Friday, May 8, 2009

mencari jawab

Seorang anak kecil bertubuh ceking. Usianya tiga tahunan. Ia tumbuh di lingkungan yang sama sekali lain sebagaimana umumnya anak kecil. Segala pengetahuan yang tercercap di ingatan dan anggapannya, nyaris seperti pengetahuan orang dewasa. Kata-katanya selalu bernada tanya, tak jarang mengugat. Ini adalah kesekian ratus penggal malam baginya tanpa tidur. Ibu dan ayahnya tak tahu lagi bagaimana membujuk anak semata wayangnya itu agar mau sejenak saja berhenti berceloteh saat malam tinggal separoh. “Sudahlah le, mbok tidur. Besok lagi ya tanyanya?” kata-kata ibunda mencoba menghibur si buah hatinya itu.
Ia terdiam sesaat. Tapi sepasang bola matanya masih ketap-ketip mengamati langit-langit kamarnya. Dia menoleh ke samping kanan, terlihat ayahnya sudah tidur mendengkur. Menoleh ke samping kiri, ia amati wajah teduh ibunya bagai batu pualam; tenang! Malam pun perlahan menjemputnya dalam mimpi. Terbang…
* * *
Pagi hari, kuning cahaya surya perlahan membuka mata dan kesadarannya. Juga riuhnya jalanan dan pasar. Ia lihat ayah-ibunnya sudah tak lagi disampingnya. Seperti hari-hari biasanya, ia menjerit menangis meski tak ada yang menghirau. Namun, kedua kakinya tergerak turun dari dipan kasur dan selimutnya tanpa alas kaki. Ia melangkah mencari sumber kemerisik suara seperti suara tangan-tangan yang tengah mengayun cangkul. Di tengah tegal, ia tatap seorang pria bertelanjang dada bermandikan peluh menantang sengatan matahari. “Cangkul ini harus terus diayunkan, Nak. Karena, inilah satu-satunya yang Ayah bisa untuk makan kita,” si anak itu termangu mendengar kata-kata ayahnya yang kilat menyambar kesadarannya. Ia tak tahu, kenapa baru pagi itu kata-kata ayahnya menusuk kalbu benar. Sebuah cangkul, sepetak tegalan, sederas keringat, dan sebongkah tanah kering ternyata membuatnya sadar akan pentingnya rasa syukur. Ia tak lagi bertaya “Kenapa, harus mencangkul?” seperti pada hari-hari biasanya yang selalu penuh tanya. Mungkinkah, volume pertanyaan anak itu sudah memenuhi kepalanya? Tak ada yang tahu. Sejak itulah, ia tak lagi banyak bertanya. Lima tahun telah bergeser. Anak itu kini tumbuh remaja dengan segenap kedewasaan dan kematangan jiwanya. Ia kini lebih gemar membawa pena, buku, meringankan sisa-sisa pekerjaan ayahnya, dan mengunjungi sejumlah perpustakaan, berdialektika dengan segala lapisan persoalan dan masyarakat. Ia memang tak lagi sekadar bertanya. Tapi mencari jawab…

Solo, 26 April 2009



No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates