Monday, April 7, 2008

catatan dari sudut kampus XI-XIV


--SEBELAS--
Kamis, 10 Maret 2005
Darah yang mengalir di jantungku melaju kencang. Marah, bergejolak, dan murka. Lembaga kemahasiswaan dan antek-anteknya kembali bikin onar. Mereka mencoba memboikot pers mahasiswa. Koran-koran yang selama ini ditaruh di meja redaksi, mereka rampas dengan dalih, “Ini milik senat!”
Aku tersinggung lantaran perilakunya yang petantang-petenteng, sok jagoan, sinis dan sengaja menciptakan iklim permusuhan. Bagiku, momen menjelang Musyawarah Besar pers jauh lebih penting dan signifikan ketimbang pemilihan dewan eksekutif dan legislatif mahasiswa itu.
Okey, aku akan melangsungkan serangan balik kepada mereka atau aku akan memilih aksi bungkam. Aku tak akan menggubris mereka. Titik!
* * *
Selasa senja, 15 Maret 2005
“Golput!” demikian isu yang kuangkat bersama teman-teman redaksi. Cuma ada enam gelintir manusia yang masih tersisa dari anggota pers kampus. Dan sepertinya Eriklah yang paling semangat untuk meneruskan perjuangan Pers ini. Mungkin karena masih keturunan darah panas, Padang. Jiwanya menggelora mirip kakak kemenakanya, Datuk. Inilah awal kalinya aku bincang-bincang lagi tentang politik kampus di rapat redaksi.
Sekarang, kampus lagi hangat-hangatnya menyambut Pemilihan eksekutif-legislatif mahasiwa. Rumor yang beredar, salah satu partai ternama dan memiliki masa cukup besar bakal main jegal di wilayah aturan. Beberapa partai revivalnya bakal mereka gembosi. Ini tentu bakal jadi isu panas, jika pers sengaja melempar bola panas itu. “Manuver apa yang bakal diangkat oleh partai oposan untuk menandingi kekuatan status quo di kampus ini?”
Jawaban yang mungkin adalah golput atau boikot pemilihan dewan mahasiswa! Jika partisipasi mahasiswa kurang dari 20%, alamat tidak syah! Dan pemilihan itu dinyatakan gagal!
* * *
Selasa, 23 Maret 2005
Aku berharap, pengorbananku tak sia-sia. Kuliah yang terabaikan demi memperjuangkan kemerdekaan semoga membawa efek. Paling tidak, kekuatan status quo yang bau busuknya yang nyinyir itu lekas tumbang. Sore itu, hujan badai sangat kencang. Angin yang bertiup kencang itu bagai hembusan amarah. Dahan-dahan pohon tumbang dan pamflet-panflet kandidat si presiden status quo terhempas.
Mungkin ini isyarat, bahwa kekuatan tirani yang mencengkeram kampus ini, akan lekas terjungkal dan ambruk. Semoga….
Aku sudah tak kuasa menyaksikan kebiadaban mereka. Layaknya rezim Soeharto, keberadaanya nyaris tak tergoyahkan. Kecurangan dan penipuan adalah politiknya. Bermuka badak adalah siasatnya. Dan ‘preman’ selalu melekat dalam arogansinya. Ia ibarat raja dalam zaman baheula yang tak menginginkan kursinya disentuh, apalagi digoyang. Cuma mulut busuknya, pandai bersuara. Selalu jargon demokrasi yang menjadi payung. Meski aku tak tahu, demokrasi macam apa yang mereka pakai, hingga menghalalkan segala cara untuk menjegal lawannya.
Apakah itu demokrasi, jika alergi kritikan? Apakah itu demokrasi jika masih
menggunakan model anarkis? Apakah itu demokrasi jika menelikung konstitusi.
Bagiku, organisasi yang telah lama bercokol di kampus ini adalah penjahat kelas kakap. Sudah terlampau banyak dosa-dosa atau catatan-catatan hitam yang menodai kampus ini.
* * *
Rabu, 23 Maret 2005
Haruskah aku geram melihat laju pers yang sangat lamban bagai bekicot ini? Mustikah aku mencebur bersama mereka, tertawa dan bermain di kolam air itu? Tak satupun mereka mempunyai gagasan cemerlang dan semangat menyala-nyala untuk menciptakan sebuah pers yang progresif.
Hal-hal teknis yang semestinya tak perlu dipermasalahkan selalu saja menjadi payung berlindung. “Proposalnya belum di ACC, abis printernya ngembeg,” ujar Titin, si bendahara itu. Seperti hendak memutahkan saja aku, mendengar alasan yang sangat kekanak-kanakan itu. “Huh…hh..!! kamu itu bukan balita. Printer aja jadi halangan,” aku menggerutu.
Peristiwa-peristiwa seperti ini adalah contoh kecil yang menunjukkan tak memiliki rasa tanggung jawab. Benar, mereka memang masih sayang sama lembaga pers ini, tapi hanya sebatas rasa, belum melahirkan langkah yang kongkret, jelas, dan terarah. Permasalahan-permasalahan substansial yang menumpuk di persma nyaris tak tak terlihat oleh mereka, apalagi sampai menjamahnya. Paling-paling datang, ngobrol ngalor-ngidul, sesudah itu lenyap tanpa sebuah kerja nyata…
* * *
Kamis, 24 Maret 2005
Baru saja pembantu dekan III menjenguk kantor Pers. Hanya aku yang berada di dalam. Aku mengobrol tentang sebuah impian-impian masa depan pers ini. Ia menginginkan agar orang-orang di pers ini musti menjadi penulis handal. Ini demi masa depan teman-teman juga jika nanti telah lulus nanti.
* * *
Ahad malam, 27 Maret 2005
Hari-hari ini semakin kurasa kehadiran Indani di hatiku. Kondisi perpolitikan kampus telah berada di ambang kehancuran. Suasana mencekam! Terutama saat malam menjelang. Kekuasaan tirani menjadi mesin bulldozer yang menghantam setiap pesaingnya. Kekuasaan itu telah membelenggu dirinya sendiri. Angkuh, sombong…
Sejak meletus tragedi Sabtu seru, 26 Maret 2005 yang mencoreng kampus ini, saben malam serasa ada kejadian miris yang mengendap-endap hendak meledak. Malam ini, bentrok fisik meletus lagi. Di komplek UKM, gerombolan organisasi ekstra tiba-tiba menyerang lembaga pers ternama di kampus ini. Agak ruwet memang menceritakan kronologisnya, karena kasus ini dipicu oleh banyak faktor.
Alkisah, salah satu kader organ ekstra, Sabrur meminta Suroloyo, seorang kader organ lain untuk berbicara. Ajakan Sabrur, ditolak Suroloyo lantaran Sabrur tidak menjelaskan masalah apa yang mau diomongin. Selain itu, kenapa musti ke tempat gerombolan organ itu. Suroloyo yang sejak dulu selalu kritis terhadap organ milik Sabrur itu pun curiga akan terjadi yang tidak-tidak terhadap keselamatan dirinya. Ditambah kabar, bahwa organ tersebut terus mengancam Pers dan dirinya, jika betul-betul
menerbitkan koran mahasiswa yang kebetulan menyorot tajam tentang segala pembususkan pemilihan dewan mahasiswa kemarin. Maka dugaan terancamnya dirinya semakin kuat. Dan Suroloyopun akhirnya bersikukuh menolak ajakan Sabrur.
Merasa tak berhasil menggandeng Suroloyo, Sabrur pun segera kembali. Selang beberapa menit, Sabrur datang lagi dan membawa teman. Permintaan Sabrur dan temannya masih sama, tapi kali ini dengan memaksa. Sabrur dan kawannya itu menyeret tangan Suroloyo untuk mengikuti langkahnya. Karuan sikap Sabrur memancing emosi Suroloyo. Maka dihantamlah Sabrur dengan pukulan keras. Massa dari pihak Sabrur yang sedari tadi menunggu di luar serentak mengejar dan mengeroyok Suroloyo. Namun beberapa mahasiswa yang netral rupanya telah mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan dari gelagat membahyakan itu. Suroloyopun secepat kilat ditarik masuk ke komplek UKM dan pintu langsung ditutup rapat. Puluhan mahasiswa yang lainnya mencoba melerai agar massa dari Sabrur tak semakin brutal. Tapi, kondisi malam itu memang susah dikendalikan. Massa Sabrur tidak terima. Mereka teriak-teriak! Mereka ngamuk! Mereka memecah kaca pintu komplek UKM. Lebih mengerikan, motor milik Suroloyo yang diparkir di luar tak terselamatkan. Mereka menghancurkan! Menumbuk dengan sebongkah batu raksasa. Mereka mengepruk! Meludahi! Sungguh miris!
Sekilas seperti kasus perkelahian biasa. Tapi jika ditelusuri lebih lanjut, ini syarat akan kepentingan politis. Dan Pembantu Rektor III-lah yang musti bertanggung jawab. Dialah manusia yang dengan teganya mengadu mahasiswanya sendiri demi kepentingan politiknya. Kepingin jadi Rektor di kampus ini. Bayang-bayang Rektor telah membuatnya berlaku tidak adil kepada mahasiswanya. Mahasiswa dari salah satu organ ia bela mati-matian, meski tingkah mereka teramat busuk. Sementara organ lain diperlakukan secara diskriminatif. Akibatnya rasa kecemburuanpun memuncak dan meledak chaos.
Kasihan terhadap kader-kader organ itu yang tidak tahu persis peta politik. Ia hanyalah boneka mainan kaum elit. Ia bertengkar dan berteriak-teriak membela organnya, karena dirinyalah yang paling benar. Ia tak sadar bahwa dirinya adalah prajurit-prajurit kecil yang kapan saja siap mati jika perang meletus.
* * *
Senin, 28 Maret 2005
Pagi tadi, ujian mid Bahasa Inggrisku berjalan lancar, meski aku tak tahu; lebih banyak benarnya atau kelirunya.
* * *
Dini hari, Selasa 24.00 WIB, 29 Maret 2005
Indani selalu datang dan menyapaku dengan kelembutan. Di tengah suasana batin yang gerah, Indani seperti menuangkan semangkuk air kedamaian di lubuk hatiku. Inikah yang kerap dimaknai penentram hati?
Malam ini, kondisi kampus masih mencekam. Baru saja, kader salah satu organ dikeroyok massa partai status quo. Sebenarnya dia adalah pelampiasan amarah anak-anak partai hijau, setelah mencari Suroloyo tidak ada di Pers kampus itu. Karuan, kericuhan itu memancing mahasiswa-mahasiswa yang bermalam di komplek UKM. Di cagak lima Teater Kampus, ketika aku berkumpul dengan teman-teman untuk mewaspadai aksi
brutal susulan, tiba-tiba sepotong SMS dari Indani masuki ke HPku, “Mas lg ngpain? Bljar ya? met bljar. Mas, biar sj org lain brkta ini-itu tp adk prcy sm Mas. Jd jgn bohongi Adk y?”
* * *
Awal April, 4 Februari 2005
Kicau burung. Desing mesin motor. Udara di luar sana segar, Kawan! Pagi ini musti ceria. Sabtu adalah hari penuh keistimewaan. Hari panjang di mana pengharapan sering tergantung di sana. Berulang kali HPku berdering sejak fajar menyingsing. Siapa lagi kalau bukan dari Indani. Hatinya pasti bertabur suka cita semenjak kumanja kemarin. Duduk di sebelahnya, meski untuk menemaninya mengerjakan tugas atau mengantarkan pergi makan. Kadang-kadang juga waktu kuliah. Belum lagi saat ia kujemput menghadiri acara tasyakuran Faisol yang sedang buka warung. Ah, Faisol rupanya memang manusia yang enerjik yang tak mau kalah berpacu dengan dunia. Dunia musti ditaklukkan.
Sebuah surat yasin baru saja selesai kuderas. Pagi yang benar-benar damai. Semoga! Kulihat Nur Cahyo tengah merampungkan hajatnya, bikin catatan-catatan kecil untuk contekan ujian mid. Sementara, Erik anak Padang itu benar-benar terkapar dalam dekapan malam. Tidurnya nyaris lelap. Tak terusik apapun, apalagi untuk sekedar menyentuhkan kening ke tanah. Tak sempat atau memang telah dilenakan oleh Sang Pengatur Jagad. Meski terselip kegusaran-kegusaran yang terkadang bikin jiwa meradang, hari-hari musti kuterjang penuh heroik. Lihatlah di depanmu telah terpasang bunga-bunga penuh warna-warni ceria. Seceria itulah semestinya hatiku meyambut pagi.
Kabut musti kusibakkan, agar terang jalan setapak itu. Aku tak ingin terlalu lama membuat kecewa Indani. Ia sudah terlalu lama menanti… “Mas, kenapa masih tenang-tenang. Lihat..! mentari itu terus perpijar, seiring dengan waktu yang tak pernah berhenti melaju.” Seperti godam menggempur kepalaku. Kalimat itu meluncur laksana angin malam. “Iya, Indani..!” hanya sepatah kata itulah yang aku punya…
* * *
Rabu, 5 April 2005
Semangatku untuk tekun ke media tulis menulis kembali menyala-nyala. Beberapa sarana yang terdapat di pers harus dioptimalkan. Dan semestinya pers ini akan mengadakan perampingan. Ini resiko dari adanya cita-cita itu. Litbang dan perusahaan sepertinya harus segera dipangkas. Karena kinerjanya selama ini mandul, dan tak memberi sumbang sih yang greget. Dan devisi bikinan orang-orang ‘tua’ musti didell.
Yang jelas, lahan yang menantang di depan adalah menciptakan tradisi intelektual yang ampuh dalam menuangkan gagasan. Maka dari itu, nanti pers ini hanya ada dua devisi, Redaksi dan PSDM. Redaksi memiliki beberapa sub; kewartawanan, menulis opini, cerpen, novel kolom dan budaya dll. Sementara PSDM meliputi; pengadaaan jaringan ke penerbitan buku, pers umum, menggelar event orgenaizer (EO) dll.
* * *
Rabu malam, 5 April 2005
Berawal dari SMS Indani semalam, “Mas Areta, jgn lp brdoa sblm tdr y”
Betul…! Tak kusangka tidurku semalam larut dalam mimpi bersama Indani. Dengannya aku berpetualang membelah lorong malam. Ada badai mengamuk hingga menumbnagkan pohon-pohon. Ada jalan becek, berliku, dan penuh lubang menganga. Tapi aku dan Indani terus menerjangnya. Nekad!
Yang kukagumi dari Indani adalah mengapa semua sabdanya selalu menjadi kenyataan. Padahal bila kutelisik dengan cermat, ungkapannya selalu lahir tanpa perenungan dan kedalaman pengetahuan. Kata-kata yang meluncur darinya datar dan biasa-bisa saja. Dan yang kerap kurasakan selalu kuremehkan bahkan kerap juga kutentang. Tapi anehnya, kenapa sabda-sabdanya seperti fatwa raja yang yang seketika menggedor-gedor pintu langit. Dan benar…! Kurasakan betul kebenaran kata-katanya.
* * *
Kamis, 6 April 2005
Di kampus ini, aku belajar politik, kesenian, kasih-sayang, belajar bekerja, belajar menulis, diskusi dan belajar mengenal cinta lebih murni.
Barangkali darah bapakku mengalir di pembuluh nadiku. Dunia politik yang menjadi pergulatan bapakku semasa muda, kini serasa mewaris padaku. Meski aku tak masuk dalam pusaran politik praktis kampus, namun pembacaanku terhadapnya cukup membuatku muak.
* * *
Jum’at, 7 April 2005
“Mas, sory klau adk trllu ikut cmpur, Adk gak mlrang Mas ntuk ikut & jd ap sj. Tp jgn lp kuliahny. Ini adk lkukan krn adk syg & kpingin Mas trdorong & smngat. Adk bnar-bnar tkut klau smpai hrs brpisah!”
Dua kekuatan besar menarikku ke sana ke mari. Layaknya seorang wanita, Indani menggiringku dalam kedamaian. Di sisi lain, semangat dan jiwa mudaku yang terkadang berkobar, mendorongku untuk menjadi petualang. Aku sebenarnya tak tahu, manakah jalan yang terang bagiku. Bukankah Yang Maha Hening sudah menggariskan untuk hamba-hamba-Nya. Bisa jadi itu kegemaranku, tapi bukan yang terbaik bagiku.
* * *
Sabtu, 8 April 2005
Di kampus ini, kusaksikan kebohongan besar menjadi kekuatan raksasa. Tak lagi punya rasa malu. Kekuasaan, pada akhirnya memang bikin gelap mata.
Partai status quo itu kembali menguasai kampus ini. Di salah satu sudut kampus, sebuah pengumuman yang mengatas namakan KPU dipajang dengan PDnya. Siapa yang tidak tahu, kalau pengumuman itu hanya manipulasi belaka. Meski kepala pengumuman itu metenteng nama ‘KPU’, toh mahluk-makhluk yang menghuni juga keparat-keparat busuk itu juga. Sandiwara yang diperankan organ itu memang cukup lihai, meski bau nyinyirnya yang menyengat hidung tak mampu mereka sembunyikan.
Partai-partai boneka bikinan mereka telah berhasil membikin kisruh. Ada partai keranjang, partai sampah, partai kadal, dan partai coro!
* * *
Senin, 11 April 2005
Sepotong SMS dari kakakku. “Dik, barusan kutransfer 200 ribu. Mulai selasa kemarin, Ibu udah jualan nasi lagi. Met belajar, semoga sukses selalu…!”
Kak…, takkan kulupakan semua hutang budiku padamu….
Saat ini, air bening tiba-tiba mengambang di pelupuk mataku membaca rangkaian kata-kata dalam layar HP ini.
* * *
Rabu, 27 April 2005
Aku memperkirakan, organ ekstra yang bercokol kuat di kampus ini akan tumbang oleh keangkuhannya. Kader-kadernya sekarang di segala linier sudah sangat memuakkan. Mereka hanya belajar bagaimana cara berkuasa.
* * *
Senin, 2 Mei 2005
Sebuah cerpen singkat kutulis dengan kegetiran. “Anjing!” itulah judul yang kusematkan, setelah menyaksikan tingkah laku mereka yang benar-benar tak ingin menjadi manusia. Darah yang mendidih di ubun-ubunku serasa mau muntah dan menumpahi muka para pencoleng. Usaha-usaha penguasa kampus untuk membasmi Pers kampus ini benar-benar mereka lakukan. Barangkali heroik perlawanan musti kukobarkan lagi. “Areta, kamu ‘kan pemimpinnya, bersikaplah yang tegas jangan mau dikadali terus-terusan!” kata seorang temanku. Terang, ucapanya menambah panas dan menggelegak dadaku. Panas bercampur ruwet. Dana pers kampus ini dipangkas senat mahasiswa tinggal 3%. “Anjing..! Brengsek semua mereka itu!”
* * *
Senin, 9 Mei 2005
Dua hari akhir-akhir ini, aku bermimpi buruk. Gerombolan partai penguasa kampus mengintai dan mengkoyakkan Pers mahasiswa. Mereka ternyata mulai mengagendakan untuk membumi-hanguskan pers mahasiswa. Terus terang, mimpi buruk itu membikin merinding bulu kudukku. Di tambah mimpi yang dibawa temanku satu pondok dulu yang mengatakan telah melihatku terperosok dalam tawuran massal di kampus. Dengan rasa setia kawannya, ia menarik dan menyelamatkanku ke camp Mapala. “Sudahlah kawan, makanya kamu jangan ikut-ikutan berpolitik. Begini kan jadinya,” demikian nasehat temanku, mengutip persis kata-kata dalam mimpinya.
Sebenarnya mimpi-mimpi kelamku itu sangat terobsesi dari kenyataan-kenyataan yang terlihat di depan mata telanjangku. Bahwa massa partai itu di manapun dan kapanpun memang sangat menyeramkan. Menatap wajah-wajah mereka saja, seperti menatap geng-geng narapidana atau pembunuh bayaran. Muka yang selalu hitam legam dan menyiratkan aura bengis adalah tanda mereka. Sangat jauh dari keumuman mahasiswa. Aku tak tahu, kenapa mataku begitu sangat jelas menyaksikan hawa seram dari muka-muka mereka?
Aku tak sendirian. Dulu pernah ada seorang pejuang di intern kampus. Dia dua tahun di atasku. Salim, demikian aku menyapanya. Pria berkacamata dan bertubuh lancir itu, adalah pejuang penegak demokrasi. Melalui kendaraan Pers, ia mengkonsolidasikan kekuatan-kekuatan yang berserak. Lalu dari upayannya itu, melahirkan sebuah kekuatan baru untuk menghadang kediktatoran status quo.
Perih manisnya perjuangan memang sudah menjadi santapannya. Bahkan keselamatan nyawanyapun kerap terancam. Tapi Salim memang salim. Ia tersalimkan. Terselamtakan…
* * *
Selasa, 10 Mei 2005
Menjelang kepulanganku…
Resah dan gelisah mengurungku dalam kesunyian.
--DUA BELAS--
Rabu, 11 Mei 2005
Akhirnya perjalananku mudik selamat juga, meski mampir ke rumah mas Oks, Nganjuk. Padahal, saat aku mengendarai motor dari Solo, hawa gamang sempat menyerangku. Ada rasa berat untuk menempuh perjalanan panjang dan membahayakan itu. Ada pula perasaan mengganjal, lantaran musti menyisakan sekian tanggung jawab kuliah dan pers kampus. Tapi rasa kangenku kepada keluarga terus memangil-manggilku. Dan ingin segera aku menatap seraut wajah bundaku yang sumringah kala melihatku membawa berbagai cerita. Aku juga kangen sama Aloeng, putra mbakku. Apalagi sekarang sudah penya adik baru. Aku ingin mendengar kisah terbaru keluargaku yang lama dirundung duka; penyakit bapak yang tak lekas-lekas reda, perekonomian yang sempat mecet, atau kisah kakak sulungku yang hingga kini belum jelas siapa pendamping hidupnya. Ah,… sebuah cerita yang mungkin sangat mentrenyuhkan…
Di Lohceret ini, suasana perkampungannya sangat lengang. Di depan dan di samping kiri rumahnya mas Oks berdiri pondok pesantren putra-putri. Suasana semacam ini mengingatkanku pada kisah masa silamku saat akrab dengan kesunyian. Di pelataran masjid, di sanalah aku kerap menghabiskan masa-masa SMU ku dengan membaca buku jika malam menjelang. Kecintaanku kepada teks-teks agama klasik itu telah mentekadkanku untuk berhijrah ke Yogyakarta guna menggali kearifan. Pertarungan keinginanpun meletus. Aku seperti memasuki rimba raya keilmuan. Jiwaku kembali memasuki masa transisi. Berbagai idealisme sedikit-demi sedikit tertanam. Berawal dari spiritualitas, melebar ke intelektual. Dari aktualisasi diri menjamah ke dunia politik dan akhirnya mengenal cinta lagi. Putih-buramnya kehidupan mulai menjajah pikiranku. Kenyataan demi kenyataan yang kerap bertolak belakang memberondong jiwaku. Dan akupun terkadang “terkapar” tak berdaya, menyaksikan itu semua.
* * *
Pare, Kamis 12 Mei 2005
Kamis pagi, perang meletus lagi. Bapak kembali menjadi anak kecil. Dengan kasar, ia mengumpat-ngumpat ibunda. Suaranya menggelegar bagai petir yang meyanyat-nyanyat jiwa. Aku terperanjat dan seketika menuju ruang tengah. “Sudahlah Pak…! Bapak istirahat dulu ya?” ucapku pelan sambil mendekap erat. Tapi siapa yang bisa menyumbat kata-kata miris itu keluar dari mulut bapak. Bagai air mancur, makian yang dialamatkan kepada ibuku menyembur tiada henti. Dan tak begitu lama, suara tangis sesenggukan terdengar. Ibuku tak kuasa menahan derai air matanya. Api amarah dasamuka itu telah melukai perasaan ibuku.
Kondisi kejiwaan bapak memang super sensitif. Sedikit saja ada yang menyenggol, maka lubang-lubang setan yang bercokol di tubuhnya akan menyemburkan api. Ditambah ingatan bapak yang terlanjur berkaratan, memandang sosok yang dibenci,--seperti kakakku nomer dua dan ibuku, menjadi cepat sekali terbakar. Seperti bara api yang tersiram bensin, “Laa…pp..” membakar dan menjalar ke mana-mana. Dari persoalan sepele, maka hal-hal yang berbau SARApun akan diseretnya.
Ibu tadi cuma mengatakan, kalau ember itu mau dicuci. Sementara bapak bertanya, kenapa air di ember keruh. Mungkin jawaban ibu spontanitas, sehingga membuat kejiwaan bapak merasa digurui. Karuan sifat superiornya munclak-munclak. Ibu dibentak, diumpat, dihina dengan kerasnya… Ah, ibuku. Aku tak kuasa menahan derita yang kau pikul saat itu.
Tragedi seperti ini bukan hanya sekali ini. Ini yang sudah ke seratus sekian, semanjak kedua orang tuaku mengikrarkan diri berumah tangga. Dan puncak prestasi keganasan perangai bapak meletus di penghujung tahun 2000. Tepatnya saat aku menginjakkan kaki di SMU. Selepas SMU, perangai bapak semakin tak karuan. Ia seperti manusia yang kerasukan Iblis laknat dari neraka jahanam. Semua orang yang tak seide dengannya akan dimaki-maki, mesti tak di depannya. Hanya orang yang manggut-manggut sajalah yang ia anggap teman sejatinya. Meski aku yakin, manggut-manggutnya karena melihat bapak, seperti anak kecil yang butuh dimanja, jika tak ingin menangis histeris.
Akan kusebutkan beberapa orang yang masih disegani bapak. Pertama, aku. Kedua Kakak Sulungku. Cuma itu. Selain aku dan kakakku, dianggap sampah baginya. Hanya dirinyalah yang paling suci. Paling benar sendiri. Kaum agamawan atau sosok kiai, baginya adalah bandit-bandit nomer satu yang musti dicerca. Ini disebabkan tragedi Gestapu yang benar-benar mengendap dalam ingatannya itu.
Sekarang ibu meninggalkan rumah. Hatinya yang terkoyak tak betah tinggal seatap dengan bapak. Sementara semua kakakku tak satupun tinggal di rumah. Kakak nomer dua sudah tinggal bersama istri tercintanya di desa terpencil. Mbakku begitu juga. Ia tinggal di Jombang bersama suaminya. Dan masku yang paling sulung, sampai sekarang masih memeras keringat di Surabaya. Rumahku yang baru, seperti bangunan sunyi tanpa penghuni. Besok pagi, aku mengejar matahari ke Jogja. Melanjutkan cita-cita yang masih diawang-awang. Aku tak tahu, bagaimana nasib bapak, nasib ibu, kakak dan aku sendiri…
Adakah secercah sinar mentari yang membawa segudang harapan, buat meniti hari esok? Ah… biarlah…Biarlah semua berjalan sekehendak-Nya. Badai pasti berlalu. Kadang datang bersama awan hitam. Kadang semilir menyapa lembut dan diimpikan setiap jiwa.
* * *
Kamis sore, 12 Mei 2005
Senja itu, aku bercengkerama dengan bapak di ruang tamu. Tak ada yang lain. Ibu pergi ke rumah bibiku, menyandarkan beban-beban rumah tangga. Aku mencoba meredam emosinya yang masih belum stabil. Berbagai cerita masa silam yang kuwedarkan, alhamdulillah, sedikit bisa mengendapkan darah yang mendidih di ubun-ubun kepala bapak.
Sepotong SMS dari kawanku masuk. Rupanya, yang menimpa kawan-kawan wartawan magang di Solo, tak jauh beda denganku. Dari sekian pengalaman, masih
menyisakan luka menganga, yakni kekecewaan. Kecewa lantaran sikap petinggi-petinggi Solo yang tidak adil. Mereka mendiskriminasikan teman-teman dari Jogja. Kenapa, Damar yang notabene juga masih nangkring di bangku kuliah, tiba-tiba ditarik menjadi wartawan?! Sementara temen-temen dari Jogja nyaris tanpa perhatian sama-sekali.
Fathihin salah satunya. Dorongan hatinya untuk segera mencari penopang hidup—karena rasa kebeletnya berumah tangga—memaksanya meringsek sekretaris redaksi agar dirinya diterima menjadi wartawan di kota Bengawan itu. Namun, jawaban dari bapak itu, “Maaf…! kami menerima murni melalui tes dan beberapa persyaratan, di ataranya, Sarjana dan IPK min, 3,0.” Kawanku tak bergeming, ia tetap merajuk, bahkan sampai berjanji, “Agustus depan, kuliahku rampung Pak!!” Tetapi orang berkacamata itu tetap bersikukuh dengan pendiriannya.
Aku katakan padamu kawan, mereka akan berkilah dengan berbagai cara untuk menyumbat masuknya orang-orang non Solo. Mereka akan berkedok; ini adalah aturan, alergi terjadap KKN. “Prek!!” itu semua omong kosong, kawan. Jika memang alergi KKN, kenapa mahasiswa-mahasiswi UNS/UMS begitu mudahnya ditarik menjadi wartawan tanpa persaingan. Kalau tak ada kepentingan di sana, tak mungkin Solo bersikap demikian. Kepentingannya jelas kawan: perusahaan itu ingin merajai kota bengawan itu dengan menarik warga Solo menjadi wartawan. Ada banyak keuntungan yang mereka kantongi. Selain legitimasi kekuasaan dari masyarakat setempat, juga pamor perusahaan itu akan semakin menjulang. Dengan begitu mereka tak akan mendapat pesaing yang membahayakan posisinya sekarang. Jadi, omong kosong bicara soal idealisme murni tanpa kepentingan.
* * *
Jum’at, 13 Mei 2005
Sehari, usai tragedi Kamis pagi, aku mengurung diri dalam kamar. Bapak tengah terlelap di pembaringan. Aku mengisi waktu dengan melihat album keluarga. Ah, foto-foto itu telah menarikku ke ingatan masa silam. Dengan memandangi wajah-wajah yang tersenyum, tertawa, diam terpaku ataupun tertidur sekalipun, alam pikiranku terbang ke mana-mana. Aku seperti sedang menyaksikan saudara-saudaraku bercakap denganku. Mereka semua seperti sedang di sampingku dan bercerita banyak hal. Memang benar, dengan memandangi foto-foto, alam pikiran dan kejiwaan serasa larut dalam suasana yang terpotret dalam gambar berukuran 4 R itu, apalagi jika mengamatinya dalam kesendirian.
Senja menjelang Magrib itu, aku berniat mencari SKKB di almari. Namun tumpukkan album yang tertata rapi di dalam almari seperti menyimpan magnet. Mataku pun tertarik ingin memandangi kembali potret-potret keluarga, teman ataupun orang asing yang nongol saat dijepret. Satu album kuraih. Terlihat agak kusam dan memang telah lama. Ada foto kakak sulungku yang lucu, saat masih SD, SMP hingga SMU. Begitu pula saat kursus bahasa asing di BEC ataupun kursus montir di Jombang. Ada keceriaan yang terpancar, seolah wajahnya tak menyiratkan duka lara. Bersama kawan-kawannya dia begitu riang bertamasya ke pantai, gunung Bromo atau ke candi Borobudur. Aku tersenyum sambil membatin, “Seandainya tiada kenal batas akhir masa muda, mungkin takkan ada duka-lara karena perpisahan.”
Aku juga terkenang adik kemenakanku yang selama hidupnya dulu, tubuh mungilnya terserang penyakit ganas; Tumor kepala. Meski semasa hidupnya (tak lebih dari 4 tahun) selalu menanggung beban derita–kepalanya yang terus membesar, namun
dalam foto itu, adikku masih sempat tersenyum. “Ah, kau adikku, semoga kau selalu tersenyum di alammu sana..!!”
Ada lagi selembar foto gadis. Dia adalah tetanggaku dulu yang aku sudah lupa namanya. Foto itu ia berikan kepadaku saat aku hendak berangkat ke masjid, mau sholat Magrib. Aku benar-benar tak mengira, jika dia menyimpan ‘rasa’ padaku, meskipun diam-diam. Aku baru tahu setelah ia memberi foto dirinya kepadaku, kemudian terucap kata-kata perpisahan, bahwa dia sekarang akan pindah ke negeri antah barantah. Dan foto-foto itu sebagai kenangan, agar aku mengingatnya. Ah,.. foto-foto itu…!
“Thit…thit..thit..thit!” Lamunanku seketika buyar, tatkala terdengar bunyi SMS dari HPku. Segera kuraih dan kubuka HP Nokia 3310 pemberian kakak sulungku itu. Rupanya kekasihku, Indani menanyakan kabarku. Ia kengen.
* * *
Sabtu petang, 14 Mei 2004
Sebenarnya, ada perasaan berat untuk kembali ke Jogja. Sehari setelah ibu meninggalkan rumah, kulihat bapak semakin murung. Ah, menyedihkan… Aku melihatnya sendirian di rumah. Sebenarnya aku tak tega. Nanti makannya gimana? Siapakah yang memasakannya?
Ah, bapak. Mengapa pagi itu, kau kobarkan api amarah. Ibu sekarang terluka sangat dalam. Ia sudah bersusah payah menghidupi keluarga, tapi malah kau maki-maki yang tidak-tidak. Semestinya, bapak sadar, siapa yang merawat bapak selama ini. Siapa yang membelikan obat selama ini. Siapa yang memasak dan membikin kopi; siapa kalau bukan ibu!
Bapak, engkau itu sudah amat beruntung. Sakit, tapi masih dimanja keluarga. Segala kebutuhan disajikan. Obat yang harganya setinggi langitpun dibelikan, meski bapak tak pernah memikirkan bagaimana mencari uang pinjaman sebanyak 1,5 juta itu. Lihat saudara-saudara bapak; semuanya nyaris tak terawat. Mereka tahu diri bahwa dirinya menjadi beban keluarga, karena sakit. Jadi tingkah laku dan keinginannya tak macam-macam seperti bapak. Anak-anak bapak sudah terlalu baik dalam memanjakan bapak. Ibu sudah teramat sabar menerima perilaku kasar bapak. Mustikah air susu dibalas dengan air comberan.
Bapak, kesabaran itu ada batasnya. Siapa yang tidak terpukul, jika kebaikan dibalas dengan tamparan. Bapak, sadarilah… sekarang engkau hanyalah seonggok jasad yang tak mampu berbuat apa. Jika kau masih juga sombong dan merasa paling hebat, untuk apa anak-anakmu masih memanggilmu bapak. Mereka semua sudah teramat berat memikul rasa malu memiliki bapak sepertimu. Satu yang masih kuharapkan dari bapak. Jadilah bapak yang baik, sebelum nafas terakhir mengantarmu.
Sekarang, hari-hari ini, aku tak tahu bagaimana nasibmu di rumah sendiri, tanpa ibunda, tanpa anak-anakmu…?
Duh gusti…
Malam ini hambamu ingin mengadu kepada-Mu.
Hanya pada-Mu.
kenapa takdir meski tercipta sedemikian rupa.
Aku dan Kakakku yang masih disegani,
justru tak bisa mendampinginya.
Aku tahu, sebenarnya telinga kakakku itu juga gatal
jika mendengar setiap pembicaraan bapak.
Allah, Engkaulah penolongku.
* * *
Senin, 16 Mei 2005
Ruang kuliah bagai penjara. Aku ingin berontak, tapi…
Ah… haruskah aku menyerah begitu saja?
Kembali, masa suntuk mengurungku. Ke mana-mana hanya wajah-wajah muram yang kusaksikan. Pikiranku pecah. Ocehan dosen itu seperti ingin lalu, tak sedikitpun nyangkut di ingatanku. Harapan-harapan itu juga seperti momok yang terus mengejarku. Aku tak punya vitalitas, perasaanku cemas, dan takut.
Musti kepada siapakah kusandarkan keresahan ini? Bayang-bayang keluargaku semakin membuat hatiku gamang. Cita-cita pers kampusku dipasung dalam sangkar besi. Rutinitas kuliah, malah membikin carut marut hati.
* * *
Senin siang, 16 Mei 2005
Aku tahan sekuat tenaga, rasa lapar dan dahaga yang menggeliat di perutku. Ada kenikmatan ruhani, jika perut dalam kekosongan. Seperti kata-kata Jalaluddin Rumi, “Dalam perut yang kosong terpancar cahaya Ilahi. Dengan perut yang kosong, jiwa akan tersucikan.” Aku ingin puasa! Izinkan aku Tuhan.
* * *
--TIGA BELAS--
Selasa, 17 Mei 2005
Semestinya aku terdiam. Tak perlu mengatakan rencana refresing kelasku itu pada Indani. Akibatnya ia merasa seperti kuanak tirikan, kunomer duakan dan yang pasti, perasaan kewanitaannya nelangsa. Ada semacam kekesalan, kecemburuan, dan perasaan benci yang ingin ia muntahkan padaku dalam SMS semalam itu. “Hore, acaranya pasti meriah ya, Mas? Untung Adik gak ikut. Adik pasti nganggu ketenangan Mas dan hanya malu-maluin Mas di depan teman-temannya. Dan Mas tidak akan leluasa menatap wanita-wanita cantik,” begitulah Indani, layaknya wanita umum yang perasaannya sangat sensitif.
“Maafkan Mas ya dik, Mas gak ingin kita jadi bulan-bulanan teman-teman!? Tapi ya terserah Adik menilai Mas. Jika menurut Adik memang demikian, Mas tak mengapa. Mas menerima. Mas egois, tak mengerti perasaan orang lain. Dan tak mau berkorban. Maafin Mas!” Jawaban SMSku itu, kutulis apa adanya. Sesuai kronologi yang terjadi menjelang keberangkatanku ke Kalikuning. Namun, itu tak berarti baginya, karena jiwanya terlanjur muram. Dan SMSku itu baginya hanya sebuah apologi. Akupun tak mau berbantah-bantah memperebutkan kemenangan, karena bagiku tak ada kemenangan jika harus menggoreskan luka.
Barangkali jawabanku tadi mengguncangkan jiwa Indani. Aku tak tahu, apa sebabnya ia kemudian memberiku jawaban jenaka. “Hore… Adik menang. Mas yang cakep marah. Kalau marah tambah cakep lho. Adik menang 100 vs 0. Adik mau belajar untuk ujian besok.” Itulah jawaban Indani. Ia rupanya tak menentu pijakannya. Ia masih ragu dan tak total dalam menghakimiku. Mungkin dia masih sayang kepadaku. Mungkin
ia tak punya banyak bukti untuk menguatkan prasangkanya. Dengan bersembunyi di balik kalimat jenaka, ia ingin menyaksikanku tersenyum kembali dan ingin agar aku memendam dalam-dalam peristiwa semalam. Dia ingin, agar aku menilai bahwa dirinya benar-benar tak mengapa, tak cemburu, tak sakit hati, tak kesal. Ia ingin diangggap ikhlas di pandangan mataku. Semoga saja engkau ikhlas dan mengerti bahwa tak ada niatan dalam diriku untuk menari ria di atas rintihan tangismu.
* * *
20 Mei 2005
Orang setengah baya yang sedari tadi di depanku, hanya tertunduk lesu. Kedua matanya menatap ke lantai dengan kosong. Hanya sesekali matanya mengerjap di balik kaca matanya. Orang itu sepertinya menyimpan rasa gundah. Ia tampak memikirkan sesuatu di dunia antah berantah. Bisa juga ia merisaukan nasibnya yang belum juga menemukan kemapanan.
Resah… resah…
Makhluk macam apa kau ini
Menyergap alam pikiran manusia tanpa kulonuwun dan mengurungku dalam kemurungan.
(Usai mendengar khutbah Jum’at)
* * *
Sabtu, 21 Mei 2005
Aku tak tahu tragedi apa yang sedang berkecamuk di tempat tinggal Indani sekarang ini. Aku hanya menduga keluarganya bakal menginterogasi Indani, lantaran pulang tak tepat waktu. Seperti dalam cerita film-film remaja yang kerap nongol di layar kaca; seorang anak gadis yang pulang larut malam hanya akan menjadi bulan-bulanan bapaknya, bundanya dan kakak-kakaknya. Dan itulah yang mungkin terjadi di negeri angin sana.
Pagi tadi kakak Indani menelepon ke Jogja. Ia khawatir, kenapa sampai sekarang Indani belum juga tiba di rumah. Jawaban apakah yang bakal disodorkan Indani saat wajah-wajah penuh curiga menanyainya? Masih sanggupkah bahasa kamuflase melindungi Indani. Ah… Indani pasti kepergok sekarang. Dan air matanya pasti terurai. Aku tak kuasa merasakan kepedihannya, kesedihannya dan nelangsanya…
Indani, maafkan aku. Aku tak sanggup melindungimu, tak sangup memecahkan persoalan yang terlanjur mengeras itu. Andai saja kita telah mendapatkan penyangga hidup itu. Engkau tentunya tak menderita seperti ini.
* * *
Rabo pagi, 25 Mei 2005
Aku memang harus berani berkata jujur kepada Indani. Jujur, sejujur-jujurnya. Bahwa kehidupan ini tak selamanya hitam putih, ada juga kelabu.
* * *
Rabu, 8 Juni 2005
Aku manusia kaku. Tak mampu membaca kemauan dan perasaan orang lain.
Aku individualis. Lebih menyukai bersunyi. Tak adakah waktu untuk sekadar berkunjung, menyapa, atau bergurau dengan teman sendiri? Apakah ini imbas langsung dari terlalu seringnya aku berteman dengan buku. Rangkaian kata-kata telah menarikku ke dunia sunyi. Yang kuberdayakan selama ini adalah wacana, wacana, dan wacana! Kapan aku bisa bergaul dengan teman. Apakah aku manusia yang diciptakan untuk selalu serius?
Sindirian demi sindirin dari Indani meluncur tepat mengenai jidatku. “Mas, mbok main-main ke rumah. Pendekatan cultural…!!” Ya, aku manusia egois! Ilmu yang kugeluti, semakin mengurungku dalam padang keterasingan.
* * *
Selasa, 14 Juni 2005
Indani pulang ke kampung halamannya untuk beberapa hari. Orang tua dan keluarganya sama saja. Mereka semua sepakat, Indani musti dikurung dalam sangkar besi. Anak wanita itu tak boleh macam-macam, ada waktu luang sedikit, harus jenguk rumah dulu.
Hari-hari masih dilimuti kabut. Sampai detik inipun cahaya kemilau yang kuimpikan dulu, belum terlihat, meski samarpun. Aku melangkah di ujung rel; sementara kereta api sudah semakin dekat. Siap menggilasku. Bagimana ini…?
Duh Gusti… Gusti… rasa jiwaku yang terus bergelora ini tak mungkin kuredam terus-terusan. Ia musti menemukan rumah yang tepat. Atau bila tidak, kebinasaan akan menghantamku.
Aku jelas tak kuasa menyaksikan air mata Indani mengalir karena derita perpisahan ini. Aku jelas tak mungkin melangkah sendiri tanpa perhitungan matang. Namun, jika aku tertahan di pusaran waktu yang tak menentu ini, pesimistis membayangiku.
Aku tak yakin, usai kuliah berani menjemput rembulanku. Aku juga tak yakin, usai kuliah ada sepetak ladang yang kucangkul untuk menyangga perutku. Kemandirian macam apa yang akan kujejekkan? Dan kenapa rasa gamang, terus menggandoli langkahku?
* * *
Selasa, 21 Juni 2005
Semalam, Indani mengadu padaku tentang kondisi teman-temannya yang kini semakin alien, individual dan unik. Ya, modernisme yang tengah heroik di bumi pertiwi, kini sudah sedemikian jauh menggeser keutuhan manusia. Manusia menjadi cenderung dikejar bayang-bayang masa depannya sendiri. Masa depan yang mereka sangka berupa kekayaan materi itu. Semestinya bukan itu, karena hanya membuat menjadi manusia profit oriented.
Aku mengatakan, semangat mereka yang meluap-luap itu, sebenarnya motifnya adalah materi. Persahabatan yang terjalin, sebenarnya meniup bara dalam sekam. Jika tak membawa keuntungan materi atau menjamin masa depannya, tendang itu yang namanya persahabatan. Inilah virus modernisme yang mencengkram bangsa ini. Mereka mengira, ketenangan dan kesuksesan itu diperoleh hanya dengan materi.
Sulit memang keluar dari putaran zaman. Seperti roda itu, ia musti diputar jika ingin melaju. Dan jika di zaman modern kita melawan (budaya tanding), maka kita
perlahan atau cepat akan tersisih dan mungkin terlempar. Inilah tantangannya.
Aku katakan padanya bahwa setiap manusia itu memiliki motif dalam bertindak. Ada motif kebersamaan, ada motif berkarya dan ada motif berkuasa. Motif kebersamaan kadangkala mengalami distorsi luar biasa. Ia menjadi semacam klangenan orang-orang jawa kuno; mangan ra mangan asal kumpul. Mustinya tak serendah itu! Semestinya kebersamaan yang diciptakan lebih berorientasi pada pola saling menolong, mencintai, kemanusiaan dan juga kebersamaan dalam berkarya. Tapi kenyataannya, itu masih utopios. Masyarakat kita masih belum memikirkan ke arah sana. Berfikirnya hanya yang dekat-dekat, konkret-konkret dan wadag-wadag. Yang berbau panjang, immanent dan ilahiah belum tersentuh. Kecuali hanya simbol-simbol semata yang tidak merunut sumbu substansinya.
Motif kedua adalah kekuasaan. Motif ini juga lahir dari zaman pra sejarah, karena mereka mengira kekuasaaan adalah segala-galanya, bisa membawa dan menikam dengan gampang. Mereka cenderung berhati batu, bertelinga cula, dan bermata gelap. Tak kenal istilah kemanusiaan.
Motif ketiga adalah berkarya. Sepintas, motif ini memukau. Tapi jika ditelisik lebih dalam, ini hanya kosa-kata eufemisme, yang makna sebenarnya adalah membangun tembok pembatas antara dirinya dengan orang lain. Ingin hidup dalam kesendirian. Individualis. Mereka hanya menciptakan kesenjangan-kesenjangan baru dalam masyarakat. Kecemburuan sosial mereka biarkan menganga. “Peduli amat,” kata mereka. Mereka perlahan bermetamorfisis menjadi lintah darat. Pola yang mereka tiru adalah Barat, biar terlihat elit. Upaya yang mereka bangun tak boleh berorientasi pada menolong orang lain. Hal-hal yang berbau cinta kasih sosial, musti disingkirkan sejauh mungkin karena mereka menyangka bakal menurunkan kelipatan capital. Dan puncak prestasi mereka adalah sekulerisme.
* * *
--TIGA BELAS--
Kamis, 23 Juni 2005
Kembali aku menorehkan kepedihan negeriku. Baru saja sepasang mataku menyaksikan berita di layar TV. Sekelompok massa terlibat aksi bentrokan, lantaran jago bupatinya kalah dalam Pilkada. Hampir di titik-titik rawan, kericuhan itu meletus. Bagai kurawa yang kesetanan, mereka membakar dan menghancurkan kantor dan bangunan umum. Miris! Sunggguh sia-sia belaka. Apakah mereka tak berpikir bahwa yang mereka bela mati-matian itu, tak sepenuhnya prihatin seperti yang meradang di jiwanya.
Lagi, di Sulawesi Selatan seorang ibu sambil menggendong anaknya yang masih balita menjerit histeris. Barang-barang dagangannya beserta kiosnya dihancurkan paksa oleh sepasukan polisi negara. Si ibu yang malang itu hanya berdiri terpaku, saat lahan penghidupannya direbut tangan-tangan besi. Seperti menyaksikan kiamat sugro, ibu itu setengah tak percaya ketika aparat negara dengan beringas meluluh-lantakkan kiosnya.
Sebagian masyarakat yang melakukan perlawanan, hanya menuai kekalahan. Sisa-sisa tenaga yang dikerahkan, berhadapan dengan moncong sepatu, pentungan, dan kopor senapan. Kepala bocor, darah segar mengalir, tubuh membiru.
Penggusuran! Tragedi yang menggoreskan luka menganga itu rupanya memang tak pernah berakhir. Ada penguasa yang melalui jaringan sistemiknya melegalkan penindasan wong cilik. Ada borjuis yang mengkilir penguasa dengan bejibun uang. Mata penguasa mana yang tak hijau, melihat makhluk bernama duit.
“Suruh minggat itu pedagang kaki lima. Akan didirikan mall-mall megah…! Ini SK-nya, laksanakan perintahku!” sungguh biadab!
Aku tak tahu bupati-bupati sekarang akan menghisap uang rakyat dari mana. Modal miliaran yang keluar buat suksesnya jadi penguasa, pokoknya musti kembali. Titik!
Di canel Metro TV, sebuah berita tragis kembali tertayang, “Seorang warga Jawa Tengah dianiaya dan akhirnya dilempar dari kereta api yang meluncur dengan kencang. Persoalannya sepele, penumpang yang naas tadi tidak memiliki karcis.”
Anjing!! Berulang kali marahku tak tertahan. Darahku seperti tersulut api. Kenapa jurang ketidakadilan di negeri ini semakin menganga lebar. Si kaya semakin tak tahu batas kewajaran. Tak tahu diri. Berjoged di atas air mata saudaranya. Sementara si miskin semakin tak tahu. Apakah dirinya manusia yang memiliki hak hidup. Martabatnya diinjak-injak. Tersisih, tergilas, terdzolimi dan terpuruk di tingkat paling rendah.
Kenapa seorang papa segalanya, terampas. Ia warga yang turut membayar pajak. Menggaji para pejabat perut buncit. Tapi hak-haknya tak kecipratan sepercik pun. Di negeriku pejabat semakin gila. Berlomba menggilapkan sedan valvo hasil merampas rakyat. Berlomba meninggikan pagar rumah, agar semakin tak tersentuh tangan rakyat. Apa-apaan ini !!
Sepanjang jalan setiap musim lebaran, kulihat seorang bapak membonceng tiga bocah dan seorang istri sekaligus dalam satu kendaraan bermotor. Di tengah terik mentari menyengat. Di jalanan penuh resiko. Bersalip dengan mobil-mobil mewah dan besar. Nyawa sangat rawan keselamatannya.
Tapi, pejabat yang mengisap uang rakyat, duduk tentram di dalam sedan. Sambil tersenyum sinis dan menghardik rakyat kecil. Menganiaya seorang yang tak punya karcis. Yang tak bisa beli makan. Tak bisa bermimpi….
Ah Muhammadku ….engkau pasti menangis melihat kejahatan umatmu yang tinggal di negeri ini …. Mereka sama sekali tak meneladani kesederhanaanmu. Mereka naik haji untuk menutupi kebusukannya. Agama yang kau tawarkan telah mereka gadaikan dengan seonggok impian picisan. Dunia. Jabatan. Kekayaan. Kekuasaan! Inilah negeri yang semakin tak mengenal batas kemanusiaan!
Di ujung berita, sebuah tayangan human interest sungguh menyentuh hatiku. Seorang anak kecil terserang penyakit hidrocyphallus. Bayi mungil itu kepalanya terus membesar. Dua biji matanya menatap orang-orang di sekelilingnya penuh tanya. Sebaliknya, orang-orang melihatnya penuh iba. Bersama neneknya, siang itu ia digendong di tengah keramaian pasar. Jika sudah lelah, bayi malang itu dibaringkan di atas sepotong kardus, di depan sebuah toko emas. Lalu neneknya menaruh ember kecil di samping bayi itu, barharap belas-kasihan orang-orang yang lalu lalang di tengah pasar. Memilukan!
Kemana ibu yang telah melahirkan bayi itu? Beberapa hari setelah melahirkan, si ibu rupanya terlebih dahulu dijemput malaikat Izroil pulang ke pangkuan Tuhan. Bapaknya? Ah, si bapak bayi itu memang berhati singa. Si bapak itu minggat setelah anak yang diharap-harapkan ternyata menderita penyakit aneh. Bapak tak bertanggung jawab itu malu punya anak yang badannya tak sebanding dengan ukuran kepalanya.
Mungkin juga, bapak si bayi itu sudah tak tahan hidup dalam penderitaan. Jangankan memikirkan kesembuhan anaknya, untuk menyambung hidup saja susahnya setengah mati. Kini, tinggallah bayi tak berdosa itu bersama nenek dan seorang bocah berusia 6 tahunan, mencari recehan uang di hiruk pikuk pasar.
Setiap hari, pemandangan timpang selalu tersaji di hadapan mataku. Mereka yang sekarat nasibnya, selalu berujung keputusasaan. Gelandangan-gelandangan semakin liar. Anak-anak tak jelas nasibnya bertebaran di jala-jalan raya. Kaum kumuh, miskin kota dan korban-korban ketidakadilan sistem ekonomi dan pemerintah terus berjatuhan di sudut-sudut kota.
Apakah ini takdir, jika kenyataannya bahwa aktor-aktor yang sengaja memutar balik sejarah sudah cukup jelas? Aktor–aktor yang menggenggam kunci roda ekonomi itu semakin meruncingkan pucuk tombaknya, mempercepat laju kendaraannya tanpa menoleh bahwa di sekelilingnya masih bertumpuk nasib orang yang tak seberuntung dirinya. Nasib orang-orang yang kalah dalam persaingan hidup. Ya, mereka kalah bersaing dalam negara yang tak memungkinkan dirinya bisa bersaing dengan sehat. Tapi ada yang di ciderai.
Bagaimana mungkin bisa bisa berpacu, jika kendaraan yang mereka tumpangi hanya mampu berjalan secepat mengayuh sepeda di antara sedan-sedan bermesin terbaru.
* * *
Rabo, 13 Juli 2005
Suara ki dalang edan, Sujiwo Tejo melengking di pondok KKN. Mengusir sepi, mewarnai hening. Observasiku sementara menyimpulkan hipotesis yang selama kugelisahkan; lunturnya tradisi keberagamaan dan meningkatnya hiburan-hiburan picisan, memabukkan, dan kepungan kesenangan-kesenangan semu lainnya, ternyata telah mencengkeram kuat di ubun-ubun setiap warga. Angan-angan semu itu berujud sosok pemuas nafsu serakah, nafsu seksual serta nasfu kemanjaan diri.
Obrolan-obrolan ringan serasa kecut jika tak nyrempet-nyrempet ke perihal perempuan dengan segala lekuk moleknya. Makanya, hiburan dangdutan begitu sangat digemari. Dan warga telah merencanakannya, menggelar panggung dangdut di malam 17 Agustus. Di malam perayaan hari ulang tahun kemerdekaan negeri sakit ini.
Ya, di panggung penuh fatamorgana itu pemuas nafsu mata akan tersaji. Ada seorang perempuan berdandan menor, pakaian ketat 3/4 dan sengaja dibikin terlihat sembulan-sembulan bodinya. Suara penyanyi adalah nomer yang kesekian ratus. Yang penting bersedia mengeliat-geliat dan mampu merangsang kelelakian. Dari sana sang produser mengeruk keuntungan melimpah. Artis yang memang buta kebudayaan makin tak menentu arah hidupnya. Masyarakat yang hingar-bingar tak ubahnya seperti sosok lelaki pengecut, yang beronani dengan angan-angan kosong. Menyedihkan sekali. Anak-anak generasi biru, tercoreng moreng masa depannya. Kaum agamawan hanya bisa geleng-geleng kepala. Siapakah yang salah?
Artiskah yang musti dituduh sebagai symbol keruntuhan moral? Produserkah yang harus bertanggungjawab lantaran kapitalnya yang melimpah ruah telah membikin hijau mata? Atau kaum agamawan yang tak mamu menyusupkan nilai-nilai moral dengan cerdik- kreatif? Atau masyarakat itu sendiri yang tak mampu menyaringnya. Atau bisa juga system di negara ini yang sudah semakin tumpang tindih, sehingga penghancuran moral menjadi keniscayaan. Ayo tebak, siapakah yang salah?
* * *
Jum’at 15 Juli 2005
Ada kebersamaan yang musti dikedepankan. Di sana membutuhkan kedewasaan sikap. Letupan-letupan kecil yang terjadi adalah perkara lumrah. Baru saja insiden kecil menusuk kekompakkan kelompok KKN. Si Pariyem, anak Subang itu rupanya tak siap dan merasa teremehkan, lantaran mendapat teguran kelompok. Aku salah satunya yang turut memberi ultimatum itu.
Peristiwa bermula dari perbincangan santaiku dengan bu Kadus. Dengan agak kecewa, bu Kudus menyayangkan kenapa sore itu, peserta KKN putri enggan hadir dalam acara arisan ibu-ibu PKK. “Padahal saya menyempatkan mampir ke posko, Mas. Tapi kata mbak yang duduk di teras, teman-teman baru saja membahas program kerja. Jadi nggak bisa ikut,” kata ibu Kadus. Aku seperti ditelanjangi. Susah payah mengambil hati masyarakat. Serasa tergilas sore itu. Aku berang, emosi tercampur lesu. Pulang ke posko kudmprat langsung itu si anak, meski dalam hatiku ada perasaan yang tak tega.
Aku menganggap tragedi kecil itu biasa saja. Artinya, seberang apapun, se-emosi apapun, itu tetap dalam koridor kebersamaan. Saling mengingatkan dan saling menerima masukan.
* * *
Rabu, 20 Juli 2005
Sepertinya rumah pondokan KKN yang kudiami ini memang bertengger semacam mahluk lain. Aku merasakan hawa seram itu saat senja mulai beranjak. Di ruang dapur, rasa merinding di leherku begitu terasa, meski lampu putih menyala terang benderang. Apalagi di gudang yang temaram itu,--tempat kursi-kursi kayu bertumpukan--serasa seperti melihat seorang tua tengah jongkok di salah satu kursi. Kejadian-kejadian yang bermunculan selama sepuluh hari ini, sepertinya mengisyaratkan tanda-tanda ketidakberesan itu.
Di kamar tidur, tempatku membanting segala letih dan suntuk, justru memancarkan aura mencekam, khususnya di larut malam. Saat sepasang mataku tertuju pada jendela kaca yang berukuran raksasa itu, perasaanku selalu dibayang-bayangi sosok perempuan berambut panjang terjuntai ke tanah. Wanita itu berwajah pucat, bermata dalam serta di sekeliling kelopak matanya diitari warna kehitam-hitaman. Perempuan itu selalu memandangku dengan beku dan dingin. Makanya, ketika aku tengah mengetik, korden atau slambu yang terpasang, kutarik rapat-rapat agar celah kecil pun tak nampak. Tapi anehnya, korden itu selalu saja tersingkap dengan sendirinya. Dan kolam keruh di timur kamar terlihat dengan jelas di pekatnya malam. Fikiran yang tidak-tidak pun bermunculan. Gemuruh hatiku menjadi semakin riuh. Dan jika sudah sedemikin genting jiwaku, aku segera membanting tubuhku di kasur dengan terlungkup, meski nafasku terasa sesak juga.
Kemarin saat pulang dari suatu acara, dini hari sekitar pukul 02.00 WIB, tiba-tiba layar TV yang tergeletak di depanku menyala sendiri. Aku mulanya mengira ulah kawanku. Ternyata kawanku itu tak merasa menyentuh sesuatu apalagi memegang remot kontrol. Kami pun jadi saling berpandangan dan tercengang….
Sebelumnya, kawanku asal Klaten juga melihat bayang-bayang hitam besar dan tinggi melintas di samping kamarnya. Seketika mahasiswi jurusan biologi itu jantungnya berdegup kencang. Kedua bola matanya pun enggan terpejam hingga fajar menyingsing,
teringat sosok bayang hitam berjalan pelan.
Semalam, teman-teman KKN dihebohkan lagi oleh suara wanita misterius. Suara itu keluar dari HP milik Tatik, dan memanggil-manggil;”Hallo Mbak….!!Hallo…!!Mbak, Hallo…!!” hiii..hi…. Bayangkan suara wanita tak berujud memanggil-manggil dengan lembut, bercampur parau dan terdengar menyayat-nyayat. Padahal saat kejadian ganjil itu, temanku hanya tinggal berdua bersama Fitri. Saat itu mereka berdua tak ikut jama’ah dan ngaji bareng, karena lagi tanggal merah, alias kedatangan pangeran bulanan. Mereka pun mengurung diri di dalam kamar, sambil ngegosipin apa dan siapa saja. Maklum kaum hawa. Di saat-saat itulah, tiba-tiba terdengar dengan jelas suara wanita misterius memanggil-manggil.
Kejadian mengerikan, rupanya terus berlanjut. Malamnya saat aku nangkring di kursi dan bercengkrama dengan komputer, suara radio yang kuputar tiba-tiba lenyap gelombangnya. Aku mulanya mengira, jika malam memang tak ada gelombang atau radio sudah tak siaran. “Maklum pemerintah kunyuk tengah menggalakkan ‘Gerakan nasional hemat listrik,” kata hatiku. Kutelusuri gelombang lainnya dengan memutar-mutar sinyal, ternyata masih banyak radio yang on-line. Maka kucari lagu-lagu di salah satu siaran radio, dan akupun melanjutkan ngetik. Tak begitu lama, jantungku dibikin nyaris terkejut dan bulu kudukku merinding. Radio yang kuputar dan berisi lagu-lagu itu tiba-tiba suaranya lenyap tanpa ending, sebagiamna radio yang berhenti siaran. Suara radio itu seperti ada yang mematikan. Dan yang membuatku ketakutan adalah, sepersekian detik sebelum suara radio itu mati, terdengar erangan seorang wanita yang merasa terusik oleh lagu-lagu di radio yang kuputar. Aku tercengang bercampur takut. Darahku seperti terhenti mengalir. Telapak tanganku mengucur keringat. Dan pucat pasi mukaku. Aku langsung menyumbat telingaku dan tertelungkup di ranjang menahan denyut jantung yang bergerak semakin cepat.
Tak lazim memang, aku dicekam ketakutan seperti ini. Telah lama aku meninggalkan fikiran-fikiran kuno berbau mistik itu. Bagiku, hal itu hanya akan menyeretku dalam kemunduran dan kembali ke zaman purbakala. Jika pun saben malam Jum’at aku terbiasa berkontemplasi atau sekedar termenung sendiri di tanah-tanah makam, itu bukan lantaran aku penasaran dengan dunia mistik. Tapi karena keinginan murnikuku untuk mendekati-Nya seintim mungkin. Namun di pondokan KKN ini, magnet-magnet mistis serasa melenyapkan keberanianku. Aku menjadi penakut, seperti anak-anak kecil yang sekedar untuk ke kamar kecil saja minta dianterin. Apa-apa an ini…!!.
Perasaan nggak sreg pertama kali, bermula saat malam-malam hari aku hendak mengunci pintu belakang. Lama aku menarik kunci itu, karena memang kuncinya agak rewel. Detik-detik itulah tengkukku merinding. Di belakangku aku merasakan seperti berdiri mahluk lain, meski saat kutoleh ke belakang tak ada penampakan. Hanya bayang-bayang tembok yang tersoroti lampu.
Sobatiku asal ponorogo, awal kali tinggal di Pondokan juga mengalami tragedi sama. Ia menuturkan, berulang kali terdengar suara piring-piring jatuh dan pecah berkeping-keping. “Pyang…Krompyang…!! Saat dia hendak ke kamar mandi malam-malam, dia juga mendengar dengan jelas suara riuh di Gudang Kursi belakang. “Suara itu ramai, seperti ada musik drum band,” tuturnya.
* * *
Kamis siang, 21 Juli 2005
Ada kegetiran yang kadang bikin sempit hati. Andri, seorang warga setengah baya, dari semula aku mengenalnya senantiasa memandang mahasiswa KKN sebelah mata. Meremehkan! Aku merasakan tak ada niatan baik darinya terhadap rombongan KKN. Mahasiswa KKN diupayakan sedemikian rupa untuk diperas. Kalau hanya modal dengkul, pulang sajalah…!
Semalam, saat mahasiswa KKN menghadiri arisan di RT 4.II, dengan nada sinis Endri menodong kami, “Apa yang bisa dibuat oleh peserta KKN terhadap RT 4.II, ketika jalan di depan masjid hendak dicor blok,” ujarnya. Ada gemuruh emosi yang mendidih di pusat peredaran darahku mendengar penuturannya. Tak salah memang! Tapi secara etika, itu benar-benar menyinggung perasaan mahasiswa KKN. Bagaimanapun, kami tetaplah mahasiswa yang masih merengek orang tua dalam perkara duit. Aku tak tahu bagaimana warga memahami posisi terjepitnya mahasiswa KKN. Jangankan untuk menyuntik dana, untuk kebutuhan sehari-hari saja, mahasiswa KKN musti pintar-pintar gali lubang-tutup lubang. Apakah mereka tak memahami bahwa mahasiswa bukanlah pemilik perusahaan, bukan pula kepala perwira. Mahasiswa—apalagi mahasiswa kampusku—adalah termasuk masyarakat yang kelas menengah ke bawah, kemudian mereka menyisih di perguruan tinggi untuk mematangkan diri. Salah besar kau, jika beranggapan bahwa kami bak ratu kidul yang turun dari kayangan, lalu mengucurkan kepingan emas ke masyarakat.
Kami adalah bagian dari warga negara yang tersisih. Kami bersama-sama warga tersisih lainnya berupaya mengurangi jurang pemisah yang terlampau lebar itu. Kami tak menawarkan janji yang muluk-muluk. Impian kami cukup sederhana, mambaur dalam kebersamaan. Kami adalah perantau yang hanya bermodal semangat. Kemampuan yang kami miliki serba sangat terbatas. Dalam pengalaman, kami bukanlah apa-apa dibanding masyarakat. Apalagi dalam perkara materi. Jika kesan awal yang terbangun bahwa KKN adalah golongan kelas elit maka amat keliru. Keliru sekali.
Aku sangat salut dengan salah satu warga di ujung timur, suatu hari saat berbincang-bincang dengannya. Orang itu sangat hangat, cair dan terbuka. Ia punya pandangan jernih, bahwa misi utama KKN bukanlah membangun “tembok-tembok”.
Jika demikian apa dong tugas negara?! Kesatuan jiwa dan perasaan, itulah yang sebenarnya menjadi bidikan utama mahasiswa KKN. Seintim mungkin, mahasiswa KKN mampu menjalin dan mengeratkan diri dengan warga. Silaturohmi inilah yang menjadi ujung tombaknya. Pola-pola persuasif yang digalakkan adalah upaya menyatukan diri dalam kebersamaan. Jika hati sudah saling menyatu, insyaAllah semua akan berjalan seiring, demikian katanya.
Orang itu terus saja berkhutbah sampai aku susah pulang. “Apalah arti sebuah bangunan-bangunan fisik jika tak mampu membangun kepribadian, seperti kemandirian, tabah, ulet, toleran, jujur, saling menghargai, integritas tinggi dan egaliterisme. Di sanalah lahan yang mustinya digarap oleh mahasiswa KKN. Jika itu mampu diwujudkan, mahasiswwa KKN telah menyumbangkan aset besar bangsa oleh sesuatu yang berwujud wadag,” ujar orang itu.
Anda lihat sendirikan, kehancuran bangsa ini disebabkan oleh laju pembangunan yang mengalir deras tanpa diimbangi pembangunan alam pikiran masyarakat. Akibatnya masyarakat jadi manusia konsumtif, punya ketergantungan tinggi terhadap barang-barang jelamaan industri. Warga jadi manusia penikmat produk-produk industri. Saban hari, kita hanya terpaku pada layar TV yang mempertontonkan tayangan memabukkan, picisan dan
penuh kepalsuan. Masyarakat dibikin tak percaya diri dengan tradisi yang digenggamnya. Anak-anak muda merasa gengsi jika tongkrongannya di masjid. Itu mah tak modern! Anak-anak muda ya musti di kafe dan di diskotik.
Kita selalu merasa bangga dan nyaman jika telah mampu membeli barang-barang mahal, jika mampu membikin mentereng rumah dan jalan-jalan. Pendek kata, semua yang berbau materi kita agungkan. Sesuatu yang berbau rohani, spiritual, mentalitas kita anggap angin lalu. Tak penting! Yang penting sekarang adalah bersaing memupuk materi. Berpacu dengan waktu demi sebuah kebahagiaan.
* * *
Malam Jum’at, 21 Juli 2005
Lumat-lumat suara ayat suci Al-Quran terdengar dari bilik posko KKN. Di bawah cahaya rembulan purnama, kesunyian menggiringku dalam kerinduan masa silam. Suasana religius yang melekat pada tiap manusia adakalanya berbinar setelah sekian lama terlapisi karat. Mustikah ketakutan pada hal-hal ‘aneh’ menyeretku dalam kehancuran?
* * *
Sabtu Pagi, 23 Juli 2005
Inilah saat-saat terbaik bagiku untuk mendekati-Nya. Suasana pondokan KKN adalah amtsal kecil dari perjalanan panjangku dalam menguji keyakinan pada Dzat Maha Sejati. Ketegangan-ketegangan yang meradang selama ini, adalah wujud ketidakseriusanku menapaki lorong-Nya. Semestinya kuhempaskan saja hal-hal yang berbau tahayul, bid,ah dan khurafat itu.
Kenyataan kerap mencetak kita di luar daya dan upaya yang kita rencanakan. Sesuatu tiba-tiba muncul di hadapan kita. Kita pun lantas lemas-lunglai dan pasrah. Di sanalah kita tiba-tiba menemukan semburat cahaya baru. Kita pun melangkah di sana tanpa pernah kita rencanakan dari semula.
* * *
Ahad, 24 Juli 2005
Tarmaji, itulah nama yang bikin merah telingaku. Dia adalah salah satu pengurus desa bagian pembangunan. Dialah yang menodongku di tengah terik mentari yang menyengat.
Saat itu, tenagaku lagi terkuras habis lantaran kerja bakti ngecor jalan. Di tengah nafas yang kembang kempis lantaran usai memikul semen satu sak, tiba-tiba si Tamudji mengancamku. “Mas KKN berani nyumbang berapa?! Jalan ini masih panjang!” ujarnya sambil menyodoriku selembar kertas berisi donatur-donatur. Di situ tertulis nominal-nominal Rp. 300. ribu, 400. ribu, 500, ribu… dan seterusnya.
Aku hanya bisa meringis saat orang bertampang mbesungut itu mengiterogasiku di tengah kerumunan warga. Aku tak berkutik. Nyaliku ciut dan hanya kalimat singkat yang meluncur dari mulutku, “Inggih…, Mengke kulo rapataken kalian rencang-rencang KKN.” Aku seperti maling yang tertangkap basah. Anganku mengawang ke angkasa, dari mana uang sebanyak itu kan kudapatkan…Pucat-pasi wajahku, seperti tertelan kabut malam. Di tengah-tengah orang brengsek itu nyrocos tanpa koma, tiba-tiba salah satu warga unjuk rasa membelaku. “He…Pak jangan gitu!! Dia ini sekolah, mahasiswa. Di
sini bukan untuk ditodong. Kalau memang punya uang ya dikasih. Tapi, kalau nggak ada gimana? Caranya jangan seperti itu dong!” Seketika orang tak tahu adab itu terdiam, meski raut wajahnya tetap seperti banteng mau nyruduk pohon. Orang itu merasa ada yang melawan, kemudian ia sedikit mengendur.
“Baiklah…!ntar dirapatin dulu sama teman-temannya. Kulo entosi..,” cetus orang itu. Setelah insiden itu semangatku down. Kerja tak bergairah. Aku nggak punya semangat untuk melanjutkan KKN di dusun ini. Buat apa tinggal lama-lama di sini, jika hanya materi yang mengganjal di mata warga. Tak ada greget sama-sekali aku untuk membangun mentalitas, kebudayaan dan agama. Toh, itu semua tak ada artinya sama sekali bagi warga. Aku pulang dengan menyunggi segumpal kemurungan. Langkahku seperti tak berpijak di bumi. Hatiku tak bertautan lepas…!
Senja tiba. Tadarus bersama kembali kujalani. Usai itu, Bagus—putra pak Supri yang agak heng—mengajakku kembali memeras keringat di ujung desa. Kerja bakti malam-malam melanjutkan langkah yang belum usai. Di keramangan malam yang tersoroti lampu pertromax, sosok Tarmuji kembali terlihat. Ia berjalan bergegas ke arahku. Aku sudah menyiapkan sebuah jawaban, jika ia benar-benar menagihku. Jawaban yang barangkali tak pernah terpikir dan terbayang olehnya. “Pak kami tak punya uang selempeng pun. Mau apa kau?!” dan kalimat itu akan kulontarkan di mukamu, dengan tegas dan jumawa. Akan kukatakan bahwa mahasiswa bukanlah sapi perahan. Untuk sekedar bertahan hidup saja, kami harus berjuang mati-matian, kami tak bisa memberi materi apapun, karena kami memang masih mengembik sama orang tua.
Tapi rupanya, keinginan untuk membalas kekalahanku siang tadi tak kesampaian. Si Turmuji ternyata tak berhenti dan menagihku. Ia berjalan terus ke arah yang tak kutahu. Ia mungkin sudah lupa denganku.
* * *
Senin siang, 25 Juli 2005
Tak baik menggantungkan hidup pada orang lain. Orang yang kau anggap enak kehidupannya pada kenyataan sama juga dengan kita-kita. Sama-sama dalam kegamangan, ketidak menentuan dan diliputi kegusaran.
Siang itu, di ruang tunggu wartel Kopma saat aku mau balik ke lokasi KKN, aku berpapasan dengan kawan lamaku yang sudah setahun tak berjumpa. Dion namanya. Kurang lebih tiga bulan semenjak ia mengenakan jubah hitam dan memakai toga sarjana, arah hidupnya berbalik 360 derajat. Ia kini menekuni dunia kerja. Jual beli buku, lalu keuntungan yang tak seberapa itu ia gunakan untuk mengganjal perutnya. Ilmu-ilmu yang ia pelajari di kampus selama ini, tersimpan di gudang. Ilmu itu terlampau mengawang-uwung, tak mampu ia bumikan. Demokrasi yang ia perdebatkan selama ini tak terpakai sudah…Madzab, teologi, filsafat, dan sekeranjang istilah lainnya, seolah pergi begitu saja kala memasuki dunia kerja.
Ada pesan tersirat saat aku berjumpa dengannya pagi itu. Rasa percaya pada kemampuan diri tak boleh tergadaikan. Keyakinan pada sebuah proses yang kelak pasti menemukan kilau cahayanya, harus kugelorakan kembali. Dan mandirilah. Jangan mudah menyerah, lantas berpangku tangan dan mengharapkan uluran tangan orang lain. “Tekunilah. Istiqomahlah di lorong yang kau tapaki,” pesan Dion kepadaku. Terima kasih sobat.
* * *
Rabo, 26 Juli 2005
“Prek..!!!” bicara soal pendidikan, agama, kesenian dan kebudayaan dalam masyarakat desa. Tak butuh itu semua. Yang kita butuhkan adalah konkret; pembangunan fisik. Titik!. Dua minggu hanya klontang-klantung. Gak punya kerjaan apa-apa…?
Pedih sekali malam ini. Kabut kemurungan masih menyelimutiku dan mungkin juga teman-temanku KKN. Susah payah memikirkan solusi untuk problem sosial, rupanya tak ada manfaatnya sama sekali. Uang…, uang… uang…, itulah yang diinginkan dusun ini. Jika datang tak monomer wahidkan berhala yang bernama uang, jangan harap pulang dengan menyungging senyum. Malah senyum kecut yang terselip di bibir masyarakat.
Aku masih dalam kegamangan, apakah mayoritas warga dusun ini berpikiran seperti itu. Sempit dan wadag?
Aku ingin meregangkan ketegangan-ketegangan pikiran dan meredakan gejolak hati. Malam ini aku ingin tidur, berkati mimpiku Allah.
* * *
Jum’at petang, 29 Juli 2005
Aku akan menjadi manusia serius lagi. Setidaknya di pondokan KKN ini, tak akan lagi lahir dari mulutku jog-jog humor, plesetan-plesetan atau gojlokan-gojlokan. Aku tak ingin melukai perasaan orang lain. Mungkin, keceriaan yang kuenduskan selama ini belum terbaca apalagi dipahami oleh sebagian kawan-kawan sehingga itu dianggap serius. Dan akibatnya lecet. Aku yang menjadi sasaran kekesalan. Aku dianggap arogan, jumawa, tak cinta kasih dan tak perasaan. Inilah yang kukhawatirkan sejak semula. Jika memang ingin menciptakan suasana humor ya mbok yang totalitas. Ndak usah pilah-pilah. Toh itu cuma humor agar mencair kebekuan-kebekuan. Jangan lantas, suasana humor disikapi dengan serius dan masuk ke hati. Ya, itu namanya membunuh karakter dengan menelikung sembunyi-sembunyi.
Semalam, belum lenyap dari ingatan oleh ulah sebagian warga yang menuntuut berlebihan, aku ditikam lagi. Aku meringis di samping gawang pintu, menahan malu. Sehebat apapun apologi yang kukerahkan, toh ambrol juga pertahananku. Gimana nggak malu, selingan humor-humorku saat memimpin rapat semalam, mendadak dihakimi oleh teman-temanku sendiri. Tak ada yang membela. Karena memang aku yang menjadi juru bicara. Jadi lebih besar kemungkinan resikonya. Teman-teman lain selamat, karena memang sekecap-sekecap ngomongnya. Lha aku?!
Akupun menahan kekecewaan mendalam. Aku langsung meninggalkan pondokan angker itu tanpa pamit. Pagi-pagi aku baru pulang. Aku merenung sebentar, dan keputusan pahit itu aku ambil; serius. Ya di komunitas KKN ini, aku memilih bersikap serius, ketimbang kepleset. Aku sebenarnya tahu, hal itu tak mungkin aku lakukan. Itu sangat konyol. Kekocakan yang tersisa selama ini mustikah tiba-tiba kuganggu dengan sikap seriusku. Itu jelas tak mungkin. Tapi jika aku larut dengan suasana yang diciptakan KKN aku pasti akan ditikam untuk kedua kalinya. Ah… embohlah…!
* * *
Senin pagi, 1 Agustus 2005
Konflik-konflik internal yang membara di kelompok KKN, takkan kugubris. Anggap saja tak ada apa-apa. Tak perlu ada ruang blak-blakan. Biarlah nantinya terkikis dengan sendirinya. Capek aku. Terlalu kekanak-kanakan!
* * *
Selasa, 2 Agustus 2005
Keberadaan KKN sepertinya perlu dikaji lagi. Jika masyarakat desa sudah tak punya daya resistensi lagi terhadap gelombang globalisasi, peserta KKN seperti berhadapan dengan macan dalam kebun. Mengerikan! Dari letak geografis dan fisik, desa memang masih kelihatan rukun, ayem, santun dan semangat kegotong-royongannya masih kental. Namun, di alam kejiwaan masyarakat, nyaris seperti macan kelaparan barang-barang industri. Akibatnya selera dan tradisi pun terkikis. Pos-pos ronda sepi, masjid dan surau hanya dua-tiga jama’ah. Bahkan semakin punah, karena hiburan TV menyediakan semuanya.
Ketika pasukan KKN hadir, yang terbersit di batok kepala masyarakat, hanya uang dan materi. KKN menawarkan kebudayaan, dimentahkan. Jika menuruti kemauan masyarakat, jelas tak mungkin ?
* * *
Kamis, 4 Agustus 2005
Kabar duka dari negeri kelahiranku. Lebih perih kurasa dari pada menjalaninya.
Duh Gusti… mengapa derita nestapa keluarga tak kunjung usai. Kenapa tak Kau timpakan saja ke pundakku. Aku lebih tak sanggup menyaksikan dan mendengarkannya. Himpitan ekonomi yang menyesakkan itu mengabadikan dukaku.
Pukul 5.45 WIB, di ruang tengah posko KKN, saat mataku masih tertutup, kakak sulungku menelepon aku. Ia mungkin sedikit penasaran, kenapa tiba-tiba aku menanyakan keluarga sehari sebelumnya. Aku merasakan kegetiran di sana. Meski kakakku tak berbicara tentang kabar buruk. Ada kegelisahan yang tertahan sengaja disembunyikan, agar tak mengacaukan alam pikiranku. Dalam namun kuat, pengaruh telepon pagi ini. Kesadaranku terseret dalam sebuah sumpah pengabdian; “Kelak semua derai air matamu takkan kubiarkan mengering terhisap masa..”
Kabulkan pintaku ya Allah… untuk membuat mereka tersenyum…
* * *
Sabtu, 6 Agustus 2005
Keakraban mahasiswa KKN dengan pemuda kampung seperti tak mengenal batas-batas kewajaran. Peserta KKN sudah dianggap bagian dari mereka. Tak ada ruang yang disembunyikan. Hal-hal yang tabu di masyarakat, justru enjoy ketika bersama mahasiswa KKN. Akhir Juli 2005 kemarin, saat pemuda desa menenggak dua botol anggur merah cap orang tua yang dicampur sebotol coca-cola, mahasiswa KKN tak mampu mengelak ajakan mereka pada paruh malam itu. Di tepi pematang sawah desa itulah, awal kali batas-batas kewajaran lenyap.
Ah, pemuda kampung itu datang lagi. Tak ada waktu lagi aku untuk menulis...
* * *
Bakda Ashar kulanjutkan semampuku untuk menulis. Apapun kesibukanku di lokasi KKN ini, semoga saja masih ada sisa waktu dan kemauan untuk menulis di buku harian ini.
Ilmu buku yang kutelan saben hari, adakalanya terejawantahkan dalam kenyataan hidup. Buku, memang tak selamanya mampu menggiringku dalam menemukan solusi.
* * *
Ahad, 7 Agustus 2005
Aku tak tahu, di manakah batas-batas kewajaran dalam mengikuti arus. Di sinilah kesulitan membedakan antara hanyut dengan mengalir. Mahasiswa KKN laksana pintu gerbang keraton yang tak terkunci, bahkan terbuka selalu. Wajah ‘keangkeran’, eksklusif, elit, intelek, seolah tak tersirat sedikitpun dari peserta KKN. Warga—khususnya pemuda desa—memandang mahasiswa KKN sebagai qurratul a’yun; ‘penyedap mata’. Ada warna-warni suasana dengan kehadiran mahasiswa berjas itu.
Tapi di sinilah mahasiswa KKN seperti menghunus sebilah pedang bermata dua. Satu cita-cita terwujud, resiko monyong pedang menghadang. Posko memang jadi tempat pelarian, tatkala kesuntukan di rumah mengurung mereka. Tapi riuhnya itu yang kadang bikin nafas naik-turun. Kamar privacy laki-laki jadi studio pemutaran film biru. Tengah malam serasa tak punya nyali untuk menolak permintaan mereka yang ingin ngobrol dengan peserta KKN cewek. Jikia anggur merah menanti, tak bisa tidak peserta KKN musti ditarik untuk turut menenggak minuman penghangat tubuh itu.
Di manakah pertahanan mahasiswa KKN, untuk kemudian mengambil ancang-ancang melompat? Jika sekedar mengalir tanpa melakukan ‘pelurusan-pelurusan’, maka tak ada sumbangsihnya mahasiswa KKN terhadap pencerahan. Mungkin istilah ‘diterima’, Ya! Tapi untuk melakukan perubahan-perubahan sebagaimana amanat seorang mahasiswa; ‘agent of social change’, tunggu dulu.
Yang dilakukan mahasiswa KKN adalah upaya penyelamatan diri dari picingan mata dan senyum sinis warga, meski sedikit-demi sedikit mahasiswa KKN nyrempet-nyrempet ke perihal ‘membahayakan’ itu. Yang terjadi selama ini, mahasiswa KKN masih dalam upaya masuk dan mengambil posisi di hati mereka belum melakukanm manuver-manuver yang diamanatkan kampus.
Ah, mungkin tak apalah…Asal satu catatannya; tak menambah noda hitam di daerah Polda ini.(pol daratan, maksudku). Mahasiswa KKN juga manusia biasa, sama seperti warga. Bahkan dalam wilayah-wilayah tertentu, warga jauh lebih unggul; corak berpikirnya, ketanggapannya, skillnya…dsb..Yang membedakan cuman ‘pencitraan’ saja. Mahasiswa KKN seolah memiliki citra intelektual, elit, status sosialnya lebih dikit. Padahal mitos-mitos itu tak selamanya benar. Mahasiwa juga terkadang sangat pekok, tak tanggap, dan jauh lebih pemalas. Dari mana mahasiwa hendak melakukan gerakan-gerakan pelurusan, sementara di segala linier, mahasiswa juga sama-sama meiliki ‘bakat’ terpendam; mendem, gemar nonton film gituan, manja, dan pemalas.
* * *
Ahad, 14 Agustus 2005
Di masjid Pakualam ini, kutemukan kembali ketenangan hati. Usai Magrib,
beberapa orang berjubah putih tengah mengaca diri kepada keagungan akhlaq Rasulullah. Diwedarkan kisah-kisah tauladan nabi, keutamanaan-keutamaan dzikir, iktikaf di rumah Allah, serta kisah-kisah Allah, serta kisah-kisah di alam akhirat kelak. Suara bapak paling sepuh itu terdengar lembut saat memberi wejangan-wejangan mulia. Cinta dan kasih sayang. Ah… seandainya komunitas KKNku seperti mereka-mereka, berhati lembut, memiliki satu impian yang sama; gandrung dengan Muhammad…
Kecocokan! Setiap sesuatu pasti ada cocok dan tidaknya. Seperti si pasien yang cocok-cocokan dengan dokter, dalam berkawan pun juga demikian. Tak selamnya, seorang tertawa lepas terus. Tergantung dengan siapa ia berkontak.
“Mas… mas.. mas.. bawa sepeda. Sepedanya dikunci saja atau dibawa masuk biar aman.” Seorang jamaah tabligh yang serba putih itu, tiba-tiba mengagetkanku. Dan tergopoh-gopoh aku dibuatnya. Eh, ternyata bukan sepadaku yang dimaksud. Buyarlah lamunanku.
* * *
Dini hari, Senin ; 15 Agustus 2005
Serangan-serangan nyamuk telah membangunkan tidur malasku. Di hamparan lantai pers kampus inilah, aku merasakan dorongan untuk bangun malam. Aku teringat Indaniku yang susah di kostnya. Ada ketidaklegaan di hatinya, saat ke pulanganku dari lokasi KKN membawa segepok keresahan. Semestinya aku tak membuat murung hatinya semalam. Aku telah mengikis masa-masa bahagianya dengan cerita-cerita menyesakkan. Semestinya aku menyambutnya dengan senyuman bahagia, agar hilang gundah gulananya selama ini. Kesuntukkan yang memasungku, musti kutaklukkan agar tak mengimbas ke orang lain. Kasihan Indani…
* * *
17 Agustus 2005
Aku hanya bisa menghela nafas panjang. Malam ini di dusun KKN tengah merayakan kebebasan hasrat sesaat di HUT RI ke-60. Dengan lepas kendali, mereka meluapkan ambisi egonya. Bapa-bapak, anak-anak muda, hingga yang paling tragis; anak-ana kecil, tumplek blek di depan panggung.
Ya, anak-anak yang semestinya tak mengkonsumsi tontonan selera rendahan itu, tertengadah di depan panggung paling ujung. Matanya menatap tanpa jemu seorang penyanyi wanita berdandan seronok. Panggung ndangdutan, orkes elekton tunggal, seorang artis, adalah seteguk air yang akan mengobati kehausan mereka.
Ah, teramat kasihan bocah kecil itu. Masa depannya masih panjang, tapi harus terpolusi dengan kesenangan-kesenangan orang dewasa. Segala yang berbau merangsang, menggairahkan, dan menggemaskan pun merasuk dalam jaringan otaknya.
Mungkin, anak itu kelak tak mampu menentukan pilihan hidup yang sehat dan yang memabukkan. Panorama goyang pinggul yang bikin jantung dag-dig-dug serasa panorama yang musti dilestarikan kelak. Bagaimana nasib anak-anak itu 10-20 tahun mendatang?
* * *
Kamis dini hari, 18 Agustus 2005
Adakalanya kita menyerberangi momentum, di mana peran nabi Ayyub yang malang kita jalani. Atau Musa yang garang. Atau Khidir yang serba bisa, namun sembunyi dari mata masyarakat. Anggap saja kita berakit-rakit ke hulu, tanpa pernah merasakan enaknya tepian pantai. Semua musti tetap tegar. Lempar jauh-jauh penilaian orang lain tentang kita. Terserah kata mereka. Terkadang kita musti rela dianggap kekanak kanakan, bloon atau tak punya nyali. Jangan pernah mencitrakan diri di hadapan orang lain. Meleburlah bersama mereka, untuk kemudian kita menjadi penggembala.
* * *
Awal September 2005
Saat masa KKN tinggal di ujung penantian….
Seperti sebutir pasir di hamparan pantai, itulah kami, sekumpulan anak-anak muda dengan segala keterbatasannya memberanikan diri menimba ilmu di dusun Pasir ini.
Sepenggal kisah di Negeri Pasir itu telah rampung kubacakan di malam perpisahan. Beratus pasang mata menatapku dengan trenyuh, saat kenangan-kenangan masa silam kuangkat kembali. Ada tawa dan tangis. Suka dan duka…
“Mas, saat sampeyan membacakan kisah semalam, bapak-bapak dan ibu-ibu sebagian menangis. Pak Dukuh juga terlihat sesunggukan,” ujar Bagus, si anak SD kelas V yang bandelnya minta ampun itu. Begitu pula bapak sosial. Saat itu turun dari mimbar, dengan berbisik ia mengatakan, “Cerita sampeyan sangat membuat hatiku trenyuh. Mas, sangat paham merangkai kata,” ujarnya.
Memang aku merasakan hawa syahdu itu. Seluruh hadirin, seolah tengah mendengarkan keputusan hakim yang menegangkan. Namun ketercengagan hadirin malam itu diselimuti dengan perasaan haru. Hampir tak terdengar percakapan saat aku membacakan kisah itu dengan agak terhenti-henti, seolah perpisahan itu suatu hal yang meninggalkan luka-lara. Sebagian anak-anak kecil, usai kubacakan cerita sepanjang tiga halaman dan berspasi satu itu tak tahan lama-lama di lokasi pengajian. Mereka langsung melangkah pulang, dengan setumpuk kenangan yang membara. Mereka pun terisak menangis.
Lalu bagaimana dengan teman-teman KKN dari dusun lain yang menyaksikan peristiwea itu? Hampir serupa, pernyataan yang mereka lontarkan, meski aku pura-pura tak tahu. “Aku tadi seandainya tak kutahan, air mataku suda tumpah,” ujar Roni, dari lokasi desa sebelah. Mahasiswa KKN dari kelompok satu, pagi-pagi juga menyusul. Dua orang langsung tiba ke posko, hanya untuk menjiplak naskah itu, untuk mereka bawakan saat sambutan nanti di malam perpisahan.
* * *
14 September 2005
Kutahan sekuat tenaga dan kusembunyikan semampuku. Toh, air mataku tak kuasa jua untuk kutahan. Perpisahan malam itu begitu membuat hatiku bergemuruh. Aku tak kuasa menatap bocah-bocah lugu itu diam penuh kepiluan. Dan,…….ah, anak-anak kecil itu kudekap erat lama. Kubelai rambutnya, kusayang dan kubisikkan kata, “Maafkan kakakmu ini ya, Dik!?” Air mataku pun terlanjur tumpah.
Kini aku pulang kembali di kampung mahasiswa. Cerita di negeri pasir telah usai, hanya tinggal kenangan. Setidaknya dua bulan berinteraksi dengan kawan-kawan membutku semakin tahu, bahwa di sana bukanlah komunitasku yang cocok. Semuanya hampir nyaris kompak dalam ke’narsis’annya. Membagakan diri, dan memandang rendah orang lain yang di luar komunitasnya. “Sangar”, demikian si Endro, salah seorang warga menjuluki gadis-gadis KKN. Bicaranya hamtam kromo dan selalu superior. Mungkin Tuhan mengajariku agar terkikis ke-akuan.
* * *
--TIGA BELAS--
15 September 2005
Aku berdiri di sini. Terpaku, menatap gulungan ombak yang tak henti berkejaran. Di ujung sana, pandangan mataku tertuju pada selintas garis lurus yang menghubungkan laut dan langit. Tetapi, orang-orang kerap mengatakan garis itulah yang memisahkan laut dengan langit. Garis itulah, yang membatasi wilayah luasnya langit dengan hamparan bumi. Ah, biarlah aku saja yang tak sepakat dengan pendapat mereka. Bukankah sebelum orang menginjakkan kaki ke kampung akhirat, terlebih dahulu orang menjangkah kampung di bumi.
Kulihat Indani masih terdiam dan bertopang dagu, seperti si anak kecil yang murung karena permainannya terhanyut di sungai. “Lenyapkanlah keakuan itu Indani. Biarlah nilai-nilai mulia yang kau ajarkan itu yang abadi. Jangan sedikitpun berhasrat agar diri ini dikenang manusia.” Demikian nasihatku sore itu.
* * *
25 September 2005
Kakak Sulungku, Ahad malam akan melamar seorang gadis asal Sumatera. Namanya Arum. Ia masih muda belia. Kelahirannya 19 April 1980. Enam tahun di bawah kakakku.
Ada sesuatu yang menghentak batinku. Apakah masih mungkin, aku merengek minta uang kepada kakak yang sekarang sudah memiliki purnama hati…?
“Dik, kapan wisudamu?” SMS kakakku kemarin itu sungguh menggedor-gedor kesadaranku, meski setelah aku terbangun aku tertidur pulas lagi. Tak mungkin, uang penghasilan kerjanya dibagi untukku dan keluarganya. Amat sangat tak cukup. Mestinya kemandirian itu sudah kujalani. Orang tua dan kakakku sudah semestinya tak menanggung lagi biayaku.
* * *
Awal Ramadhan, 1426 H
Setitik cahaya sedikit mengurangi kemurunganku. Humas Pemda Sleman menyambutku dengan baik. Keinginanku kerja dengan menjadi reporter di Tabloid milik Pemda itu akhirnya diterima.
Aku ingin merangkak perlahan, dengan membuktikan bahwa aku adalah yang terbaik dalam bikin tabloid dan majalah. Ada luapan kegembiraaan yang ingin kuungkapkan. Tapi aku berusaha untuk menahan. Aku tak ingin berita ini diketahui
banyak orang, sebelum aku benar-benar membuktikannya.
Keruwetan di pers kampusku tak perlu kupikir berlarut-larut. Hanya bikin tambah strez! Lha wong orang-orangnya nggak ada yang greget sama sekali untuk diajak membangun lembaga pers ini. Sekretaris umumnya, omong kosong! Pemrednya, tak usah diharapkan! Kepala Litbangnya, sudah lama mati! Bendahara umum dan kepala PSDMnya, ah, wanita cukuplah mereka sekedar mampir ke langgar pers kampus, sudah lumayan. Imam, Yesmi, Upik, Elok, Dewi, I’ing, Pungky, Jazuli, Eriks, Darmin…ah, aku tak tahu kemana rimbanya mereka…
Tinggal Aghus sendirian dan Pendi yang masih hijau muda. Teman tidur! Redaksi yang menjadi benteng akhir, kini seperti tanah yang ugil-ugil diterjang badai. Aku maju sendirian, ah itu tak mungkin rasanya, meski sebenarnya bisa saja. Tapi dalam berorganisasi, pers ini telah gagal kolektif. Jangankan untuk mewujudkan impian yang melangit itu, untuk sekedar berkumpul saja, sudah tidak mungkin rasanya. Mungkin tak akan pernah bisa! Yang ada adalah kepentingan abadi!
* * *
Azan Subuh menggema. Rabu, 5 Oktober 2005
Nilai intrinsik puasa itu seperti halnya kita menarik pandangan ‘mata’ untuk sekedar mengambil jarak dengan ‘sesuatu’. Sesuatu itu bisa berujud rutinitas, realitas jagad, atau pula sesuatu yang paling intim dalam diri manusia; perjalanan keimanan.
‘Jarak’ itu dibutuhkan agar mata batin—juga mata lahir—bisa memandang dengan jernih dan obyektif. Ada ruang untuk mengendapkan hati dan perasaan; merenung, kontemplatif, I’tikaf, evaluasi diri!
Duh, Gusti…di awal Ramadhan ini, perkenankan hamba-Mu yang dho’if ini keluar dari belenggu rutinitas yang membekukan hati ini. Hamba yakin, di luar sana terdampar hamparan hikmah dan spiritualitas yang mengendap-endap, menanti setiap pencari cinta-Mu.
Menjelang subuh ini, aku merasakan kehadiranmu Ramadhan. Hatiku tersirami, seolah kau menyeretku keluar dari lingkaran yang membelengguku ini. Kutatap awan putih berarakan. Di bunderan sembilan itu, aku tertengadah memandang keluasan cakrawala-Nya. Aku seperti setitik debu yang untuk melompat ke pangkuan-Mu pun tak mampu. Aku butuh Engkau, Rabb…!!
* * *
7 Oktober 2005
Maafkan hamba Rabb…
Beberapa hari ini aku tak sempat bersama-Mu. Hamba yang lemah dalam segalanya ini, terseret kencang oleh hingar-bingar suasana. Bahkan untuk menjenguk buku harian ini pun, nyaris tak sempat.
Impian-impian yang dulu terbayang, serasa menghampiriku. Aku tak tahu, masa depan yang membawaku kelak seperti apa? Yang kuketahui, masa depanku adalah setiap impianku yang tiba-tiba saja muncul tanpa kuduga. Semua seolah hadir dan menyerobot begitu saja. Setahun silam, aku pernah berpesan kepada Indani agar setiap kata yang terucap, angan-angan yang terlintas, dan harapan yang muncul senantiasa kita anjurkan ke hal-hal yang disukai Tuhan.
“Itu adalah do’a kita. Dari sanalah, Yang Maha Tak Terjangkau memperhatikan
dan mendengar keluhan kita. Sejauh apakah impian kita, sejauh itulah kualitas diri,” ujarku pada Indani suatu hari di teras kosnya.
* * *
10 Oktober 2005
Terjatuh berulang-ulang. Bayang-bayang yang ada di hadapan mataku, tiba-tiba lenyap seketika dan meruntuhkan heroismeku. Aku pun kecewa.
Tapi…bukankah itu yang akan mengokohkan jiwa ini?! Hantaman demi hantaman, sebenarnya adalah latihan…
Hingga saat ini kabar dari Pemda tak kunjung tiba. Sudah seminggu ini, sejak bagian Humas itu menjanjikan akan menyerahkan proyek tabloid padaku, tapi katanya, Kebag Humas yang berwenang, masih belum kelihatan di kantor. Dan SMS ku kemarin, belum juga terjawab. Kabar baik dari Faisol—akan bikin media pelajar—masih dalam proses. Ah,… kapan harapan itu terwujud?
Sekarang aku sudah menapaki di semester IX. Semester X, nggarap skripsi. Semester XI munaqosah dan wisuda…? Harus bisa.
* * *
Ahad, 16 Oktober 2005
SMS itu kembali menteror Indani. Semalam air matanya tumpah.
“Usahlah hubungan kita, Mas. Kakak-kakakku terus-terusan memaksaku. Jika aku tetap bersikukuh, maka mereka akan menyetop uang kirimanku kuliah,” kata Indani semalam. Aku bingung. Jika aku masih bersama Indani, itu artinya aku membunuhnya. Indani memang tak bisa merdeka. Dia masih dalam cengkeraman kuat keluarga.
* * *
Selasa, 23 Oktober 2005
Kepanikanku sama halnya dengan teman-teman lain yang menghuni sekretariat kampus. Sebentar lagi gedung-gedung tempat mereka berbagi rasa akan dibuldozer dan dipindah ke ruang sempit. Dengan jam waktu bersumbu pendek. Dengan pengawasan satpam.
Persoalanku sebenarnya adalah perkara financial. Dalam kehidupan yang serba susah ini, jangankan untuk mencari kos-kosan, untuk sekedar mencari ganjal perut saja sudah minta ampun susahnya. Sejak harga BBM membumbung tinggi, semua jadi kacau. Meski demikian sebenarnya kreatifitas manusia justru semakin mendapat tantangan. Iya, aku musti mampu bertahan hidup! Tak boleh menyerah! Singkirkan baju-baju gengsi! Saatnya aku melangkah dengan terompah-terompah apa adanya. Urusan baju, bolehlah kutitipkan kepada teman-teman.begitu pula dengan buku-bukuku, akan kutitipkan kepada Indani. Mandi dan lain-lain…? Numpang! Ah, pasti repot! Tapi, tak apalah. Memang demikian kondisinya…
* * *
--EMPAT BELAS--
Ahad, 6 November 2005
Malam takbiran kemarin, waktuku tertelan di sepanjang jalan menuju pondok pesantren. Ketika sampai tujuan, tiba-tiba terdengar suara nyaring menerobos masuk
melalui jendela kamar pondok. “Kang ke sini bawa apa?! Kalo Cuma bawa (ma’af) penis, pulang sajalah!” teriak seorang santri dari kajauhan. Kupingku panas seketika. Kawanku yang kukunjungi di pondok hanya mesam-mesem. “Nyantai saja kang. Di sini ya begini, perilakunya memang aneh-aneh. Kontradiksi. Vulgar dan norak,” ujar kawanku. Aku langsung mafhum. Tradisi pesantren tak jauh amat. Di sana sini ada yang selalu menarik keingintahuanku. “Perilaku-perilaku nyleneh yang berlangsung sekian puluh-puluh tahun di sini menjadi karakter, sekaligus kekuatan pondok Mbato’an ini,” lanjut kawanku.
“Ya, saya kira memang tak terlepas dari makanan yang dikonsumsinya. Di jilid III, kan memang menjabarkan gerak hati. Menelanjangi setiap diri. Seolah tak ada manusia yamng tak punya luput dari noda, “ sahutku.
Kawanku yang satunya masih terlihat bengong. Melongo. Tak nyambung dengan pembicaraan yang mengalir antara aku dengan temanku, Sahid. Sambil toleh sana-sini, penasaran, ia mengajukan pertanyaan, “Emang kajian apa yang di bedah dan diajarkan di pondok sini?”
Ia nampaknya tak tahu, jika kajian yang kami obrolkan adalah Ihya’ Ulumiddin.
“Memang ada yang mengajarkan demikian,“ tanyanya.
“Dalam Ihya’, Al-Ghozali mengatakan, setiap jiwa yang belum tunduk pada persamaan derajat, masih merasa paling suci, pintar, maka ia musti mengubur jiwa-jiwa itu. Ya, dengan menjatuhkan diri dihadapan manusia. Agar ia terbebas dari belenggu manusia,” terang temanku sekenanya.
Inilah jalan kaum yang merindukan kebersamaan dengan-Nya. Anasir-anasir yang menyerang jiwa, harus ditundukkan. Ia harus duduk dalam kerandahan bumi serendah-rendahnya. Agar jiwa tak lagi dibanggakan. Dan pandangan batinnya tembus tembus ke singgasana-Nya. Kalaupun marah, ia paham akan kemarahannya. Hanya sebagai control. sebagai alat!!
Di sana para santri dengan leluasa mempraktekkan ajaran luhur Al-Ghazali. Jika watak pongah bersarang di sudut hati, maka menghamba adalah laku yang musti dijalani. Jika rasa senang dan tak senang yang mengendalikan setiap perilaku, maka bertahan dalam keduanya adalah langkah yang harus ditempuh.
“Apakah engkau beranggapan, sikap mereka yang demikian adalah terkutuk dan menjatuhkan harga dirinya di hadapan Tuhan. Wallahu a’lam. Hanya Allah yang mengetahui setiap inci gerak gerak hati. Kita tak punya wewenang sama sekali untuk mengklaim mereka sebagai orang bermoral rendah.
* * *
Ahad Petang, 6 November 2005
Suatu ketika, ada seorang anak muda meminta meresmikan perubahan namanya kepada tokoh idolanya. Dari nama yang biasa menjadi sedikit bergengsi. Dari ndeso menjadi sedikit modern. Kosmopolit. Dari yang sekedar nama menjadi sedikit bermakna dan bermuatan filsafat. “Cak, aku pingin sampeyan mendo’akan nama baruku, Raden Samber Nyowo, bla…bla…bla…,” kata pemuda itu rada’ jumawa.
“Kenapa namamu kamu ganti?”
“Aku pingin bangga. Orang tuaku juga,” sahut pemuda itu.
“Nah inilah yang bikin kamu tak lekas beranjak dari egomu. Engkau selalu membanggakan nama, jabatan, dan segala atribut. Buang jauh-jauh itu! Nama itu tak penting. Tapi kualitasmu, itulah yang musti kau tingkatkan!” jawab tokoh idolanya.
* * *
Senin siang, 7 November 2005
Sejak beberapa puluh tahun silam, jalan raya menjadi kawan karibnya. Itulah Suyut. Pemuda berlidah pedal. Jari-jari kakinya menyatu, seperti sirip ikan. Jalan yang sedemikian mulus, baginya tetap seperti berlubang dan mendaki naik turun. Itulah gaya jalannya. Tak ada ceritanya ia menungggang sepeda motor, bahkan sepeda onthel sekalipun. Ia anak kampung. Ia menjadi tenar, lantaran citranya sebagai penyusur jalan dari kampung ke kampung. Di atas aspal yang membara, kaki telanjangnya melangkah. Tak berpeci, tapi tak mengeluh dan merasa kepanasan. Anak-anak kecil kerap jahil. Suyut seringkali mejadi bahan ledakan yang menyenangkan. Tentu saja anak-anak kecil begitu girang, melihat suyut marah-marah. Karena di sanalah kelebihan yang dipunyai Suyut. Nggedumel nggak karuan sepanjang jalan.
Suyut. Siang itu aku masih melihatmu berjalan di tepian. Di bawah terik mentari. Berbekal angan-angan pendek, yang aku tak tahu persis alam pikiranku itu. Engkau rupanya masih setia dengan profesimu. Mengisi sandiwara di panggung dunia ini. bersama tokoh-tokoh yang kerap mengaku linuwih. Mengaku punya peran penting. Peran terhormat, terdidik. Pendek kata masih mengaku lebih tinggi derajatnya ketimbang engkau. Seorang lelaki berwajah nyleneh. Berperilaku aneh. Tak wajar. Penuh kesia-siaan. Bahkan keberadaanmu di panggung dunia ini kerap dianggap tak ada. Seperti sampah itu.
Tapi, engkau tentu tak seperti yang mereka sangka itu. Engkau punya kesunyian hati. Siapa yang paham krentek atimu?! Engkau juga abdi. Sama-sama tak punya daya di kerajaan-Nya. Sama seperti mereka jua. Seperti orang-orang yang kerap memincingkan mata melihatmu. Melihat lahirmu. Kulitmu. Fisikmu. Tampangmu. Bukan menatap dalam-dalam kesunyian batinmu.
* * *
Selasa senja, 8 November 20005
Di perbatasan Malang-Kediri, di sanalah seorang anak mbarep dari dua bersaudara tinggal. Ia tak selayaknya anak muda dengan segala gebyarnya. Dunia kemewahan yang membentenginya perlahan ia kendalikan. Mungkin orang akan mengatakan, kekayaan yang menumpuk telah ia tinggalkan. Dan jubah kesederhanaan ia kenakan. Jalan spiritual itu ia susuri, setelah berjumpa dengan seorang guru dua tahun silam. Jarak dua tahun itulah, aku sama sekali tak mendengar kabar darinya. Apalagi berjumpa dan bertatap muka.
Anak muda itu, namanya Bowo. Ia kawanku sekolah di SMU. Tiga tahun ia menempuh jarak yang tak dekat; Kasambon-Pare. Tak banyak yang ia peroleh dari sana. Malah di akhir sekolah ia menemui kesuntukan. Dunia SMU, sama sekali mahluk asing
baginya. Hanya sisa-sisa kepenatan yang selalu ia tumpahkan di bangku sekolah bersamaku.
Kini, sosok Bowo sama sekali lain. Kedalaman ilmunya, kemantapan hatinya, keteguhan pendirian dan sikap hidupnya yang pasrah. Seperti wayang dalam dunia pedalangan itu. Empat buah kitab ma’rifat ia sodorkan di atas meja. Memintaku untuk menderasnya. Satu kitab yang masih kuingat betul; Tanwirul Qulub.
“Sekarang aku menempuh jalan ini. Jalan orang-orang arif. Dunia maya dengan segala ambisinya kuanggap sekedar main-main. Aku kini tengah mencoba menjalani roda hidup menurut kehendak-Nya. Hanya kehendak-Nya yang ingin kurengkuh. Biarlah kehendakku, melebur dalam kehendak Maha Agung,” katanya padaku.
Aku salut. Sungguh sangat salut. Anggapanku selama ini tentang masa depan dirinya seketika runtuh. Luruh bersamaan dengan segala keinsyafanku.
Siapakah penggenggam masa depan? Apakah masa depan itu? Dapatkah aku membedakan masa depan cerah dan yang buram menurut anggapanku? Anggapanku tentang dunia ini? Anggapanku yang teramat ringkih ini?
Berondongan pertanyaan menyergapku. Tak laik aku menyangka tentang masa depan seseorang. Siapa yang tahu tentang kenikmatan masing-masing, selain diri masing-masing. Siapa yang mapu merasakan kenikmatan kawanku dengan dunianya itu. Aku menyangka, masa depannya kelam. Padahal itu hanya anggapan yang kuukur dengan standar modernitas dan dunia kerja. Bisa jadi Bowo jauh lebih nikmat menyelami samudera-Nya. Melangkah dengan rambu-rambu yang ia yakini. Yang ia imani sebagai jalan hidupnya.
Bowo, semoga perahumu karam di samudera luas-Nya
* * *
Rabu, 9 November 2005
Samsara. Semalam, film pergulatan seorang biksu kuputar. Ada pertarungan maha dahsyat; seorang biksu muda yang terombang-ambing oleh keinginannya. Setelah sekian tahun bertapa dalam gua dan dinobatkan menjadi biksu, rupanya si ‘hasrat’ tak sudi diajak hidup dalam asketisme. Hasrat itu rupanya enggan menempuh hidup berselibat. Sendiri tanpa pasangan hidup. Membunuh naluri seksualitasnya.
Setiap malam, biksu muda selalu hanyut dalam mimpi-mimpi cinta. Dalam bicara, ia terlihat lain dari biksu-biksu lainnya. Rangsangan libidonya begitu kuat tatkala selintas melihat wanita. Seorang biksu temannya menaruh kasihan, melihatbiksu muda yang dibelenggu hasrat seks tiap hari, tiap malam. Sampai-sampai air matanya menggenang menyaksikan gejolak yang bergemuruh di dada biksu temannya. Namun, nampaknya biksu muda tak menyadari bahwa dirinya diamati oleh biksu-biksu lain. Ia tak mengerti bahwa dirinya diperhatikan. Dan amat disayangkan, pertapaannya yang bertahun-tahun itu tak memercikkan api kekuatan. Biksu muda masih terbelenggu nafsu duniawi. Merindukan perkampungannya dengan sawah-sawah terhampar dan gadis-gadis yang menawan hati.
Sudah berulang kali biksu muda diberi tamsilan-tamsilan akan hinanya dunia oleh
maha gurunya. Suatu ketika, di dalam gua yang gelap, ia bertemu biksu yang teramat tua. Janggut putihnya memanjang. Alis matanya yang putih juga ikut memanjang. Tubuhnya kurus. Di hadapan maha guru itu, biksu muda memperoleh piwulang-piwulang. Di sanalah maha guru melihat api sedang berkobar di dada biksu muda. Dengan mata batinnya, maha guru, menyaksikan dengan jelas, bahwa dalam jiwa biksu muda itu tengah bergemuruh nafsu birahi.
Biksu muda sangat kaget. Lembaran-lemabaran ajaran maha guru tiba-tiba menjadi saksi pertarungan dengan hasratnya selama ini. Dalam lembaran yang sudah tua dan lapuk itu, terdapat gambar sepasang manusia; lelaki-perempuan tengah bersenggama. Namun tiba-tiba gambar itu berubah menjadi tulang-belulang. Gambar itu menjelma jrangkong. Sebuah mayat yang sudah hancur dagingnya.
Maha guru tertawa terkekeh-kekeh melipat ekspresi wajah biksu muda yang pucat pasi. Biksu muda ketakutan, lantaran merasa dirinya ditelanjangi.
“Mayat-mayat yang tinggal tengkorak, dan tulang-belulang itu adalah gambaran nafsu kita. Jika kita diperbudak hasrat kelamin, maka jatuhlah derajat kita. Dan kita tak ubahnya tengkorak dan tulang-belulang. Bukan lagi manusia. Tapi seonggok tubuh yang diperbudak. Yang hanya menuruti hasrat seksual,” kata maha guru.
Tapi biksu muda seperti sudah digariskan takdirnya. Ajaran maha guru itu tak digubris. Ia mengambil keputusan berani. Keluar dari biara. Dan melepas baju biksu. Jadi manusia biasa. Manusia yang wajar. Butuh istri, anak dan keluarga. Ia tak tahan hidup berselibat dalam kuil. Selamat tinggal asketisme…!!
Di tengah malam, saat sunyi-sepi biksu muda menunggang kuda. Ia meninggalkan biara tanpa pamit dan kembali ke desanya. Wajah perempuan yang menawan hatinya ingin ia jemput. Dan biksu muda itu akhirnya memang pergi. Pergi dengan meninggalkan kecemasan biksu-biksu lainnya. Mereka sangat menyayangkan keputusan biksu muda. Sangat disayangkan.
Singkat cerita, biksu muda itu akhirnya memang meraih impiannya. Ia mendapatkan istri, dikarunia anak lucu, membangun rumah dan mendapatkan ‘kebahagiaan’ yang ia impikan dulu: seksualitas! Namun, tak adakah persoalan yang menggelisahkan biksu muda setelah semua keinginannya tergapai? Inilah sebuah pertarungan hidup manusia.
Di saat istri dan anaknya riang menikmati kebahagiaan, lambat laun kebimbangan mencuat kembali. Si biksu muda akhirnya merasakan kekeringan. Air kebahagiaan yang selama ini ia idam-idamkan rupanya tak mampu mengobati dahaga hidupnya. Dalam jalan hidup yang ia pilih itu, biksu muda rupanya tak menemukan oase. Ia tak mendapatkan penawar rasa haus yang menjangkitinya. Setiap hari hanya merasakan ‘kehausan’, ketidakpuasan dan terus diombang-ambing dalam kebimbangan. Bahkan beberapa ‘pagar’ telah ia tabrak. Biksu muda senantiasa menginginkan wanita lain selain istrinya. Biksu muda selalu dikejar-kejar nafsu birahinya yang terus memuncak. Dan setiap kali keinginan sesaat itu ia tunaikan, rasa dahaga semakin terasa. Biksu muda semakin tak mampu mengendalikan keinginannya yang bagai kuda liar.
Di saat-saat seperti inilah, kesadaran biksu muda lahir. Ia baru sadar ajaran maha gurunya bahwa dirinya tak ubahnya seonggok tubuh mati yang akhirnya menjadi
tengkorak lantaran diperbudak hasrat seksual. Pertarungan hebat berkecamuk di jiwanya. Alhasil biksu muda itu tergerak hatinya dan ingin kembali ke jalan asketisme. Jalan hidup yang dulu pernah ia tempuh dan diajarkan oleh maha gurunya sebagai penetram jiwa.
Suatu malam, selembar surat dari teman biksunya mampir ke rumahnya. Isinya, maha guru memanggilnya untuk kembali ke biara. Meninggalkan riuhnya dunia dan kesenangan fatamorgana. Di masa kritis itulah, biksu muda mengambil keputusan: kembali menjadi biksu. Bertapa di kuil.
Di tengah malam itu, derai tangis mengiringi kepergian biksu muda. Si istri dan seorang anaknya yang masih kecil-lucu, yang sangat menyayanginya, terus berurai air mata. “Suamiku, engkau mencari ketenangan hidup dengan meninggalkan luka-luka. Menelantarkan anak dan istri. Apakah demikian ajaran Budha Gautama?” demikian gugat sang istri kala mengembalikan bekal yang dulu pernah diberikan padanya saat pernikahan.
“Suamiku, ketahuilah! Susah payahmu menghidupi keluarga. Tekunmu menegakkan keadilan di tengah manusia adalah pertapaanmu yang sesungguhnya. Itulah kuil yang sejati. Itulah ajaran Budha yang dipesankan, bukan hanya menyepi dalam kuil-terpencil…”
Biksu muda bersimbah air mata. Hatinya remuk di antara kepingan-kepingan harapan yang tak menemukan arah muaranya. Pengetahuannya yang sempit tentang hakikat hidup, telah mengombang-ambingnya dalam kebimbangan. Kecemasan, kepedihan dan ketidakpuasan. Tapi nasi telah melumer menjadi bubur. Istri satu-satunya dan seorang anaknya telah pergi meninggalkannya. Membiarkannya menempuh jalan hidup.
* * *
Rabu petang, 9 November 2005
Awan hitam berjalan pelan. Sesekali menutupi rembulan yang masih separo. Setelah seharian penuh aku mengurung diri dalam dinding rumah, akhirnya aku keluar mencari hawa segar….
Beragam warna terpancar di taman alun-alun Pare. Baru kali ini aku berjalan-jalan ke jantung taman kota dengan sengaja. Ada sepasanag muda-mudi pacaran. Ada anak ingusan duduk-duduk melepas kebingungan. Tak paham apa yang musti dilalui. Ada serombongan keluarga menggenapi kebahagiaannya. Mengantarkan anaknya yang masih kecil menyetir sendiri mobil-mobilan sewaan. Berputar-putar mengililingi taman. Sang ayah dan ibu ikut bahagia, melihat buah hatinya ceria mengendari mobil-mobilan plastik itu. Anak muda seusia SMP-SMU yang duduk di tepi taman, atau yang sedang mengerumuni penjual kaset-kaset bajakan. Melihat beratus-ratus kepingan barang-barang industri hiburan. CD, MP3, seperti membanjir. Dari yang selera rendahan, hingga yang kelas menengah; Pop.
Penjual sekarang, memang sedikit canggih. Gerobak dorongnya tak lagi berisi barang-barang rombengan. TV dan salon-salon berkekuatan besar itulah yang mengisi gerobak kecilnya. Dan tentu saja musik diputar dengan kerasnya. Bersaing dengan penjual kanan-kirinya.
Di sepanjang trotoar, tak mau kalah juga penjual makanan berebut tempat dengan penjaja barang hiburan. Ada yang sekedar menjual jamu beras kencur dan asem. Atau sepasang suami istri muda, saling bahu-membahu, bersama-sama mengumpulkan rezeki dengan jualan martabak. Aku salut melihat mereka berdua. Berumah tangga yang benar-benar bersama dalam segala hal, termasuk bersusah payah menanti pembeli datang.
Ah, anak-anak kecil itu. Mereka begitu riang bermain di kolam bola-bola kecil. Berselancar ditunggui ibu-bapaknya…
Aku tak bisa gambarkan keruwetan jaringan otak bapakku. Saben hari bicara yang tak kutahu maksudnya. Jika saja, mau keluar, ke taman alun-alun? Membaca ayat kauniyah-Nya, tafakur dan muhasabah diri, tentu tak separah ini kondisinya….
“Bom meledak lagi di Mbatu, Malang,” ah, suara berita TV malam ini menambah bapak semakin ce-cet…cuet….!!
* * *
Kamis 10 November 2005
“Satu demi satu keterjepitan, seperti menyengatku. Menyentak kesadaran. Aku akan senantiasa hidup dalam keprihatinan. Dalam asa yang mengangkasa. Namun jiwaku musti merdeka dari anggapan-anggapan kasat mata itu. Jiwaku melebur dalam semesta alam. Menyatu dalam keabadian-Nya.
* * *
Sabtu, 10 November 2005
….dari makan nasi pecel hingga sekedar nyari SIM. Lalu kububuhkan tanda tanganku bertuliskan kata-kata sarkasme kepada polisi. Dalam sayyidul ayyam itu aku masih bermanja, tidur pulas. Sholat Jum’atku raib. Kawan lamaku tiba tepat pukul 14.00 WIB. Kami berangkat mengasah jalan hidup yang dulu pernah kutempuh. Agar hidup ngerti sangkan paraning dumadi.
* * *
Minggu, siang, 11 November 2005
Sungguh di luar sangka. Jalan yang sebentar lagi terang, tiba-tiba awan hitam menghadang. Ada beberapa ‘kenyataan’ masa depan yang berliku, menanjak, gelap, dan penuh onak. Dan mungkin menabrak tembok tebal. Tembok itu seperti bangunan tua yang memisahkan Jerman Timur dan Jerman Barat. Itulah nasib! Menurut ramalan beberapa kiai, garis takdir antara dua insan itu terlapis dinding pemisah. “Sukar dipertemukan,“ kata kiai yang terus terngiang dalam ingatanku.
Kini, Kakakku benar-benar diuji. Detik ini, ia berbaring. Mengendorkan ketegangan-ketegangan yang meradang. Semalam suntuk aku mendengar ia lek-lek an di rumah calon pendamping hidupnya. Katanya, untuk mempertemukan dua garis yang berbeda nasib itu. Riyadhoh apa pun musti ia tempuh. Akankah kebahagiaan yang lama dinanti itu akan terengut?
Tak bisa dipungkiri, ramalan kerap menggelisahkan hati. Mau tak percaya, silakan! Tapi jika menyangkut kebahagian masa depan, rasa gentar hinggap juga. Apalagi menurut cerita-cerita, ramalan itu jarang meleset. Seperti Gus Jakfar dalam cerita Mustofa Bisri. “Awas! Hidungmu terbalik?!” tak bagitu lama, orang yang dibilangin hidung berbalik itu, mati.
Lalu apa yang akan dilakukan Kakakku dan keluarga semunya, mendengar kabar buruk dari sesepuh kiai? Kabar yang mengatakan bahwa rumah tangga yang akan dibangun Kakkku dan Arum banyak menemui rintangan.
“Inilah pertarungan dua aliran kuat. Mistisisme versus modernitas. Dua ideologi yang menjadi jalan hidup kebanyakan manusia. “
Memilih modernitas, lalu perlahan berkawan dengannya? Atau diam-diam masih takut ancaman mistisisme? Akankah burung merpati dilepas, setelah bersusah payah menangkapnya?
Tuhanku, berilah ketetapan hati mereka berdua, menyusuri lorong-Mu yang sunyi.
[Selasa Wage berjalin dengan kamis Pahing, orang mengatakan tiba rampas. Angka yang menjadi momok adalah 24 itu.]
* * *
Senin, pagi, 12 November 2005
Setelah kubuka pembicaraan malam itu, akhirnya tahulah aku persoalan yang melilit dua insan itu. Kakkku Vs Arum.
“Bukan karena ramalan weton yang tiba rampas itu! Tapi pada diri Arum sendiri,“ ujar Kakkku memulai percakapannya.
“Bagiku, ramalan weton itu tak terlalu mengguncang, apalagi menghalangi langkah kami mengayun langkah menuju pernikahan. Ramalan ‘kan tergantung keyakinan kami masing-masing. Kami sudah bertekad menantang hidup dengan gentle. Kami telah rela, apa pun yang terjadi kami hadapi bersama,” lanjutnya.
“Tapi….” Kakakku terhenti. Menerawang melihat langit-langit rumah. ”….watak Arum memang kaku. Tak ada ruang toleran, meski sejengkal pun. Jika ada yang tak beres, meski setitik debu, maka pasti meraksasa persoalan itu,” lanjut Kakakku dengan nada tertahan berat.
“Sekarang Arum sudah bulat tekadnya. Ia pergi jauh meninggalkanku. Peristiwa semalam telah membuat luka-menganga di hatinya,” Kata Kakakku seperti tercekat di tengenggorokannya.
“Bagaimana awal kisahnya, hingga hatinya membatu tak bersedia pulang. Bahkan memaafkan sekalipun,” aku bertanya.
“Ibunya menghardik hadis-habisan. Ibunya juga berwatak keras!” jawabnya.
“Malam itu di rumah Arum, Jombang, tengah menggelar malam tirakatan, menyiapkan ubo-rampe menjelang penentuan hari pernikahan. Selesai acara, kami
bercanda di ruang tamu. Saat itu, si ibu juga melihat kami. Tentu saja ungkapan-ungkapan menohok, meledek menjadi bumbu utama. Tapi si ibu rupanya tak memahami bahasa karib kami. Ia menduga, anaknya keterlaluan dalam bercakap denganku.” Kakakku memulai kisahnya.
“Masak pernikahan sudah di ambang pintu masih berhubungan dengan bekas pacarnya lewat SMS,” demikian ujar Kakakku menirukan kata-kata ibu Arum yang telah membuatnya murka itu.
“Karena di rumah gerah, aku keluar mencari angin dan ngobrol dengan para tamu. Detik-detik itulah peristiwa tragis meletus. Rupanya keluarku mencari angin dinilai ibu Arum lain. Ia mengira, keluarku dipicu oleh sikap dan kata-kata Arum kelewat batas. Aku dikira nggak betah dengan kata-kata pedas Arum. Aku dikira nggak tahan dan diserang rasa cemburu lantaran Arum kirim-kiriman SMS dengan mantan pacarnya. Padahal kami saat itu benar-benar dalam suasana cair. Tak ada prasangka. Kami sudah saling percaya. Kami hanya guyon. ‘SMS siapa dik?’ tanyaku. ‘Ade Deh…!!’ jawaban Arum tadi rupanya membikin geram ibunya. Dan marahlah si ibu itu, seperti Gunung Galunggung yang memuntahkan lahar panas.”
Peristiwa penghakiman Arum oleh Ibunya, memang tak sepengetahuan Kakakku. Saat itu Kakakku tengah di luar. Satu jam kemudian, saat Kakakku kembali ia menyaksikan Arum bermuka murung dengan mata sembab. Si Ibu diam di sampingnya dengan amarah yang masih tersisa dan tertahan. Keduanya seperti seperti tengah bersandiwara. Kedatangan Kakakku disambut diam seribu bahasa. Kakakku mulai merasakan hawa ketidakberesan.
Pagi-pagi buta, Arum dengan cekatan membereskan semua pakaiannya. Masih diam dengan bermata sembab, ia langsung menerobos keluar. Dan seutas pamitan singkat pada ibunya. “Bu pamit. Kulo dateng Suroboyo!” Masku menyambar tangannya, berharap bisa dihentikan dan diajak bicara. Tapi sia-sia belaka. Arum adalah perempuan dengan jiwa keras, tak mau diatur dan ingin merdeka. Ia berjalan tegap. Cepat. Menembus kabut pagi. Masku tetap berupaya mengahadang semampunya. Tapi apa kata Arum, “Mas, sudah kutakan berulang-ulang. Jangan bikin marahku meledak. Sekarang engkau tak punya hak minta maaf. Biarlah kutempuh jalanku ini. silakan Mas tempuh jalan yang engkau anggap baik. Selamat tinggal!
Kata-kata Arum meluncur dengan tangkas, tegas, menggambarkan kekokohan pendiriannya. Tak kenal kompromi. Lugas. Dan Mas hanya terpaku di tepi jalan. Membiarkan Arum berjalan sendirian. Dan Arumpun hilang tertelan kabut, setelah belok dari tikungan. Berjuta harapan hancur berkeping-keping. Masku pulang dengan memikul derita. Fikiran kacau, kalut, gelisah dan kesedihan mendalam.
Bagaimana dengan Arum? Ibunya? Keluarga Kakakku…?
* * *
Pagi cerah, 13 November 2005
[Kabar baik dari Surabaya]
Setelah seharian mencari Arum, Kakaku nampaknya mampu menundukkan
hati calon istrinya yang membatu itu.
Di Surabaya sana, dramatikal panjang terjadi. Kakakku masih memegang teguh keyakinannya bahwa dirinya akan meminta maaf kepada Arum sepenuh hati. “Hingga mentari tak berpijar sekalipun,” katanya. Hingga Arum bersedia memaafkan. Dan itu adalah komitmennya. “Aku ingin menyelami dasar perasaan wanita,” itulah tekadnya.
Usai subuh. Masih gelap itu, Masku berangkat ke Surabaya. Menggembol segepok niatan tulus, marakit kembali perahu yang terkoyak. Jalinan cinta yang segera mekar itu harus dipertahankan. Hingga titik darah penghabisan. Sementara si ibu yang teramat kasihan melihat anak sulungnya dirundung gelisah karena cinta, hanya bisa berharap. Pagi-pagi itu saat Kakakku berpamitan, si ibu hanya pesen seadanya. Sangat singkat. “Nak, kalau memang sukar, ikhlaskan saja!” kata ibu saat melepas.
Semua tahu bagaimana pedihnya hati karena cinta. Dunia seakan kiamat. Tidur serasa terjaga. Suasana beku. Mati. Kenangan-kenangan masa silam tiba-tiba muncul satu persatu. Lalu air mata tanpa tersadari menggenang di pelupuk. Hanya sunyi. Mungkin detak jarum jam yang paham kesunyian hati…
Semua sanak gusar. Kasihan bercampur iba. Tapi tak tahu apa yang mesti diperbuat. Si bapak yang sudah ‘bebal’ akal dan hatinya pun turut merasakan kesedihan anaknya. Ibu hanya bercakap diri dengan hatinya. Sambil kedua tangannya menganyam janur untuk ketupat. Si bapak? Ah, ia pasti terbaring di ranjang sambil memutar ludruk, klanggenan di kamar yang temaram.
Aku tulis sebait SMS, lalu kukirimkan pada mbakku di Jombang. “Mas, Mbak!! Hari-hari ini Kakak melewati masa-masa sunyi. Mbak Arum pergi meninggalkan Kakak dengan sejuta luka menganga. Kini Kakak tenggelam dalam kesedihan dan kepedihan mendalam. Hiburlah Mbak..!
Siang berganti senja. Pandangan mataku mulai kabur. Lampu-lampu mulai dinyalakan. Tanpa tersadari kami sekeluarga sudah dua jam, duduk di ruang tamu. Menanti kabar dari Surabaya. Dengan perasaan was-was tentunya. Dilanjutkan atau hanya sampai di sini hubungan kakakku dengan gadis asal Lampung, 19 April 1980 itu.
Ibu menuju ruang tengah. Melihat acara TV berharap bisa mengurangi rasa cemas. Aku, di teras mencari pengusir gerah. Angin semilir cukur efektif mencegah keluarnya keringat. Tiba-tiba suara HPku berbunyi. Satu pesan diterima. Dari My Brother; “Le, aku udah nemui Arum. Sekarang kami udah baikan. Kami tetap jalan terus.” (dikirim : 8 November 2005 ; 19.30.xx..)
Bulan besar ini, mereka akan married. Amiin..
* * *


No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates