Friday, May 8, 2009

kidung rumah tangga

TIGA tahun menikah, rupanya telah membuatnya masuk pada titik jenuh. Sebuah karir masa lalu yang masih membekas di hati, kini seakan menggedor-gedor kembali hasratnya di tengah statusnya sebagai ibu rumah tangga dengan dua anak kecil-kecil. Dia benar-benar ingin berontak. Dia ingin berlari jauh meninggalkan kesibukan mengurus anak-anaknya yang telah membuatnya stres berat itu. Kehidupan rumah tangga dengan segala perniknya, ternyata di dalam bayangannya tak seperti yang dia sangka selama ini sebagai bagian dari istana yang bertabur bunga di sisi kanan-kirinya. Dan sang suami hanya mampu menghela napas panjang. Dia sudah tak punya kuasa lagi menghalau kemauan keras isterinya. Sekian puluh kali dia nasehati isterinya akan mulianya profesi sebagai ibu rumah tangga dan arti pentingnya sosok ibu bagi masa depan anak-anak. Dia wedarkan kisah-kisah tauladan wanita solaheh zaman dulu yang menjadi bagian penting pilar rumah tangga dan negara tanpa harus meninggalkan anak, suami dan tangungjawab kerumahtanggaan. Namun semua tetap sia-sia. Kerja keras suaminya selama ini, masih terlalu jauh dari harapan tinggi isterinya. Dan si isteri itu akhirnya tetap bersekeras memilih kembali bekerja di luar rumah, mengadu nasib di kota besar dengan bekal secuil pengalaman masa lalunya serta ijasah SMA terakhirnya. Sang suami limbung. Dia sudah tak tahu lagi, kemanakah nantinya dua anak-anaknya itu akan memanggil ibunya…
Malam itu, sang suami melinangkan air mata. Dia merindukan kedua orangtuanya. Dia ingin sejenak melupakan persoalannya itu lantas tidur di pangkuan ayah-ibunya seperti saat masih kanak-kanak dulu. Dia ingin mengenang kembali masa kecilnya saat hidup tak ubahnya permainan tanpa diliputi kompleksitas permasalahan saat beranjak dewasa dan menikah seperti saat ini. Namun, kedewasaan tetaplah mengundang risiko tersendiri dengan pilihan-pilihan hidup sendiri pula. Dan menikah juga pilihannya sendiri, meski dia tahu betul bahwa isterinya memang belum matang saat akan memutuskan menikah dulu. “Insyallah saya akan mencoba membimbingnya,” begitu jawabnya meyakinkan saat mau menikah tiga tahun silam.
Tak seperti pada malam-malam sebelumnya, dia peluk erat putera pertamanya itu sambil diusap kepalanya penuh cinta. Dia ajak putera itu menghitung bintang-bintang di langit, sambil menyenandungkan kidung bintang kecil di langit biru menghias angkasa. Mungkin, rasa sayang itu benar-benar tak kuasa ia tumpahkan ketika membayangkan hari-hari ke depan nanti anak-anaknya tanpa kasih sayang ibunya. Dia tak sedang berlari dari permasalahan yang merundungnya. Namun hanya sekedar ingin meregangkan ketegangan atas kemauan keras isterinya yang kian hari kian menjadi. Semua memang sudah telanjur. Nasi telah menjadi bubur. Dan si isteri tetap meninggalkan rumah dan dua anaknya, suaminya, serta melupakan ikrar bersama saat mau menikah dulu untuk selalu bersama dalam suka maupun duka…

Pare, Senin 4 Mei 2009, Pukul 22.14 WIB…



No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates