Dan aku memang harus membaca lagi berjuta-juta lembar risalahnya. Karena, rasa cinta itu tak akan tumbuh hanya berpangku pada acara seremonial mauludan yang digelar saben tahun, atau sekadar mengahapal kisah-kisahnya dari ustadz-ustazd kita dulu. Aku akan membaca lagi risalah tentang keberanian perjuangannya dan kepiawaiannya menyusun strategi perang yang mungkin tak pernah tertandingi oleh intelejen internasional sekelas CIA pun. Atau risalah tentang keberhasilannya menaklukkan koorporasi raksasa Abu Jahal dan kapitalis-kapitalis lainnya di Mekkah dengan modal ketulusan dan kejujuran. Aku juga harus kembali membaca risalah tentang semangat sosialisnya yang tiada duanya itu. Mungkin, sang paus sosialis, Karl Mark pun sebelum mengarang buku termahsyurnya Das Capital itu, dia terinspirasi dulu oleh sosok yang satu ini. Singkatnya, bagiku dia telah mengajarkan pokok-pokok demokrasi, egaliterianisme, dan pluralisme sejak dahulu kala, yang itu hanyalah secuil dari seluruh ajarannya.
Ah, Muhammadku… Aku ingin membaca keseluruhan risalahmu tentang kesungguhanmu membangun system pemerintahan yang jujur dan professional, hingga seorang pemimpin besar Yahudi saat itu pun memberimu award “Al-Amin”, artinya “orang yang dapat dipercaya”. Atau tentang keberhasilanmu mereformasi tatanan masyarakat Mekkah dari feodal dan menganut sistem homo homini lupus, hingga menjadi masyarakat madani. Masyarakat madani adalah sebuah tatanan masyarakat idealis yang menjadi embrio bagi peradaban negara-negara maju. Sunguh beralasan, jika Michael H Hart kemudian menempatkanmu pada urutan teratas dari 100 tokoh dunia paling berpengaruh. Pengaruhmu mengungguli Budha Gautama, Isa, William Shakespeare, Lao Tse, Rene Descartes, atau
Muhammadku, kini kutahu, seragam kebesaranmu adalah kesederhanaanmu itu. Di saat engkau memiliki berjuta peluang untuk membangun istana, engkau malah mengajarkan dan memberi contoh kepada kami tentang pola hidup bersahaja. Bahkan, hingga ajal mengetuk pintumu, engkau yang juga seorang pemimpin negara ternyata tak ingin merenovasi rumah sederhanamu yang kau bangun di atas lahan sempit berukuran tak lebih dari 4x4 meter persegi itu. Modal kekayaanmu yang melimpah ruah, justru 100% kau bagikan kepada masyarakat kecil untuk membentuk jaringan ekonomi kerakyatan di Madinah. Dan engkau tetap memilih abdan nabiyan, seorang nabi yang tak ada jarak dengan rakyat. Bukan nabi yang borjuis.
Muhammadku! Malam ini aku yakin engkau hadir di tengah-tengah seribuan umat yang merindukanmu itu. Atas nama cinta yang tak bertepi, maka terimalah salawat dan salamku untukmu…
Balaiokota Solo, Minggu, 15, Maret 2009, pukul 23:48 WIB.
No comments:
Post a Comment