Monday, April 7, 2008

catatan dari sudut kampus I


Catatan Dari Sudut Kampus
Sebuah Diary tentang Cinta &
Keresahan Seorang Mahasiswa
Adalah Areta, seorang mahasiswa berteman sunyi. Cinta pertamanya yang bertepuk sebelah tangan, telah membuat hari-harinya murung. Ia ingin keluar dari suasana batin yang terus menyiksanya. Membuang segala kenangan yang akan menyeretnya ke jurang tak terperikan. Lalu memulai kembali lembaran baru. Mengisi hari-hari dengan asa dan gerlap. Merdeka! Berkarya! Bekerja!
Di persimpangan jalan, tiba-tiba pertemuan tak terduga terjadi. Pertemuan itu telah menguak kembali cerita masa lalunya bersama seorang gadis yang ia kenal di salah satu komunitas teater kampus. Di sanalah pergulatan panjang Areta mencari makna hidup dimulai. Kadang takut yang akut, kadang resah mendesah, kadang bimbang yang mengambang. Kadang pula semangat yang menyala.
Ah, Areta memang terlahir berteman sunyi. Cerita baru dengan seorang kekasihnya itu akhirnya berujung getir. Jalan yang mereka tempuh rupanya berseberangan. Dan lelaki itu kembali menempuh jalan sunyi. Seorang diri.
* * *
--SATU--
Sungguh, segala yang diungkap, akan ditulis jujur sehati-hatinya.
Karena ia diperuntukkan tidak sekedar kesaksian.
Sore hari, di pertengahan Juli 2006, udara Jogja masih menyegat. Pasca bencana gempa bumi 5,9 SR 27 Mei lalu, cuaca memang seringkali keliru ditebak.
Tiga kamar kos-kosan, di lantai dua itu, sunyi sepi. Tiga kamar yang sekamar diisi berdua itu, ditinggal penghuninya. Dua anak baru, penghuni kamar tengah tidak kelihatan semenjak bencana gempa bumi 27 Mei 2006 silam. Mereka pulang memenuhi panggilan kekhawatiran ibunya di Tegal dan Brebes. Satu penghuni kamar paling timur jarang kelihatan. Kadang sering nongkrong di Posko Resimen Mahasiswa di Kampus, diselingi pulang ke rumahnya di Banjarnegara. Teman kamarnya, yang masih semester dua itu menyusulku saat sebulan lalu aku dan kawan-kawan menjadi relawan di Bantul.
Kubayangkan mulai hari ini, akan semakin sunyi senyap kos ini. Tak ada lagi satu piring dimakan berdua, bertiga, berempat. Tak ada lagi canda dan diskusi tanpa tema. Tak ada lagi rapat kegiatan malam-malam atau diskusi redaksi tambahan dan darurat pasca jam malam kampus dan bencana alam itu. Tak ada lagi suara pelan Simbah kos dari bawah menegur keriuhan kami.
Hari ini, pagi-pagi sekali, sehabis ujian skripsi kemarin, sahabat kamarku benar benar mawujudkan niatnya, bulat-bulat memutuskan pulang ke kampung halamannya di Kediri. Heroik sekali! Membonceng sekarung buku yang diikat di samping kanan-kiri motor Winnya. Memang ini cita-cita liarnya kalau rampung studi; mau pulang pakai ontel ke rumahnya–seperti yang pernah ia lakukan, keliling Yogya sampai Parangtritis. Cuma sekarang dilakukan pakai motor tahun 90-an itu, apa bedanya?! Aku tak kuasa menyaraninya, bahkan aku salut–inilah lelaki!
Aku pun tak kuasa menahannya, untuk membatalkan pilihan dan cara kepulangannya itu. Ataupun ketika kusarankan untuk merancang masa datang kehidupan di Yogya. Aku hanya sempat berpikir, kedewasaan sejati akan membawa seseorang bisa
membaca sesuatu yang terbaik bagi diri dan kehidupannya, bukan semata pilihan.
“Kemungkinan besar aku akan menjadi pengajar di SMA yang baru didirikan bupati terpilih, sebagai bukti janjinya semasa kampanye. Guruku di pengajian dan SMA-ku dulu, memintaku untuk sama-sama merintis sekolah itu dari nol. Aku pulang besok itu, juga sekalian mengurus lamaran menjadi guru tersebut,” katanya sore itu di teras kos.
Sungguh, kepergian dan keputusannya menyisakan ruang kosong dalam lembar kenangan. Ada yang tercerabut, hilang dari di sisi kanan-kiri ruang batin dan pikiranku. Mengenainya dan mengenai keputusannya untuk kembali ke kampung halamannya sedini ini tanpa perlawanan dan perjuangan yang ia rintis sejak masuk kampus ini. Sejak ia menggeluti dan menikmati dunia imajinasi dan memahami realitas. Sejak ia mengawal dan membesarkan sebuah lembaga pers mahasiswa dengan sekian pencapaian dan penghargaan dalam kepenulisan. Pikirku, dengan kemampuan yang telah diasah waktu, dan jalan yang telah dibentangkannya ini, untuk menjadi apapun di Yogya ia akan bisa, kenapa mesti memilih pulang kampung. Sekali lagi, sedini ini.
Aku paham betul, keputusaan ini pilihan terbaik baginya. Meski secara spontan batinku tak menyetujuinya; semudah itu kalah meninggalkan kota yang lebih menjanjian dirinya untuk anak muda bertalenta seperti dia. Setelah dia jadi sarjana dan siap bertarung, kota ini akan membuatnya besar, pikirku. Suatu waktu di masa datang, ia akan menjelma Emha Ainun Nadjib baru, atau penerus mereka yang dikaguminya itu.
“Untuk menjadi besar yang hakiki tidak mesti harus di kota, apalagi aku mendambakan kehidupan yang sederhana, tidak neko-neko,” paparnya ketika aku mencoba mendebat keputusannya itu. Ya, untuk memahami sebuah kompleksitas tak mesti harus mencicipi dinamikanya. Bisa saja mengikutinya dari luar arena.
Dua minggu kemudian, sahabatku ini datang dari kepulangannya. Aku memastikan, kedatangannya hanya untuk acara seremonial akhir studinya, wisuda. Seperti jawabanya atas pertanyaanku tentang rencana kedepannya sebelum pulang.
“Tuliskan untukku prolog catatan harianku, ya! Kalo bisa pertengahan bulan ini harus ke penerbit. Tapi usahakan bahasanya masuk dalam ceritaku.” Kekagetanku kuekspresikan dengan rasa bangga yang datar. Selama ini aku terbiasa dengan surprise seseorang, tapi ini bukan surprise. Ini keharusan.
Aku mengenal dia luar dalam, cacatan hariannya ini bukan semata diary murahan. Layaknya catatan seorang demonstran, ia bercerita tanpa tema; mengupas perjalan seorang idealis kampus. Menyitir kengkuhan petinggi negara dan benang kusut bangsa. Menyinggung nurani dan naluri anak muda. Mengajarkan secara empirik tentang arti sunyi dan kesunyian, gelisah dan kegelisahan, setia dan kesetian serta spiritualitas sejati.
Aku mengenal dia luar dalam. Maka aku akan menuliskan ini, untuknya, dengan sejujur jujurnya, bukan karena ia sahabat kamar kos ukuran dua meter kali dua persegi. Bukan karena aku teman makan bareng satu piringnya. Bukan semata aku teman organisasinya. Bukan terdorong karena ia salah seorang sahabat terbaikku. Karena segala yang berkaitan dengannya layak digurui dan pantas dikabarkan. Dan Anda beruntung termasuk yang membacanya.
Yogyakarta, 11 September 2006
* * *
Setidaknya aku masih meyakini, dengan menulis catatan harian ini, aku dapat lebih menyelami relung hatiku yang paling sunyi, terluka, dan sepi. Juga lebih mengenal jiwaku, yang paling suka sekalipun. Penulis asal Austria, Cerry Mirriam mungkin benar bahwa hanya dengan duduk di sudut dan menulis catatan, ternyata mampu mendatangkan ilham dan membangkitkan semangat untuk melewati masa-masa sulit dan membuktikan bahwa dirinya memiliki sesuatu untuk diberikan pada dunia.
Tulisan-tulisan ini lahir dari waktu dan tempat yang sama sekali beda. Terkadang saat aku kesepian, saat hendak tidur, saat rekreasi, saat suka atau pun duka. Dalam menulis ini pun aku tak pernah memikirkan bahwa aku harus tetap berada pada jalan yang luas dan sempit. Aku bebaskan semuanya. Aku bebas berkelana, bertanya, melukiskan, memperlebar, menggembar-gemborkan, mengoceh, terhanyut membayangkan, bahkan mungkin juga menulis omong kosong....
Aku menulis di ruang tunggu, di perjalanan bus, di kamar, di emperan, di lapangan, di ruang jemuran, di parkiran dst....Bagiku, menulis secara terus menerus adalah caraku untuk memahami dunia dan bagaimana saya menyesuaikan diri ke dalamnya...
* * *
Ketika aku tengah menyalin catatan harian ini ke komputer, banyak kujumpai keganjilan dan kejadian-kejadian aneh yang tiba-tiba menyergapku. Sampai-sampai aku dibikin kalang kabut. “Ini adalah firasat!” aku membatin diam-diam.
Keganjilan itu bermula pada suatu hari: Sabtu, dini hari pukul 01:30.WIB. Aku sungguh heran, kenapa tiba-tiba aku menjadi seorang yang ‘pemberani’. Tanpa pikir panjang, di malam buta itu, aku langsung menelpon seorang gadis yang terasing di hatiku. Seorang yang amat kusegani. Yang mustahil aku berani menelponnya, kalau bukan dia yang memulai.
Selama ini, aku terlanjur berprinsip bahwa menelpon orang yang tengah menikmati istirahatnya, atau membangunkan orang yang tengah terlelap dalam tidur malamnya, bagiku adalah pekerjaan ‘terkutuk’. Memaksakan diri. Namun, malam itu ternyata bersabda lain. Tanpa pertimbangan yang matang aku justru menjadi orang yg kubikin sendiri. Dan malam itu aku menelponnya. Aku layaknya anak-anak muda saat ini yang kecanduan gratisan telphon. Malam itu, aku sekedar bertegur sapa. Tak ada maksud apa-apa! Hanya bertanya kapan dia wisuda. Sungguh di luar sangka. Inilah awal kali aku berani menelpon dia di tengah malam buta. Di saat berjuta pasang mata manusia mulai tertidur.
Paginya aku disergap berjuta keheranan, seolah tak percaya atas kejadian yang baru saja menimpaku semalam. Aku bertanya dalam hati, ada apa denganku? Kenapa aku menelponnya?
Malam harinya, sepotong SMS aneh masuk ke HPku.
“Hoe…bgmn kbarmu? Coz prasaanku g enak tntg kamu. Maaf, y…? Bls di nmrku.”
Pesan pendek itu dikirim dari seorang teman yang kuanggap ‘biasa’ di hatiku. Namanya, Kholid. Selama berkarib dengannya, antara aku dan dia nyaris tak pernah saling berkirim SMS. Bahasa lisan kami seolah sudah mencukupi kekariban kami. Tapi Sabtu malam itu benar-benar ganjil. Kholid tiba-tiba mengirim aku SMS. Dan yang
menambah ganjil adalah isi SMSnya. SMS yang menyatakan bahwa perasaannya nggak enak tentangku. Aku semakin penasaran…
Seiring dengan detak waktu, teror SMS itupun berlalu dari pikiranku. Dan aku sudah tak mengingatnya lagi. Rasa penasaran yang menyergapku perlahan lumat-lumat lenyap. Akupun meneruskan kembali mengedit tulisan ceritaku ini. Di tengah hati dan pikiranku larut dalam rangkaian kata-kata, tiba-tiba computer ngadat. Aku jengkel. Rupanya alat canggih itu tak mau diajak kompromi di tengah mataku yang serius membaca kisah-kisahku masa silam itu. Padahal, waktu itu adalah tengah malam. Saat di mana aktifitas barang-barang elektronik tak nyala. TV, Setrika, Rice cooker, dan lampu kamar padam!
Sungguh aneh, di malam yang senyap seperti ini kenapa computer pinjaman ini masih juga enggan menyala seperti biasanya? Kejengkelanku semakin memuncak, ketika tulisan yang telah kuedit sebelumnya tiba-tiba lenyap. Tinggal empat halaman yang masih tersisa dari jumlah halaman yang sebelumnya telah mencapai 235 halaman.
Aku strez berat! Aku putus asa. Aku memilih istirahat. Aku ingin meregangkan pikiranku yang terlampau kecewa. Dan aku memilih memejamkan mata di penghujung malam itu: pukul 02.00 WIB. Detik-detik inilah, kejadian-kejadian aneh dan menakutkan menyerangku.
Aku yang baru saja terlelap sekejap, tiba-tiba merasakan hawa lain. Aku merasakan seperti memasuki dunia yang sama sekali asing denganku. Aku merasakannya! Aku sadar! Dan aku bukan tengah bermimpi!
“Sttt…tt” Gemerisik angin yang merayap malam itu, seperti suara langkah manusia yang masuk dan menutup pintu kamar. Aku terhenyak! Lalu aku coba untuk bangun. Aku mengira, temanku baru pulang, meski aku sempat keheranan, kenapa dia pulang malam-malam begini? Kenapa dia tidak uluk salam atau sekedar menyapa atas kepulangannya? Berondongan keheranan mengepungku. Aku pun semakin cemas.
Maka aku mencoba membuka kelopak mataku yang baru beberapa menit mengatup. Sungguh aneh! Sepasang mataku ini tiba-tiba terasa berat kubuka, seperti ada sihir yang menikamku. Aku mulai mencium gelagat ketidakberesan. Kecurigaanku semakin kuat, tatkala kurasakan seluruh anggota tubuhku ternyata juga mengalami nasib yang sama; tak bisa digerakkan! Aku panik! ! Aku takut! Dan tubuhku beku lantaran ciut nyali. Ruang kamar itu mendadak pucat pasi. Poster-poster artis yang bertengger di tembok mulai meremang, dan tak terlihat. Sudut dinding, atap, almari, seketika lenyap dari pandangan mataku. Aku melihat pemandangan yang serba absurd. Susah dijelaskan dengan kata-kata. Tak ada atas, bawah, kiri, kanan. Semua berputar, tapi bukan seperti putaran yang kukenal selama ini. Dan kurasakan ada sosok mahluk lain yang mencoba menutup mukaku dengan selimut sarungku. Ada juga yang mencoba menyingkapnya.
Di tengah kepanikan itu, aku berusaha sekuat tenaga melafalkan do’a–do’a. Tapi anehnya, aku selalu gagal. Aku rupanya tak mampu mengeluarkan kata-kata, bahkan do’a yang paling sakral sekalipun. Mulutku terkunci. Semua anggota tubuhku terkunci. Hanya jiwa dan pikiranku yang masih bisa mengembara ke sana-kemari dalam kepanikan. Aku sempat membatin, apakah ini karena sebelum tidur tadi aku belum wudhu dan belum memanjatkan do’a?
Kepanikanku semakin tak menemukan muaranya, tatkala kurasakan kedua kakiku ada yang mengangkatnya. Dan tubuhku yang beku juga terangkat. Aku merasakan mulai tak menyentuh alas tidur. Kekuatan yang mengangkat kaki dan tubuhku itu sangat
lembut. Sentuhannya hampir-hampir tak terasa, tak seperti sentuhan tangan-tangan manusia. Tapi sebuah sentuhan absurd!
Aku yang laksana telur di tepi tebing curam itu hanya mampu pasrah. Anggota tubuhku sudah terkunci. Mulutkupun kelu, tak sanggup teriak minta tolong. Bahkan mengerakkan ujung jemari saja, aku tak sanggup. Aku benar-benar terpojok. Mati kutu. Tak mampu berbuat apa-apa! Do’a yang menjadi harapan terakhirkupun, tak kuasa kulafalkan.
Jiwa dan pikiran yang masih mampu mengembara itulah yang akhirnya membebaskanku dari belenggu itu. Jiwa yang tak ikut tersihir itu kupasrahkan total pada Tuhanku. Allah! Aku sareh-sumeleh. Aku meniadakan diri. Aku meleburkan diri bersama Tuhanku. Jiwaku luruh. Dan pikiranku tiba-tiba teringat amalan dari mursyidku yang pernah diajarkan dulu. Saat aku masih duduk di bangku SLTA. Dengan mata batinku, akupun berikrar:
“Ya Allah…Ya Muhammad…ya Rosulullah…! Hidup, nafas, dan detak jantungku hanya kepunyaan Allah Yang Maha Kuasa. Satu jurusan, aku hanya minta pertolongan kepada Allah semata. Jika ada marabahaya dan perbuatan jahat yang disengaja, semoga tak menjelma kenyataan. Kalaupun menjelma, itu kehendak Allah semata.”
Usai kuikrarkan ‘mantra’ itu, tiba-tiba kurasakan seperti ada sebilah kaca yang runtuh dan hancur berkeping-keping. Kekuatan yang mengurungku kurasakan sirna seketika. Apalagi saat gema tahlil kualirkan dengan kencang di peredaran jantung dan hatiku, aku merasa kekuatan aneh itu menjauh, melesat, dan lenyap.
Tubuhku seketika mampu kugerakkan kembali. Aku bergegas bangkit. Kuamati sekeliling kamar itu terasa senyap. Wajah-wajah artis dalam poster yang semula mengabur, kembali seperti sediakala. Tak lagi memancarkan aura mistis. Angin malam di luar masih terdengar mendesah. Kulirik jam di HPku menunjukkan angka 02.15 WIB. Aku mencoba tenang dan mengontrol agar tak terbawa arus kepanikan. Nafasku kukendalikan agar seirama. Lalu aku langung bergegas keluar dari kamar ‘mistis’ itu dan beranjak masuk ke kamar kosku sendiri di sebelahnya.
Di dalam kamarku, kulihat A’an tengah terlelap mendengkur dan Pitoyo yang masih berjaga. Rupanya Pitoyo masih setia menemani lukisan surealisnya. Jari-jarinya masih telaten menggoreskan pena merahnya pada selembar kertas berwarna abu-abu. Tak biasanya memang, Pitoyo membikin sketsa lukisan dengan pena warna merah. Dari beratus-ratus lukisan sketsa yang lahir dari ketelatenan tangannya, tak satupun memakai tinta warna merah. Dan baru kali ini dia mensketsa memakai tinta warna merah darah itu. “Tinta warna merah itu nggak baik lho, Kang!” ujar Pitoyo saat hendak menggoreskan malam itu. Alasan Pitoyo, karena terpaksa. Pena warna hitamnya habis.
“Aku merasakan malam ini dinginnya mencekam!” sapa Pitoyo saat aku masuk kamar. Kalimat yang meluncur dari mulutnya sangat dingin, sedingin udara malam di luar. Tapi Pitoyo masih terus memainkan pena merahnya itu di atas selembar kertas warna abu-abu itu. Sementara aku seperti baru dikejar-kejar sekawanan bandit. Nafasku masih terasa belum stabil. Aku masuk dan bersila di samping Pitoyo. Aku terdiam lama. Aku mengamati lukisan surealisnya. Lukisan sepasang lelaki-perempuan dalam dunia absurd.
“Aku baru saja mengalami kejadian aneh!” kataku. Pitoyo mendadak berhenti melukis. Pandangannya menatapku dalam-dalam, seperti tengah membaca firasat.
“Aku sudah menduga. Sejak beberapa hari ini, ada yang tak beres!” sahutnya
singkat. Kemudian tangannya membalikan kertas lukisan itu yang masih ada ruang kosong. Dan pena merah itu ia goreskan di sana. Sebentar kemudian, goresan penanya ia hadapkan ke mukaku.
“Wajahnya seperti inikah?!” kata Pitoyo. Aku kaget! Sketsa yang ia bikin dengan singkat itu setelah kuamati ternyata membentuk wajah mahluk aneh. Dadaku berdesir. Mataku mengeriyip. Keningku mengernyit penuh tanya…
* * *
“Aku tidur sebentar! Nanti pagi aku musti melanjutkan menulis cerita yang belum selesai ini,” pesanku pada Pitoyo.
“Kok malah tidur!” sahut Pitoyo enteng. Tapi aku sudah tak memperdulikannya. Kata-kata Pitoyo kuanggap angin lalu. Tak lagi membuatku terkejut. Aku tak mau dipusingkan dengan peristiwa-peristiwa aneh yang baru saja menimpaku. Aku ingin melupakan kejadian ngeri itu. Aku ingin lari darinya. Aku ingin tidur!
Baru sak lherr…kurebahkan tubuhku, tiba-tiba sosok mahluk aneh menyerangku. Aku tercekik. Darahku membeku. Aku tak sempat menangkis. Aku tak sempat baca ‘mantra’ yang diajarkan mursyidku. Dan aku benar-benar kewalahan. Dalam kekalahan itu, aku terlempar ke sana-kemari. Mahluk aneh itu terus menarik dan membuangku. Aku jatuh terpelanting. Tanganku ingin meraih tubuh Pitoyo yang berada di sampingku, namun sia-sia belaka. Aku malah terus kejang-kejang. Aku meronta-ronta. Kakiku menendang-nendang. Mulutku berteriak.
Sungguh aneh, Pitoyo rupanya tak mengetahui kondisiku yang panik itu. Pitoyo masih tampak anteng dengan lukisannya seolah tak merasakan kehadiran sosok mahluk aneh itu. Aku baru sadar, ternyata yang membuat teriakan dan tingkah polahku tak tertangkap oleh Pitoyo adalah, aku berada di alam lain. Sementara Pitoyo masih di alam sadar. Di alam dunia ini.
Aku lekas bangkit dari tidur. Rupanya mahluk aneh itu telah puas menyerangku. Ia pun melepasku dari cengkeramnanya. Pada mulanya aku tak mampu, karena kurasakan rohku masih tertahan. Aku terus berjuang untuk bangun dan melawan sihir mahluk aneh itu. Berulangkali aku jatuh. Terlempar. Aku bertanya dalam batin, apa mungkin karena aku yang bangun tertatih-tatih itu, akhirnya mahluk itu iba dan melepas jeratanku. Aku dapat merasakan bagaimana roh dan jasadku itu menyatu lagi. Aku bangkit. Nafasku masih terasa memburu. Detak jantungku berpacu kencang. Aku seperti buronan polisi yang bersembunyi di rumah kosong, lalu satu batalyon aparat mengepungku dengan menghunus monyong senjata.
Dengan sekuat tenaga akhirnya aku mampu mengeluarkan kata-kata, ”Kita nggak usah tidur sampai Subuh nanti.” Ujarku pada Pitoyo yang terlihat masih tenang melukis di sampingku. Sangat bertolak belakang denganku yang ketakutan. Aku tahu, mahluk aneh itu ternyata menyerangku di saat aku berada di alam bawah sadar. Saat aku tidur.
“Kenapa kau panik seperti itu?”
“Mahluk aneh itu menyerangku lagi!” jawabku. Mendengar jawabanku, Pitoyo menghela nafas panjang.
* * *
Aku teringat SMS kawanku semalam yang mengatakan ada perasan yang nggak enak denganku. Aku coba hubungi dia, tapi HPnya nggak aktif. Aku semakin takut, jika kejadian-kejadian susulan menimpaku. Aku telpon teman-temanku yang bisa kuhubungi, tapi rupanya nasib lagi sial: Jaringan sibuk! Hanya dua temanku yang bisa kuhubungi.
Cak Udin salah satuya.
“Kamu lagi tidur Cak?!”
“Ora! Aku nggak tidur malam ini. Aku lagi ngedit tulisanku.” Jawaban Cak Udin itu seketika menyentakku. Aku menghayati kata-katanya. Dia tidak tidur di malam hari, demi sebuah tulisannya. Demi sebuah jalan hidupnya. Demi sebuah pencerahan peradaban. Sementara aku, malah memilih tidur ketimbang bersabar demi tulisanku.
Aku langsung bergegas. Aku menyalakan computer lagi. Aku harus merampungkan tulisan ini. Aku tak boleh ditaklukkan oleh rasa malas, rasa kantuk, dan putus-asa! Aku harus berjuang keras melawan mahluk aneh itu. Melawan ketakutan. Melawan ketidakberdayaaan. Aku akan bertekad menempuh jalan itu. Menulis cerita ini!
Di pertiga malam itu, alhamdulillah computer nggak ngadat lagi. Komputer itu menyala lagi. Semangatkupun menyala lagi. Kubukalah tulisan-tulisan yang masih acak-acakan itu.
Pada salah satu paragraph ceritaku ini, tiba-tiba sepasang mataku dikejutkan oleh satu baris kalimat yang aneh. Aneh, karena kalimat itu tak bisa terbaca. Font hurufnya berbentuk symbol seperti ini:
􀂁􀁌􀂄􀁎􀁈􀁉􀁈􀁋􀁐􀁒􀁈􀂄 􀂌􀁌􀂍􀁐􀁈􀂇 􀁑􀁌􀂄􀁎􀁒􀁈􀁺 􀂇􀁌􀂈􀁐􀂌􀂍􀁐􀂊􀁈 􀁉􀁌􀂈􀁏􀁈􀂈􀁎􀁈 􀂌􀁌􀁉􀁈􀁎􀁈􀁐 􀁑􀁈􀁺􀁈􀂄 􀂌􀂇􀁐􀂈􀁐􀂍􀂋􀁈􀁺􀁒􀂋
Aku heran, kenapa hanya satu kalimat itu yang font hurufnya berbentuk symbol. Sementara kata, kalimat, dan paragraf-paragraf yang lain tidak….?
Akupun memblok satu kalimat itu. Lalu kuganti ke font garamond. Namun serentetan peristiwa aneh malam itu nampaknya belum mau dipungkasi. Font huruf satu kalimat itu rupanya tak bisa dirubah. Satu kalimat itu tetap tak terbaca. Satu kalimat itu fontnya tetap absurd. Berulang kali kucoba, tapi tetap seperti itu. Tak mau diganti! Aku menyerah.
Aku tak langsung menghapus satu kalimat itu. Aku memberinya tanda dengan memberi blok warna merah. Melihatku memblok dengan warna merah, seketika Pitoyo terkejut.
“Kenapa kau beri tanda merah?” tanyanya. Aku tak mengerti maksud pertanyaanya. Karena saat aku memblok kalimat itu, tak terpikir olehku akan memberi warna apa? Aku hanya sekadar mewarnai. Refleks! Tak terpikir pertanyaan yang akan diajukan Pitoyo itu.
Sejak saat itu, aku jadi termangu. Kenapa mesti warna merah yang kupakai menandai? Warna yang ternyata juga dipakai Pitoyo untuk melukis pada malam itu. Dan warna itulah yang membikin lukisan surealisnya menjadi tampak aneh. Tak seperti biasanya.
Tahukah, apa bunyi satu kalimat yang kutandai warna merah itu? Kalimat yang absurd, yang tak bisa dibaca itu? Setelah kulacak dan kubaca di data yang masih tersimpan, kalimat itu ternyata bertuliskan;
“Mengabadikan setiap jengkal peristiwa berharga sebagai jalan spiritual”
Mendadak, ingatanku langsung terseret pada peristiwa setahun silam saat berkunjung ke salah satu Pondok di tepi Sungai Brantas bersama Cak Udin. Pondok itu bernama Bustanul Arifin, artinya kebun orang-orang makrifat.
Di sanalah, aku dulu disergap pertanyaan membingungkan. Aku bingung ketika harus menulis di buku harian ini. Akankah aku menulis duka dan resah dari sepotong SMS. Atau aku akan menulis sebuah peristiwa berharga di tepi Sungai Brantas itu?
Malam ini tanda merah itu telah memberiku firasat. Sepertinya aku harus
menahan peristiwa berharga itu. Peristiwa penuh hikmah di dusun Mbatokan itu. Mungkin aku harus memulai cerita ini dari sepotong SMS yang masuk ke HPku setahun silam itu. SMS dari seorang gadis yang telah kutelphon malam-malam itu. Dari seorang gadis yang telah membuatku menjadi ‘pemberani’. Berani menelpon malam-malam. Berani mengusik orang tidur. Berani melakukan pekerjaan ‘terkutuk’: menelpon malam-malam.
“Skali lg aq mnt ma’f. Mlmu terusik”
* * *


No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates