Monday, April 7, 2008

catatan dari sudut kampus X


--SEPULUH—
Kediri, Kamis suram, 13 Januari 2005
Anak Kecil. Seperti halnya Aloeng, anak kakakku yang masih berusia dua tahun itu, kondisi Bapak rupanya masih seperti yang dahulu; menjadi anak kecil. Jangankan dibilangain atau dituturi, dinasihati baik-baik saja ia akan munclak-munclak.
“Mauku seperti ini ya harus…!” Tak peduli orang lain setuju atau tidak, baik atau tidak, bermanfaat atau tidak, membahayakan atau tidak. Yang penting ini mauku. Ada yang mencoba menghalangi, sikat langsung. Kalau perlu lempar apa yang ada di dekatnya. Belum puas teriak histeris…
Itulah anak kecil. Hanya mau urusannya sendiri. Tak mau kalah. Dan jika ada yang mengusik kesenangannya, ambil sesuatu, lempar!
Tapi bagaimana jika itu menimpa seorang yang bukan anak kecil, alias orang itu sudah bau tanah. Tapi kelakuannya tak ubahnya anak kecil? Jelas ini sangat merepotkan…!!
* * *
Ahad, 16 Januari 2005
“Biasa, urusan financial,” demikian penggalan pesan pendekku pada seorang teman di Solo. Aku menyampaikan maaf karena tidak dapat ke Solo dalam waktu dekat ini. Dan lagi-lagi urusan keuangan tengah membelit keluargaku. Semalam rasa resah dan gelisah datang menterorku lantaran mentalku tak siap menerima kenyataan ini.
Bapak, hingga sekarang belum juga pulih kesehatannya. Akibatnya kapan-kapan saja ratusan ribu rupiah melayang buat membeli obat. Ibu, belum juga buka warung, hingga kantong keluarga kian menipis. “Lha wong tempatnya masih diperbaiki kok. Dan sekarang terhenti karena uang tengah mengalir buat urusan ini, itu, ini, itu…,” kata ibu. Sekarang Kakakku juga tersengal-sengal keuangannya.
“Tidak seperti dulu, keuangan lancar dan mengalir deras,” ibu menuturkan.
“Sekarang Masmu tidak di luar kota lagi, akibatnya gajinya mengkerut. Uang buat beli motor Shogun R 125 itu sebagian ngutang seorang temennya. Dan tahu nggak, angsuran tiap bulan sebesar lima ratus ribu rupiah. Itu selama tiga tahun. Ngelu nggak…!!”
Jika mengingat itu semua, sedih aku rasanya. Cita-cita yang kuikrarkan dulu seolah berat untuk dilanjutkan, meski terkadang jiwa nekadku gumregah, bangkit, dan ingin meraih cita dalam kondisi keprihatinan itu. Tanpa tempat kos, tanpa uang kiriman! Aku akan rajin mendekat kepada-Nya. Wiridku akan kugemakan kembali. Begitu pula puasa sunah dan sholat malamku akan kudirikan kembali. Tak ada kata ‘malas’. Dan secepatnya akan kurampungkan kuliah dan lekas-lekas mencari kerja. Tahu sendiri kan, nyari kerja tak menggembol ijazah SI, paling-paling hanya jadi babu para bos-bos. Meletihkan, tak memberdayakan, dan tak sumbut.
Urusan financial yang kian kering-kerontang memang selayaknya kuanggap hal ‘biasa’. Tak usah sedih, sebagaimana pesanku lewat SMS tadi. “Gagal dan berhasil adalah hal yang lumrah dalam setiap perjuangan,” pesan Eyang dalam pementasan “Senyuman di Belakang Kursi Tua.”
Ya, kondisi seperti ini biasa saja. Tak hanya aku dan keluargaku yang mengalami nasib naas ini. Masih banyak yang lain, yang terkadang hidup mereka—untuk makan pun terpaksa—harus menjajakan diri. Masih lumayan, karena saudara-saudara keluargaku mblasah di mana-mana. Harta juga masih ada yang tersisa. Lihat, rakyat Aceh, saudara, harta dan rumahnya musnah dihempas gelombang Tsunami. Hanya seutas pakaian dan puing-puing berserakan yang masih dapat diratapi. Bukankah Kanjeng Nabi Muhammad S.A.W memberi wejangan, tengoklah ke bawah dalam urusan dunia. Dan layangkan ke langit sana dalam perkara ukhrowi. Mungkin ini cambuk kecil agar aku sadar. Adalah Tuhan di atas segalanya…kata Ebiet G. Ade.
* * *
Rabu, 19 Januri 2005
Surat buat ibunda tercinta.
Bu, dengarkan nyanyian anakmu di perantauan ini. Saat jarak membelah kasih sayangmu kepadaku, kini kurasakan kehangatan bersamamu. Tak terbendung air mata hatiku bercucuran mendengar kisah keharuan, kesyahduan, dan ketabahanmu, memikul beban hidup yang semakin berat. Demi cinta tulusmu pada anak-anakmu, kau korbankan semua yang kau miliki. Jerit kepedihanmu kausimpan dalam-dalam di lubuk hatimu yang paling sunyi.
Ibu, betapa agung jiwamu. Anakmu malam ini terisak dalam tangis ratap. Ratapan yang takkan pernah kubiarkan berlalu begitu saja. Biar susah sekalipun.
Aku rindu Ibu, rindu belaian kasih sayangmu. Aku ingin membahagiakanmu dalam sisa umurku yang tak pernah kutahu kapan berakhir.
Ampuni anakmu ini Ibu, yang tak mampu membuatmu tersenyum. Aku yakin, langit ‘Arsy dan singgasana para malaikat terguncang menyaksikan kesabaran dan ketabahanmu.
Badai ini pasti berlalu. Tunggulah saat-saat karunia teragung Tuhan mengangkat derajat kewanitaanmu tinggi-tinggi, bersanding Dewi Masitoh dalam taman syurgawi…
* * *
Jumat, 21 Januari 2004
HPku malam ini berdering. Segera kuangkat. Ternyata dari Mas Warmin, seorang redaktur pagelaran Koran Solo. Ia mengucapkan terima kasih atas partisipasiku di desk pagelaran, selama beberapa bulan kemarin.
“Kamu masih ingin bergabung dengan Koran Solo nggak? Kau kan punya bakat menulis,” tuturnya.
“Aku rampungkan kuliah dulu Mas,” jawabku.
Ah…lagi-lagi harapan yang sempat kandas itu menggodaku lagi. Padahal aku sudah bertekad untuk meraih gelar sarjana dulu. Dulu memang aku pernah bertekad untuk bekerja lantas menikah. Namun, cita-cita itu harus tercekal oleh nasib. “Memang belum rejekinya, Mas!” nasihat Indani suatu hari. Aku pun meredam gejolak itu. Dan kuputuskan untuk merampungkan kuliah dulu. Titik!
Cuma hingga saat ini, hatiku kadang-kadang dalam kegamangan. Kerja atau kuliah? Tekadku satu sebenarnya, jika Koran Solo tak memanggilku, berarti aku harus segera merampungkan kuliah. Namun, jika suatu ketika aku diminta untuk bergabung di Koran Solo, aku akan ladeni. Kuliah sambil kerja dan nikah! Beratkan?!
Usai jadi wartawan di Solo, kini aku kembali ke Jogja. Aku jadi mahasiswa lagi. Seiring dengan kondisi keuangan keluargaku yang tersendat-sendat, aku mengalami berbagai konflik. Aku nggak punya kos, tapi terlanjur membawa motor. Dan tahu sendiri kan, ruang pers kampus, jadi markasku.
Oh ya, hari ini sobatku Iril memberi aku hadiah novel terjemahan garapannya. Judulnya “Veronika”, karya Paulo Coelho. Terima kasih, Sobat!
* * *
Dini hari, 00.15 wib, Sabtu 29 Januari 2005
Hanya detak jarum jam yang kutangkap. Lainnya seolah berlalu tanpa bekas. Kembali kesunyian ini menjadi kawanku. Tak ada seorang kawan yang bersamaku. Mereka tengah mudik, menikmati masa liburannya yang aku tak tahu seberapa nikmat rasanya…
Hatiku akhir-akhir ini terus dilanda gelisah. Masa pembayaran registrasi telah dibuka, tapi aku tak mampu membayarnya. Tadi aku coba-coba nyari pinjaman, tapi tak ada jawaban sama sekali. Jayeng, temanku itu memang agak unik meski terkadang menyebalkan. Tak tahu perasaan orang lain.
Inilah masa-masa kritisku menjadi mahasiswa. Nasibku, bagai telur di ujung tanduk. Himpitan itu terus mendera, hingga aku sesak nafas. Jalan keluarpun belum dibentangkan-Nya.
Sekarang, jangankan mimpi beli komputer, atau sekedar nyari kos-kosan, buat bayar registrasi kuliah saja aku nggak mampu. Semua yang ada adalah kepentingan diri abadi. Memang, saatnya aku musti melepas rasa ketergantunganku pada keluarga. Mandiri!
Tapi bagaimana dengan kuliahku yang akan rampung ini? Bagaimana nasib Indani?
* * *
Ahad Pagi, 29 Januari 2005
Saatnya aku menentukan arah tujuan hidup!
Menjelang malam, saat tubuh yang manja ini hendak terbaring; hendaklah menjenguk-Nya dulu.
*Dalam mimpiku semalam, guru spiritualku tertawa menyeringai, menyaksikan kadar keimananku yang terus menurun.
*Memahami gejolak hati dan apa saja yang diresahkan teman-teman mempunyai makna tersendiri.
*Pikiran rendah diri dan berkecil hati tak selayaknya mengurungku dalam kegamangan. Hentakkan saja semua yang merintangimu.
*Meski kondisi keuangan tengah pailit, bukan menjadi alasan untuk pesimis…
* * *
Rabu, 2 Februari 2005
Perjumpaanku dalam gelisah. Tak laiknya sepasang merpati yang lama menyimpan rindu sedu dan sedan, senja itu Indani terpaksa menyaksikanku dalam kegamangan. Kegelisahan itu tak kuasa kusembunyikan. Guratan-guratan resah terlihat dengan jelas di kemuraman wajahku yang penuh peluh. Di penghujung senja yang memerah, memang kerap kali menampilkan adegan-adegan syahdu.
“Kanapa tidak mencari persinggahan, Mas?” tanya Indani dengan nada kecewa.
“Maafkan aku Indani. Aku belum mampu memenuhi pintamu. Aku lagi dalam himpitan ekonomi yang menyesakkan dada,” jawabku tersengal-sengal. Pandangan matanya tertunduk lesu. Gadis lembut itu menahan resah…
* * *
5 Februari 2005
Seperti tradisi, ia akan terulang. Begitu pula Indani, ketika usai mudik, kekuatan cinta dalam hatinya kembali surut. Tak sedikit pun menampakkan harapan.
Hari ini, ia dicekam perasaan was-was dan bimbang. Namun, memang begitulah Indani, ia pasang surut.
* * *
Ahad, 6 Februari 2005
Rupanya isak tangisku tak beralasan. Setidaknya, Indani berhasil membuatku panik dan cemas. Ia menteror mentalku dengan berbagai cara berbau perpisahan. Seperti SMS Sabtu semalam. Pesan pendek itu adalah tindak lanjut setelah ia tak bersedia keluar ikut acara di gelanggang UGM. Aku diliputi cemas dan gelisah. Di saat-saat itulah Indani datang kepadaku dengan seutas senyuman ketulusan. Rupanya aku masuk perangkap Indani. Ah, kau memang bikin aku semakin penasaran…!
* * *
Senin, 7 Januari 2005
Hari ini, Indani rupanya tak main-main. Keputusannya setelah ia pulang dari rumahnya benar-benar serius! Ia ingin mengakhiri hubungan ini. Orang tua dan keluarganya telah menyiapkan calon suaminya.
* * *
Selasa kelabu, 8 Ferbruari 2005
Sekarang kau tak perlu repot-repot lagi Indani. Tak sepertinya kau mengalami tekanan mental seperti ini. Dan aku tahu, akulah sumber perkaranya. Sebenarnya ingin sekali aku menyumbangkan sedikit masukan, yang barangkali dapat menjadi salah satu jalan keluar. Namun, rupanya tak ada celah sedikitpun bagiku…
Akhirnya, semua keputusan sepenuhnya milikmu. Ingin membahagiakan orang tua, itu sangat mulia. Dan, jika tidak ada tekad sama sekali untuk bersuara, maka menuruti nasehat orang tua adalah pilihan yang benar.
Melangkahlah dengan mantap. Jika bersamaku hanya menimbulkan keraguan, kecemasan dan kecil hati, maka tinggalkanlah aral itu. Jangan kau cemaskan aku. Aku akan berusaha melepas segala rasa kepemilikanku. Bukankah cinta tak harus memiliki.
“Jika suatu saat nanti, aku memandang rembulan itu masih memancarkan kelembutan sinarnya, aku akan menjemputnya.” Hanya itu yang mampu kujanjikan…!
* * *
Kamis, 10 Februari 2005
Rupanya masih terasa berat untuk mengakhiri kisah asmaraku dengan Indani. Pagi itu, saat perayaan hari Imlek, aku telah membulatkan tekad untuk menerima segala keputusan Indani. Aku siap menerima tangan perpisahan yang diulurkan Indani. Namun, seperti yang telah kuduga, Indani bukanlah wanita yang mudah mengambil keputusan. Pagi itu, Indani malah menangis sesenggukan di bawah pohon Trembesi itu. Saat kutanya, “Apakah kau sudah bertekad?” ia tak menjawab dan diam tertunduk lama. Lantas, air matanya menggenang dan isak tangispun terurai…
Jiwanya yang lemah, membuatnya seperti dalam sangkar besi. Hendak menolak kemauan orang tua—dijodohkan dengan pria lain—ia tak punya nyali. Akhirnya batinnya terus-terusan disiksa. Satu sisi, sudah bertekad untuk bersamaku, sisi lain, orang tua dan keluarganya menghalau langkahnya. Namun, ia terbungkam oleh dirinya sendiri.
Tamasyaku bersamanya ke Kalikuning siang itu, telah membuat hatinya terhibur dan sejenak bisa melupakan terror dari negeri angin. Aku mengerti hamparan alam yang indah dan segar adalah kegemarannya. Makanya ia enggan beranjak pulang. Ingin terus menikmati kebersamaan di sana.
* * *
Senin, 14 Februari 2005
Percikan-percikan itu mesti ada, agar kisah menjadi enak. Tanpa konflik yang menegangkan, kisah cintaku tentu tak sedap dan mungkin terasa hambar. Semalam, aku dan Indani merayakan Valentine dengan amat sederhanan di teras kosnya. Tidak ada yang istimewa. Tak ada acara makan-makan. Bahkan segelas air putih pun nyaris tak tersaji. Tapi perayaan hari kasih sayangku menjadi sangat menarik lantaran wajah Indani tak menampakkan kegusaran sebagaimana biasanya. Hatinya yang lemah, malam itu benar-benar merekah. Ia begitu kegirangan menikmati kebersamaan. Tak henti-hentinya senyum manisnya tersungging lepas lepas. Ah… amat sempurna sekali kekasihku di malam gerimis itu.
Seperti biasanya, ia menyarankanku untuk senantiasa rapi, terutama dandananku dan rambutku. “Mas, mbok ya dipotong rambutnya. Ini sudah panjang,” ujarnya sambil
memegang rambutku yang terlihat panjang berantakan. Dan dapat dipastikan, jika tiba waktunya pulang, gelora hati berat terasa berpisah. Ingin selalu bersamanya. “Kita berdo’a ya? Semoga impian kita berumah tanga dikabulkan-Nya,” kata-kata terakhirku menjelang pamit itu.
* * *
Selasa pagi, 15 Februari 2005
HPku berdering dini hari, tepat pukul 03.00 WIB. Kulihat, ternyata kekasihku, Indani miscall. Tak begitu lama terdengar, “thit.. thit..,” satu pesan masuk. “Mas, bangun… sholat tahajjud dan munjatlah kepada-Nya. Semoga impian kita tergapai,” pesan Indani malam itu. Malam itu termasuk malam keberuntungan, karena ada sms gratisan. Indani yang memberi tahuku. Kesempatan emas itu tak kusia-siakan, karena pulsaku habis. Temen-temen semua kukirimi SMS. Dan yang teristimewa tentu saja Indani, kekasihku.
Namun, rupanya aku terpukau oleh kesenangan sesaat itu. Ajian mumpung itu justru semakin membuat batinku semakin kerdil dan tak terkendali. Dalam kondisi hati yang tak stabil itu, aku SMS Indani agar pagi itu berkenan kuajak lari-lari. Namun apa yang kudapat? Indani ternyata tak bersedia. Ia menolak dengan alasan mau nyuci bajunya yang beberapa hari telah direndam.
Akupun kecewa. Dadaku terasa sesak. Aku ingin berteriak melampiaskan kekesalan, “Indani! engkau sangat egois tak mau berkorban untukku. Padahal, selama ini aku selalu menuruti kata-katamu, meski aku sibuk!”
Untung, kesibukanku mengurus Fendi yang tergolek sakit, cukup menyita waktuku. Akupun bisa melupakan kekesalanku.
Terik mentari menyengat kulit. Siang hari itu, aku menyesal karena telah memperlihatkan sikap marahku kepada Indani dengan mematikan HPku. Aku sadar, aku terlau banyak berharap kepadanya. Akibatnya, aku terlalu banyak kecewa. Aku memang yang harus mengurangi keinginan, agar bisa mengimbangi sikap Indani kepadaku.
* * *
Rabu pagi, 16 Februari 2005
Perang Dingin. Sehari semalam, terlewati tanpa tegur sapa, tak seperti biasanya. Semalam Indani diam seribu bahasa. Hingga di penghujung malam pun ia enggan membangunkanku. Perasaannya tengah kesal, seperti hendak memutuskan tali kasih. Masa-masa seperti ini memang moment yang ia nanti-nanti, agar ia punya kekuatan untuk mendepakku tanpa iba.
Kekasihku dari negeri angin ini, memang mencintaiku, namun masih menyisahkan ruang keraguan. Inilah yang kunamai tak sepenuhnya. Mencintai hanya berkadar dan menjaga jarak. Jika sewaktu-waktu rasa takut meghantui, maka “putus” adalah vonis yang dihujamkan kepadaku.
Ia juga tak punya keberanian dalam segala hal. Tak berani melangkah, mengambil resiko, dan cenderung mengurung diri dalam kesendirian. Ia beranggapan hidup ini untuk melewati sebuah rutinitas yang pakem. Tak boleh ada hal-hal baru, apalagi yang aneh-aneh.
“Itu bahaya, Mas! Hii…takut! Ah, nggak maulah!” dan seabrek ungkapan apologi lainnya.
Hidup memang misteri, bagiku. Melangkah melalui rel-rel yang lurus pun
terkadang malah jatuh tersungkur. “Berguru pada kesetiaan” adalah sabda yang ingin kugenggam erat sampai akhir hayatku.
* * *
12.00 WIB
Sekarang ini, pekerjaan adalah kunci utama. Aku tak begitu yakin sebenarnya, jika lulus kuliah nanti akan mudah dapat pekerjaan. Sampai kapankah aku akan menanggung derita terperikan ini? Indani, maafkan aku yang belum mampu memberimu kabar baik dari langit.
* * *
21.00 WIB
Malam Jum’at ini aku tak berziarah sebagaimana mestinya. Hatiku tengah dilanda kegalauan luar biasa. Pekerjaan!
* * *
Jum’at, 18 Februari 2005
Kekasihku, Indani melangkah dalam tekanan mental yang sangat luar biasa. Ia diserang berbagai ketakutan; takut keputusan orang tua demi sebuah kepatuhan, takut jalinan kasih-sayang yang telah terajut selama ini terkoyak. Sementara, kesibukan sehari-hari di bangku kuliah bukannya menjadi kegiatan yang patut dinikmati, melainkan malah menambah beban pikiran.
Tadi pagi, ia mengeluh padaku; “Mas, jangan katakan kalau Adik marah, karena Adik nggak marah dan nggak akan marah sama Mas. Justru Adik itu sangat sayang. Adik nggak SMS karena Adik bingung mau ngomong apa. Adik nggak enak terus-terusan bikin Mas susah. Mungkin Allah memang mentakdirkan Adik untuk diuji demikian. Biarlah semua Adik hadapi sendiri. Adik nggak mau kalau orang lain harus ikut menderita. Mas, maafin Adik, ya?”
* * *
13.00 WIB
Seolah memang menjadi sunnatullah jika hari-hariku berlalu dengan kemurungan. Jika malam mulai beranjak senyap, pikiranku selalu mengembara ke mana-mana. Semalam pikiranku diselimuti kecemasan luar biasa. Pekerjaan! Ya, pekerjaan!
(Dalam hening sholat Jum’atku, isnpirasiku muncul. Setiap kita itu kaya pengalaman, tinggal kita mampu merekamnya tidak?)
* * *
Sabtu, 19 Februari 2005
HPku berdering menjelang imsak. Aku tahu ini pasti dari Indani. Segera kuraih HP itu, lalu kudekatkan di telingaku. “Sayang…” Aku menyapanya singkat dan mesra. Aku paham betul, meski sepersekian detik—sebab itu hanya miscall kangen—aku tak ingin membuat dirinya kecewa. Dengan menyapanya mesra, perasaanya tentu akan tentram. Jiwa wanita memang lembut, setiap ungkapan mesti lembut pula.
Tak begitu lama, terdengar bunyi, “thit..thit..,” satu pesan masuk dari Indani. Sagera kubuka. “Sahur… sahur… besok ’kan tanggal sepuluh Muharram. Puasa, yuk!
(pahlawan kesiangan) he.. he…” demikian bunyi SMSnya.
Akhir-akhir ini Indani memang mengalami lompatan spiritual. Ia tampak rajin puasa, rajin sholat malam, dan tadarus malam pun ia tekuni kembali. Aku tahu, situasi yang mendera jiwanya benar-benar telah membuat imannya semakin melesat tinggi. Indani ingin sepenuh hati mendekat Tuhan.
* * *
Senin, 21 Februari 2005
Aku tak menduga, ketakutan-ketakutan yang mencekamnya selama ini telah menimbulkan penyakit baru. Penyakit itu namanya “konyol”. Kerap kali ia bertindak konyol dalam keseharian. Beberapa kali ia memintaku untuk mengakhiri kisah cintaku dengannya, dan memintaku untuk segera mencari gadis lain.
Langkahnya ini, bukan lantaran ia muak denganku, namun karena ketidaktegaannya. Ia mungkin tidak tega jika suatu saat menyaksikanku tercampakan dalam keterasingan karena keluarganya telah memberikan kepastian calon pendamping hidupnya.
* * *
Rabu malam, 23 Februari 2005
Malam itu, temanku, Ayin terperosok. Rasa kebeletnya tak kuasa ia tahan. Citra sang penolong, lelaki bertanggung jawab, dan pendiam, mulai retak, dan pudar.
Pertemuan pertama kalinya dengan gadis berparas teduh dan kalem itu, telah memikat hatinya. Matanya enggan terpejam saat malam beranjak senyap. Bayang-bayang gadis itu bergelayutan dalam setiap mimpi-mimpinya. Inilah yang mendesak hatinya untuk buru-buru memiliki gadis asal Palembang itu. Resti namanya, seelok dan secantik namanya. Imut bagai rembulan yang kadang-kadang tersenyum malu-malu ketika sang pujangga mengintipnya.
Dengan nada serius, berkali-kali ia memintaku untuk menolongnya; mendapatkan gadis yang telah mengusik ketentraman hatinya itu. Aku sebenarnya takut menjadi perantara. Jika aku melangkah, berarti telah menghamparkan harapan buatnya. Bisa saja harapan itu menjadi pemicu semangat. Tapi bagaimana jika cita-citanya menguap tanpa bekas. Kau pasti terluka dan perih Ayin...
Aku sarankan padamu, bangunlah citramu sebaik mungkin. Berikan yang terbaik amanat yang telah ditangguhkan padamu. Berkorbanlah jika perlu. Jika suatu saat nasib memang merentangkan kau dengannya, engkau masih punya intan berharga. Intan itu bernama wibawa. Ya, engkau akan tetap prabawa dan anggun di mata gadis itu.
Kegabahanmu malam itu bisa membuatnya memincangkan sebelah mata. Kau akan dikira menggunakan kesempatan dalam lorong yang sempit dan singkat. “Oo…jadi, selama ini ada udang di balik batu to?!” Itulah akhir jawaban yang kau peroleh suatu saat nanti. Dan kau akan jatuh, setelah itu tertimpa tangga. Pengorbananmu sia-sia.
Meski gelora hatimu membara, sedapat mungkin tetap kau redam. Jangan sampai beriak. Biarlah aliran sungaimu tenang, namun menghanyutkan.


No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates