Friday, May 8, 2009

INI hanya pesta DEMOKRASI...!

Tema talkshow di layar kaca itu ialah “Partai berbasis agama dengan partai berbasis nasionalis”. Pembicaranya dari berbagai kalangan. Ada kaum agamawan, kaum cerdik cendikia, budayawan, dan tentu saja kalangan anak-anak muda berlabel mahasiswa. Untuk lebih memfokuskan tema, produser TV pun menampilkan insert tayangan dari sejumlah reponden tentang sikap mereka terhadap pilihan antara partai berbasis agama dengan partai nasionalis.

Ada yang terasa lucu bagiku. Karena pemilihan tema itu sendiri seolah terkesan dipaksakan. Dengan mengajukan dua hal “agama dan nasionalis” seolah kita dipaksa untuk melakukan dikotomi agar jarak keduanya kian memanjang jauh dan tak akan saling bertemu. Bukankah ini tema kuno, yang ketika pembahasannya hanya pada aras dikotomi antara agama dan nasionalis, maka sebenarnya kita telah mengalami kemunduran peradaban dan politik. Bahwa agama-dalam tayangan itu-seolah diposisikan sesuatu yang selamanya tak akan memberikan sumbangan apapun terhadap perkembangan politik. Sebaliknya, untuk urusan politik, biarkan kaum nasionalis yang berkiprah karena dianggap mampu mengayomi semua golongan. Sebaliknya, agama selalu diidentikkan dengan hal yang eklusif, kolot, terbelakang, dan tak mampu mengakomodir semua golongan. Dan itulah kenyataanya. Sampai sekarang pun, kita masih menyimpan memori pemahaman di bawah alam sadar bahwa agama itu sesuatu yang bikin phobia.

Ada sumbu sejarah yang seolah sengaja dihilangkan ketika kita berkoar-koar soal nasionalis di Indonesia. Karena nasionalis yang terbangun di Indoensia saat ini seolah dilepaskan begitu saja dari kiprah perjuangan kaum santri dan pemuka agama. Apakah kita menafikan kisah kepahlawanan Bung Tomo, Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, Imam Bonjol, Hasyim Asy’ari, Muhammad Dahlan, dan berderet lagi santri yang lantang mengusir penjajah dan membangun bangsa. Kepada siapkah mereka berjuang, selain untuk mengusir ketertindasan hingga melahirkan bangsa Indonesia merdeka. Nasionalis Indonesia adalah nasionalis yang dibangun dengan semangat keagamaan anti penjajahan. Nasionalis kita juga dibagun dari semangat kebersamaan untuk bangkit melawan penindasan. Tak peduli siapa mereka. Dari kalangan santri, kafir, atau bahkan iblis pun, asal punya rasa senasib bersama mengusir penjajah. Tapi, nasionalis bangsa kita saat ini seperti apa? Nasionalis kita ialah nasionalis yang meninggalkan akar sejarah dan kebudayaan yang menjadi pondasinya. Dan ketika kita memaknai nasionalis dengan menafikan kontek sejarah, maka itulah kecerobohan terbesar sepanjang sejarah yang pada akhirnya, hanya melahirkan pemahaman bahwa nasionalis hanyalah milik kaum abangan. Sementara kaum satri telah disisihkan…

Dalam konteks berpolitik, pemakaian simbol agama memang terlalu naïf, meski dalam kenyataanya kian banyak Parpol yang memakainya untuk komoditas politik. Di satu sisi, akibat citra agama yang telanjur merosot dan tak punya harga diri itu, agama pun hanya bahan cacian seperti yang ditayangkan talkshow di salah stasiun TV kali itu.

Ada yang menggugah pemirsa, ketika cendekiawan muslim Komarudin Hidayat akhirnya angkat suara untuk melakukan pembelaan agama. Dengan runtutnya ia menjelaskan bahwa agama memang mengalami kemerosotan dalam konteks mikro, yakni sebatas pemakaian label dan simbol-simbol seperti yang dilakukan Parpol saat ini. Namun, dalam kontek makro, maka “the values of religion” tak akan meredup dan bahkan sinarnya terus berpendaran di penjuru dunia. Inilah yang ingin ditegaskan Komarudin bahwa ruh agama ialah rahmatallill’alamiin. Agama akan menyinari kepada siapa saja, tak terkecuali bagi negara yang akhirnya melahirkan nasionalis itu. Dan yang perlu dicatat, nasionalis hanyalah secuil produk agama, meski para pejuang agama yang melahirkan nasionalis itu akhirnya harus tersisih di pojok sejarah.

Tapi, tenang saja. Ini hanya ironi kecil sebuah demokrasi bangsa kita. “Ingat, ini hanya pesta Demokrasi...!” begitu kata Ki Dalang Suket, Slamet Gundono yang ikut nimbrung dalam acara itu. Lewat pentas monolognya, seniman bertubuh raksasa itu pun akhirnya mendendangkan kidung hingga membuat pemirsa kepingkal-kepingkal dan sejenak melupakan ruwetnya sejarah bangsa ini. Apalagi ruwetnya demokrasi negeri ini. “Ini hanya pesta Demokrasi...hanya pesta demokrasi…” suara Slamet berulang-ulang dan terus melemah…

Solo, Kamis 9 April 2009, pukul 00.55 WIB



No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates