh, mereka tetap menginjak gas dengan kencangnya. Dan puluhan penumpang di dalamnya itu tak ubahnya onggokan jasad yang begitu pasrah pada sang sopir.

* * *

“Kiri, Pak!!” puluhan penumpang yang terlelap tidur spontan terbangun. Di tepi trotoar bangjo itulah aku turun. Aku melangkah, memangul tas di pundak dan mulai sibuk memencet tombol handphone.

Dari seberang jalan yang gelap, seorang bapak setengah baya mendekatiku dengan sepeda motor bebeknya. Dia langsung menawari tumpangan tanpa banyak bertanya hendak kemanakah aku. Ada rasa heran bercampur cemas yang menyeruak ketika bapak itu tak mengeluarkan sepatah kata pun soal ongkos. Begitu pun soal kemana tujuanku. Dia malah menyerahkan sepenuhnya besarnya ongkos itu kepadaku. “Mpun, sak kersone njenegan. Kulo manut kemawon,” ujarnya. Dia pun langsung menghentikan sepeda motornya di depanku. Dalam irama waktu yang cepat ditingkahi sepoi-sepoi angin malam itu, tiba-tiba dorongan belas kasihan kepada bapak ini begitu menguasaiku. Aku merasakan ada ketulusan dan keprihatinan mendalam pada diri bapak ini. Dari seberkas wajahnya yang tersorot lampu merkuri jalan itu, tak kulihat ada guratan kekejian dan kebengisan. Dia terus merendah dengan segala ketulusanya. Dari kata-katanya dan raut wajahnya. Dan ini tak bisa dibohongi.

Aku pun langsung menyingkirkan segala wak dan prasangka yang sebelumnya menjajahku. Tentang kisah ojek yang memberandal. Tentang malam-malam yang liar. Tentang sepi yang rawan. Dan segala hal beraoma pikiran negatif. Biarlah semua berjalan sesuai kehendak-Nya. Aku meyakini, alam ini menyimpan segala energi yang digerakkan oleh pikiran manusia. Pikiran yang bening tanpa prasangka, akan melahirkan kebeningan pula. Sebaliknya, kecemasan yang berlebih akan melahirkan kecemasan dan derita batin.

* * *

Di sepanjang perjalanan, bapak itu mulai berkisah tentang keluarganya. Tentang tanggungan biaya sekolah ketiga puteranya yang semua masih duduk di bangku kuliah. Tentang seorang isterinya yang hanya seorang guru SD tanpa tunjangan memadai. Dia sendiri, sejak sebulan ini hanya menggantungkan rezeki dari usaha warung angkringan di pojok perempatan itu sambil berkawan angin malam. Setahun lalu, bapak ini telah dipensiun dini dari pekerjaan satu-satunya sebagai pegawai rendahan di Kabupaten Karanganyar. Sejak itulah, segala usaha dia lakoni tanpa malu, termasuk menjadi tukang ojek, sebuah profesi yang sebenarnya hanyalah kerjaan sambilannya saja lantaran tak tega kerapkali melihat orang kesusahan mencari tumpangan di malam hari di perempatan jalan sepi itu.

Sunguh benar kata orang bijak; kesusahan akan mendekatkan manusia kepada Tuhannya. Bapak itu, meniati menjadi tukang ojek bukan semata demi kalkulasi rupiah dan tawar-menawar harga sebagaimana umumnya transaksi jual beli abad modern saat ini. Namun, benar-benar lahir dari rasa kemanusiaannya yang sublim untuk menolong sesama. Dia tak mau dan tak akan pernah menyebutkan nominal ongkos ojeknya. Karena, niatan utamanya ialah menolong. Urusan rezeki, dia pasrahkan total kepada Sang Maha Penolong Sejati Jagad ini. Karena, baginya pintu rezeki dari langit menghampar jauh lebih luas ketimbang pintu rezeki di bumi! Selamat jalan, Pak...

Solo, Kamis 30 April 2009. Pukul 03.00 WIB



No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates