Sungguh, cuaca benar-benar susah ditebak. Ketika April disangka sebagai awal musim pancaroba, ternyata tak selalu demikian. Hingga di penghujung bulan ke-empat ini, hujan masih kerap kali jatuh tanpa dinyana. Anehnya, saben hari hawa gerah serasa mengipaskan api dari tungkunya, memaksa melepas sederetan kancing baju. Huffff….
Sebuah hipotesis lumat-lumat akhirnya berkumandang; ekstremnya iklim ini mungkin bagian dari puncak protes alam atas tingkah manusia yang juga kian ekstrem.
Aku terkesima saat melirik laporan dari IPCC, sebuah lembaga yang tekun melakukan kajian ilmiah, teknis dan sosio-ekonomi yang relevan untuk memahami perubahan iklim. Laporan ilmiahnya itu membeberkan bahwa 90% atau “very likely”, aktivitas manusia merupakan biang keladi perubahan iklim ektrem itu. Sungguh, bumi telah terluka. Alih fungsi hutan menjadi ladang subur bagi para konglomerat. Konsentrasi gas-gas karbondioksida, metana, dan dinitrogen oksida (N2O) meningkat tajam sejak 1750. Kenaikan suhu rata-rata sebesar 0,76oC antara periode 1850 – 2005. Tahun 2100, suhu diprediksi bakal naik suhu antara 1,8oC – 4oC!!
Sekarang, orang mulai sibuk berkhutbah tentang arti penting penghijauan, pengurangan gas karbon dioksida atau rumah kaca. Tapi, mesin penyumplai zat sampah itu kian hari kian tak menyusut. Gedung-gedung berdiri angkuh meninju langit dengan pantulan kacanya. Jalanan raya yang sudah sesak itu jadi ruang pamer terbuka bagi kendaraan bermesin mutakhir. Waktu serasa terus bekerjaran dalam bising. Malam ini, aku tiba-tiba terkenang sajak Iman Budi Santosa yang kian terasa syahdu benar:
“Orang-Orang sepeda Bantul-Yogya”.
Pagi paling hanya membekali berani. Sesekali pena atau gergaji. Kadang malah cukup dengan otot lengan. Bersama sepuluh jari dan lecutan cemeti. Berangkat menaklukkan matahari. Tapi, mereka setia mengayuh nasib. Dengan mata terbuka, sabar melata. Mencari celah dan remah-remah
Solo, 27 April 2009 23.55 WIB.
No comments:
Post a Comment