Monday, April 7, 2008

catatan dari sudut kampus V


--LIMA--
Kamis, 4 Februari 2004
Tak ada catatan yang kutuangkan dalam buku harianku malam ini. Hanya imajinasiku yang tumpah lewat sepotong pena hitam.
Malam itu, hening berselimut sunyi. Bintang–bintang terus berkedip bersanding rembulan, seolah mengajari manusia bahwa hanya kesunyianlah yang mengajari manusia untuk tak mendua. Di persimpangan jalan, tampak dua sosok manusia berwajah teduh, menghentikan langkahnya. Mereka berdua kelihatan seperti seorang yang usai merampungkan pertapaan sunyinya dan mencoba menghayati perjalanannya selama ini.
“Indani?”
“Iya Abang…!!”
“Tataplah rembulan malam ini Indani. Ia begitu sempurna,” kata Areta seraya menengadahkan pandangannya ke langit.
”Iya Abang, rembulan malam ini begitu sempurna sinarnya,” sahut Indani sambil mengikuti Abangnya, memandang ke langit.
”Tapi Abang,” sergahnya.
“Seandainya bintang-bintang yang berkedip itu, tidak mengitari rembulan, niscaya pandangan kita akan lebih leluasa menikmati lembutnya sinar rembulan itu, Abang!” Areta masih menengadahkan pandangan ke langit. Ia diam sejenak. Lalu menarik nafas panjang.
“Indani, hadirnya bintang-bintang yang berkedip itu, justru membuatku terpana menatap rembulan, karena kelembutan cahayanya semakin kurasa di langit batinku.” Indani terdiam sejenak mendengar jawaban Areta. Dia mencoba menghayati kata-kata yang baru saja meluncur dari mulut Areta.
“Ah, iya! Benar sekali Abang!” wajah Indani seketika menampakkan keceriaan menandakan sepakat. Indani lantas melanjutkan;
“Bukankah cahaya rembulan itu akan selalu setia menemani keheningan malam, seperti mentari yang selalu setia menemani siang. Betulkan Abang?!” Areta tersenyum mengiyakan. Raut wajah Indani semakin kelihatan sumringah melihat abangnya tersenyum. Sementara rembulan yang menyaksikan percakapan mereka berdua pun, ikut tersenyum.
Mereka berdua kemudian melanjutkan langkahnya, menyusuri jalan sambil mendendangkan syair-syair.
“Harapan adalah secercah cahaya, yang menerangi dan memeriahkan jalan kita.”
“Harapan adalah secercah cahaya, yang menerangi dan memeriahkan jalan kita.”
Berulang kali syair itu mereka lantunkan bergantian. Syair itulah yang selalu memercikkan api hidup mereka berdua. Syair itu pulalah yang menyirami jiwa mereka agar tak lekas layu dan pudar. Mereka berdua seperti mendapatkan tambahan kekuatan kala mendendangkan syair itu. Mereka semakin yaqin bahwa perjalanan yang berserak onak dan duri selama ini, akan menjelma menjadi ketentraman hati saat bersatu atap kelak. Begitu pula kala hati mereka menciut menatap masa depan, maka syair-syair itulah yang terus membimbingnya dari dalam.
Di penghujung jalan, saat mereka asyik menikmati malam, dan mencoba melepaskan kepenatan-kepenatan hidup, tiba-tiba kaki Indani tersandung batu kecil. Indani menghentikan langkahnya, dan duduk menepi di jalan. Namun Indani tak mengeluh sepatah kata. Ia diam lama membisu, seperti tengah membaca isyarat. Ada yang tengah bergejolak di dada Indani. Indani lantas memandang wajah Areta dengan mata berkaca-kaca. Menampakkan kecemasan. Kebimbangan. Dan kegamangan.
“Abang!” tanya Indani setelah lama menatap kekasihnya. Areta yang seperti telah menangkap kecemasan yang bergemuruh di dada Indani, segera menyergah;
“Indani, apakah karena kaki kita tersandung, langkah kita terhenti? Apakah karena kerikil itu, engkau memberiku tangan perpisahan? Indani, kita sudah bertekad untuk berguru pada kesetiaan,” kata Areta penuh kekhawatiran dan pengharapan.
“Bukan! bukan itu yang aku khawatirkan Abang! Aku, sudah sangat percaya dengan ketulusanmu,” sanggah Indani. Areta pun semakin cemas. Tak memahami alam
pikiran Indani.
“Yang aku khawatirkan selama ini adalah…?” tiba-tiba Indani terdiam dan kembali menatap wajah Areta dengan mata menggenang, seperti akan ada prahara tiba. Sementara wajah Areta semakin gusar menanti jawaban dari kekasihnya.
“Abang, bagaimana jika suatu saat nanti, mendung yang hitam pekat, tiba-tiba menghalangi dan menutup rembulan, sehingga kelembutan cahayannya tak lagi bisa kita nikmati?” kata Indani pelan seperti sedang berbisik. Penuh kehati-hatian dan kekhawatiran. Mendengar ungkapan kekasihnya itu, Areta merasakan ada yang disembunyikan Indani selama ini; keragu-keraguan. Itulah penyakit yang mendekam. Dengan segenap jiwa Areta pun meyakinkan diri.
“Indani, yakinlah! Mendung itu pasti berlalu. Dan rembulan itu akan kembali memancarkan sinarnya jauh lebih terang, seterang cinta kita!”
“Indani, selama malam yang sunyi masih mengajari kita untuk tak mendua hati, suatu saat nanti aku akan menjemput rembulan itu demi kesetiaan abadi. Bukankah orang-orang ‘arif sering mengajarkan, bahwa cinta itu harus mampu membebaskan manusia dari segala penjara kehidupan. Cinta memang bisa melemahkan hati, membawa putus asa, dan menimbulkan tangis sedu-sedan. Tetapi cinta juga mampu menghidupkan pengharapan dan menguatkan hati dalam perjuangan menempuh onak dan duri kehidupan. Bukankah seharusnya dengan cinta, kita terbang menggapai keluhuran budi?”
Kata-kata Areta mengalir begitu lancar dan penuh keyakinan. Namun usai mengucapkan, Areta setengah tak percaya dengan kata-kata yang baru saja ia sabdakan. Ia tampak setengah tak sadar. Ia merasa ada kekuatan dari luar yang menuntunnya melafalkan kata-kata yang seperti mantra itu.
Sementara Indani merasa seolah ada pancaran Nuur Ilahi yang menerobos ke relung-relung batinnya. Kata-kata yang meluncur dari mulut Areta baginya seperti mata air yang memancar dan menyimpan mukjizat. Jiwa Indani seketika lapang. Jiwanya yang selama ini diliputi kecemasan dan kebimbangan tiba-tiba tercerahkan. Indani semakin yaqin akan kekuatan cinta.
“A..Abang!” suaranya terbata-bata saat memandang seraut wajah Areta yang masih tampak tak sadarkan diri.
“Terima kasih Abang!” Wajah Indani yang semula bermuram durja, kini kembali bercahaya. Tak terasa suasana haru-biru meyelimuti mereka berdua.
“Indani, sekarang saatnya engkau mengistirahatkan semua kepenatan-kepenatan jiwamu,” pesan Areta malam itu. Malam kembali sunyi, mengantarkan mereka berdua meneruskan perjalanannya yang semakin dekat. Bukankah hanya perasaanlah yang mengatakan bahwa jarak itu jauh.
Areta mengantarkan kepulangan Indani hingga di pintu harapan.
“Selamat malam, Indani!”
“Tidurlah, dan berselimutlah dengan do’a dan harapan,” pesan terakhir Areta malam itu.
* * *
Sabtu, dini hari. 02.10. WIB, 6 Maret 2004
Sisa-sisa kepenatan malam yang dinginnya mencucup tulangku ini, rupanya tak mampu kubendung. Aku juga tak tahu, dari mana datangnya kegelisahan, kesuntukan,
kebosanan, dan ah, hampa kurasa usai latihan teater ini. Harapan yang tak kunjung tiba, kecemasan yang tiada akhir, dan tekanan-tekanan batin yang tak henti-hentinya, telah melemparkanku ke tengah-tengah padang keterasingan. Aku seolah tak mengenal mereka. Mereka pun juga tak menyapa kesunyian batinku. Apalagi jika berurusan dengan perasaan yang telah terlukai oleh keangkuhan dan kebohongan, ingin sekali aku memalingkan muka.
Aku yang tak mampu melapangkan jiwa atau memang nuraniku mengatakan demikian? Tapi,... ah, tidak! Tidak! Aku tak akan berpijak pada prasangka yang kupoles dengan kata nurani. Sesuatu yang masih samar-samar harus melebur dalam tempayan kearifan. Bukankah sumber persoalan itu senantiasa datang dari kekeruhan jiwa kita sendiri? Lantas kenapa harus kulempar ke orang lain?
Usai kutulis catatan ini aku membaringkan diri di sanggar meski sekejap. Kurasakan sedikit ada kemauan dari diriku untuk membasuh dekil-dekil kemalasan dan kegersangan dengan air wudhu. Aku berharap malam ini bisa bermesraan dengan-Nya. Ingin kuadukan semua persoalan-persoalan yang menindihku, meski orang lain kerap menganggap itu remeh.
Malam ini, aku melihat Indani menyimpan rasa iba kepadaku. Ternyata dia tak ingin membiarkanku hanyut dalam kebingungan atas sikapnya padaku yang selama ini ambigu. Ternyata dia juga meluangkan banyak waktu untuk persoalan itu. Bahkan terhadap persoalan keseharianku yang sekecilpun. Malam itu dia menanyaiku, “Sudah makan belum?” dan menghampiriku di sanggar, meski terkesan tak berterus terang. Ah, tak apalah karena tekadku, tak kan peduli dengan perubahan sikapnya itu. Mungkin, sepenggal lirik Ebiet ada benarnya; Cinta yang kuberi sepenuh hatiku. Entah yang kuterima aku tak peduli.
* * *
Sabtu, 05.30 WIB, 6 Maret 2004
Seperti kilatan petir yang menyambar, pagi hari saat kubasuh mukaku dengan air wudhu, ingatanku kembali terkenang pada peristiwa syahdu di malam hari; Muhasabah diri. Aku merindukan saat-saat itu terulang lagi. Menangis kepasrahan, mengadukan segala keresahan hati, memanjatkan puja dan harapan kepada Sang Kekasih Sejati.
Jika di siang hari, sore dan malam waktu dan perhatianku terkuras hanya untuk meramaikan panggung dunia dan kemanjaan diri, maka kapan lagi waktu yang kugunakan untuk berziarah ke taman batin. Akan semakin keruh dan gersang batin ini, jika setiap hari tak pernah dibasuh dan dirayakan dengan asma-Nya. Kemana raibnya wirid yang pernah diajarkan mursyidku dulu? Ya Robb, bantulah hamba menemukan diri.
[Usai Subuh menjelang Dhuha. Kala suara hati sayup-sayup memanggilku.]
* * *
Sabtu, 15.00 WIB
Aku tidak tahu sampai kapan kondisiku akan tetap seperti ini? Jarang pulang ke pondok. Tiap hari waktu kuhabiskan di kampus. Di pers dan teater. Ya, di situ! Tak ada yang lain. Kawan-kawanku di HMI MPO kian hari juga kutinggalkan. Sabtu sampai dengan Minggu kemarin, semestinya aku ada di acara baksos bersama kawan-kawanku di
organisasi yang telah membesarkan cendekiawan muslim terkemuka, Nurcholish Madjid. Tapi lagi-lagi, teater menggiringku untuk tak mendua. Begitu juga kawan-kawanku di bangku kuliah. Lama mereka kutinggalkan. Kuliahku kian hari semakin tak karuan. Kalaupun kupaksa masuk, paling hanya duduk, ngantuk dan keluar tanpa hasil apa-apa. Bagaimana ini?
* * *
Malam Ahad, 6 Maret 2004
Lega dan terasa terkurangi bebanku hari ini. Kurasakan hatiku cerah dan lapang. Hari ini benar-benar moment teristimewa dan bersejarah bagiku. Pertama, berita investigasiku naik ke percetakan. Selain ada penambahan halaman, laporan yang kuturunkan juga terbilang tajam dan rada’ membahayakan stabilitas kampus.
Aku yakin seyakin-yakinnya, bahwa berita yang membongkar kebusukan para petinggi kampus itu akan bikin geger. Dan aku selaku pemimpin redaksi sekaligus yang telah berani menurunkan laporannya sepertinya harus siap-siap berurusan dengan konflik dan serangan dari kelompok-kelompok tertentu yang terpukul.
Semua itu juga berkat getolnya kawan seniorku asal Padang yang memang berdarah panas. Dia yang dari dulu ingin sekali membongkar kemapanan kampus, akhirnya cita-citanya itu benar, jadi kenyataan. Ah, tak apalah. Mumpung masih mahasiswa. Mumpung memiliki kebebasan berekspresi meledak-ledak.
Kelegaanku kedua, menyangkut tugasku menyiapkan properti untuk pementasan teater yang tinggal sepekan lagi. Semua clear! Termasuk tong keparat itu, yang untuk mendapatkannya penuh perjuangan. Tanya ke sana kemari. Nyaris tak bisa tidur. Berkali-kali pikiran jahatku muncul untuk ngambil tong pembatas jalan raya lantaran saking susahnya. Setelah dapat pun tak lantas pikiranku tenang. Aku harus mikir cara ngangkut dan motongnya. Uang lagi! Kusewa becak dan kuminta membawanya ke pengelasan untuk dipotong. Habis mau gimana, sutradara maunya seperti itu. “Biar ngangkat pementasannya nanti!” katanya.
Kelegaanku ketiga, persoalan pribadiku dengan Indani kini rada’-rada’ menemukan titik terang. Aku tak ahu, apa sebabnya hatiku masih beranggapan kuat bahwa dia itu sebenarnya sangat menyayangiku. Sebaliknya juga begitu. Apa mungkin itu sifat wanita yang tak berani berterus terang mengekspresikan rasa sayang.
Indani, aku sungguh tak mengira bahwa tulisan yang kuberikan malam itu bertepatan dengan malam ulang tahunmu. Ini tentu bukan kebetulan belaka...
Indani, engkau terus bertapa dalam kesunyian
Hingga di hatimu tak menyisakan ruang untuk orang lain
[Semoga aku bukan termasuk orang lain]
Langgar Pers Kampus.
Usiamu sekarang menginjak angka 22 tahun.
* * *
Rabu, 17 Maret 2004
Indani telah menemukan jawaban. Aku memang yang semestinya melempar dan menjemput bola. Aku juga yang seharusnya peka membaca kemauannya. Aku ingin menyayangimu sepenuh hati Indani. Malam itu, dia berjalan denganku sepayung.
* * *
Gladi Resik, Malam Sabtu, 19 Maret 2004
Hari ini aku dan teman-teman akan membuktikan bahwa kami adalah yang terbaik dalam prosesnya. Ya aku akan membuktikan!!
* * *
Sabtu, 20 Marert 2004
Sebuah hasil telah menyatu dalam proses. Kita saja yang terkadang tertipu oleh bentuk-bentuk lahiriah. Pementasan berjudul,“Senyuman di Belakang Kursi Tua”, malam Ahad ini terbilang sukses.
Aku tak tahu, apakah kau memang sakit jiwa? Atau memang usiamu yang terlalu dini, sehingga pertanyaan-pertanyaanku kau serang habis-habisan. Engkau tak menganggap sebagai suatu hal yang lumrah.
Tapi itu memang benar! Karena engkau berkeyakinan bahwa sebuah kritik adalah mahluk yang harus diberangus habis.
[Saat Evaluasi Pementasan, astrada itu uring-uringan karena kritikku.]
* * *
Selasa pagi, 23 Maret 2004
Haru-hingar membalut pelantikan anggota teater. Benar-benar di luar dugaanku, jika malam bertabur tangis bahagia itu, kualami saat hatiku tengah kalut, lantaran sikap Indani semalam. Untung, detik-detik menjelang pelantikan yang menggugah emosi dan semangat, yang meluluh-lantakkan egoisme dan membangun kebersamaan itu, kekalutanku sudah meredam. Meredam, karena Indani mengajakku makan bersama dan bertawa canda lagi. Dan cairlah gerundelan-gerundelan itu.
* * *
Rabu, 24 Maret 2004
Malam ini, banyak lupaan-luapan rasa yang terus bergelora antara aku dan Indani.
Malam itu aku, Indani dan temanku, Faisol nonton teater PRT bareng-bareng. Sebenarnya yang mengasyikkan, bukan nonton teaternya. Tapi jalan-jalannya, dan saling intrik-intrikan di sepanjang jalan Solo itu! Tahukan, Faisol yang memang lihai di bidang ngomong, akhirnya jadi wasit sekaligus juru nasihatnya.
Setelah tiba di samping kampus putih, kami makan tempe penyet. Tahu nggak, dia lho yang nraktir. “Sambil mecahin uang kok,” alasannya. Aku dan Fasiol hanya tertawa sambil terus menyerangnya. “Besok mecahin uang lagi kan?” ejekku. Maklum, di antara aku dan Faisol memang lagi kere. Jika salah satu dari kami yang membayar semua, mustahil kayaknya. Tapi kalau bayar pakai uang sendiri-sendiri, sepertinya juga nggak asyik. Jadi kami terpaksa nongkrong lama-lama. Sampai salah satu ada yang nyerah. Ha..ha..ha
Oh, iya ada perubahan lho dari dirinya. Ingin tahu? Sekarang jalannya tak lagi membungkuk kayak orang tua. Mungkin dia merasa risih dengan ejekan temannya setiap hari. “Nggak usah terlalu sopan Mbak kalau berjalan di depanku,” sindir beberapa temannya. Ah, senang aku melihat perubahan itu.
Langgar pers terkunci. Berati aku harus cari tumpangan tidur. Sekalian aku numpang di kos Faisol. Sambil menanti masa kantuk, kami ngobrol tentang banyak hal.
Di kamarnya yang lumayan sumpek, kami terlibat dalam pembicaraan yang serius yakni tentang masa depan kami.
Faisol punya pandangan, wanita bukanlah segalanya. Ia akan mengutamakan keluarga, adik-adiknya dan persiapan lahir-batin. Singkatnya menurutku itu sangat manusiawi. Apalagi ia anak sulung. Baginya, cinta urusan yang kesekian. Tak perlu disembah-sembah layaknya cerita layla-majnun. Jika memang menghalangi; cut!
Tapi pandangannya bertolak belakang denganku. Aku malah menjadikan cinta sebagai langkah awal. Apapun yang mengancam, cinta tak akan kukorbankan. Aku menganggapnya sebagai ujian. Di sanalah kekuatan cinta akan dibuktikan sejauh mana mampu bertahan dihantam gempuran. Dan cinta bagiku harus dipertahankan. Bisikan-bisikan yang membuat langkah keder untuk melangkah, harus dienyahkan.
Bagiku cinta mengajari manusia menjadi lebih arif, bijak dan bertanggung jawab. Cinta bukan persoalan senang dan tak senang. Tapi lebih jauh dari itu, berpijak pada baik dan tidak baik. Cinta adalah kendaraan yang paling ampuh untuk menggerus egosime. Dan cinta akan mengajari manusia untuk memahami perasaan orang lain.
* * *
Kamis, 25 Maret 2004
Kemarin, aku sowan ke Simbah Kiai. Menuturkan segala permasalahanku berkaitan dengan pembagian waktu antara kegiatan di kampus dengan di pondok. Pada intinya, aku masih ingin berbagi rasa di pondok, dengan santri-santri, dan anak-anak TPA, meski aku sudah tak lagi bermukim di pondok.
Ada perasaan haru, kala simbah kiai menyampaikan pesan dan nasehatnya kepadaku. Hatiku terenyuh melihat tubuhnya yang tirus, tak bertenaga, dan terkulai lemah di pembaringan. Dengan nafas yang tersengal-sengal, dia mengatakan, “Semoga ilmu yang engkau cari membawa manfaat, Nak!”
* * *
Sabtu, 27 Maret 2004
Pindahnya tempat tinggalku dari pondok ke langgar pers kampus akan kujadikan sarana untuk penempaan diri. Bagaimana rasanya ganti komunitas? Semoga ini adalah bagian dari proses mencapai kematangan diri!
* * *


No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates