Friday, May 8, 2009

sepeda bantul-yogya

Sungguh, cuaca benar-benar susah ditebak. Ketika April disangka sebagai awal musim pancaroba, ternyata tak selalu demikian. Hingga di penghujung bulan ke-empat ini, hujan masih kerap kali jatuh tanpa dinyana. Anehnya, saben hari hawa gerah serasa mengipaskan api dari tungkunya, memaksa melepas sederetan kancing baju. Huffff….

Para pengamat cuaca boleh saja bersabda penuh jumawa; sekarang ini telah berlangsung iklim ekstrem. Bermiliar macam penyakit bakal tercipta dan mengurai. Aneka kebiasaan menjadi susah dicegat. Kemarau tiba, petani susah menghimpun air. Saat hujan turun, air bah melimpah ruah, merendam rumah, sawah, jalan-jalan dan memutus sumber penghidupan mereka. Sungai murka! Dia tak lagi kuat menampung miliaran liter air dari berjuta anak sungai. “Dunia heboh!” begitu ujarnya dari dalam gedung megah penuh kaca.

Sebuah hipotesis lumat-lumat akhirnya berkumandang; ekstremnya iklim ini mungkin bagian dari puncak protes alam atas tingkah manusia yang juga kian ekstrem.

Aku terkesima saat melirik laporan dari IPCC, sebuah lembaga yang tekun melakukan kajian ilmiah, teknis dan sosio-ekonomi yang relevan untuk memahami perubahan iklim. Laporan ilmiahnya itu membeberkan bahwa 90% atau “very likely”, aktivitas manusia merupakan biang keladi perubahan iklim ektrem itu. Sungguh, bumi telah terluka. Alih fungsi hutan menjadi ladang subur bagi para konglomerat. Konsentrasi gas-gas karbondioksida, metana, dan dinitrogen oksida (N2O) meningkat tajam sejak 1750. Kenaikan suhu rata-rata sebesar 0,76oC antara periode 1850 – 2005. Tahun 2100, suhu diprediksi bakal naik suhu antara 1,8oC – 4oC!!

Sekarang, orang mulai sibuk berkhutbah tentang arti penting penghijauan, pengurangan gas karbon dioksida atau rumah kaca. Tapi, mesin penyumplai zat sampah itu kian hari kian tak menyusut. Gedung-gedung berdiri angkuh meninju langit dengan pantulan kacanya. Jalanan raya yang sudah sesak itu jadi ruang pamer terbuka bagi kendaraan bermesin mutakhir. Waktu serasa terus bekerjaran dalam bising. Malam ini, aku tiba-tiba terkenang sajak Iman Budi Santosa yang kian terasa syahdu benar:

“Orang-Orang sepeda Bantul-Yogya”.

Pagi paling hanya membekali berani. Sesekali pena atau gergaji. Kadang malah cukup dengan otot lengan. Bersama sepuluh jari dan lecutan cemeti. Berangkat menaklukkan matahari. Tapi, mereka setia mengayuh nasib. Dengan mata terbuka, sabar melata. Mencari celah dan remah-remah kota dekat millennium ketiga. “Mengapa percaya pada iklan, jika di tanah sendiri punya sepasang kaki untuk berdiri?” Maka, petang pun kembali. Memanjakan lelah, merindukan lampu merah. Di sana besok bisa dianyam. Dengan wajah tengahdah.

Solo, 27 April 2009 23.55 WIB.



No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates