Monday, April 7, 2008

catatan dari sudut kampus III


--TIGA--
27 Desember 2003
Hampir satu pekan, buku harianku tak kujamah sedikit pun. Hari-hariku banyak kuhabiskan di sekretariat kampus. Membenahi ruangan, belajar mengutak-atik komputer, sesekali menurunkan laporan berita. Sementara hampir tiap malam tidurku bukan di pesantren, tapi di sekretariat kampus. Di sana aku menghabiskan malam bersama Udin, anak Sunda yang fasih berbahasa Jawa. Tubuhnya kecil, rambutnya gondrong. Ia sedikit keras kepala. Mau menang sendiri. Jika mengalah selalu mengeluh. Jarang sekali ia bicara serius. Omongannya kerap nyerocos nggak karuan jika ketemu dengan kawan-kawannya.
Aku memperoleh sekeranjang pengalaman sejak aku bertekad untuk aktif di kegiatan kampus. Setidaknya selain aku bisa sedikit melupakan nama Iffah dari lembaran batinku, aku juga lebih mengenal dunia perpolitikan kampus. Politik memang sulit menjaga jarak dengan lingkar kekuasaan yang cenderung otoriter. Kekuasaan akan menciptakan kehancuran jika tak ada yang berani mengkritik dan beroposisi. Orang yang berada dalam lingkar kekuasaan akan sulit baginya untuk melihat secara obyektif. Pola pikirnya akan terkurung oleh kemapanan yang mengitarinya. Berbagai sikap apologetis akan diajukan ketika ada yang mulai menggoyang kekuasaanya. Mungkin cara penyelamatan dari terkaman kekuasaan adalah dengan jalan mengambil jarak. Dengan membentang jarak, kita bisa mengehingkan batin dan fikiran agar permasalahan menjadi obyektif.
* * *
00.00.WIB. Tahun Baru 2004
Pesta kembang api di malam pergantian tahun baru itu kusaksikan dengan mata nanar dan hati yang berontak. Ramai manusia berkumpul dan berarak-arakan di pelataran kampus. Dengan lepas kendali, mereka meluapkan ambisi egonya. Mereka yang merayakan itu tak pernah tahu bahwa dirinya hanyalah korban dari halusinasi keadaan zaman. Keadaaan zaman yang yang sebenarnya hanyalah tipuan belaka. Barangkali mereka tak pernah berfikir jauh ke depan, apa sebenarnya persoalan riil yang menghimpit mereka. Mereka adalah korban-korban keremangan dan kekejaman situasi sosial kultural yang sudah tak steril lagi. Aku hanya bisa bergeleng kepala. Meski aku sering jatuh tersungkur oleh ketidakberdayaanku, aku akan tetap mencoba untuk bertahan. Melawan bentuk fatamorgana dunia. Beruntunglah orang-orang yang mampu menembus dimensi kesenangan semu dengan merenung, introspeksi diri, dan menghimpun kembali tenaga buat perjalanan ke depan di malam kembang api.
* * *
Kamis menjelang Isya’, 1 Januari 2004
Sekilas tentang sms. Ada Dyah anak HMI MPO yang ternyata masih ingat aku: “Kapan ujian midnya? Moga sukses ya?”
Ada si Unyil: “MET TAHUN BARU,” dan serentetan kata mubadzir yang ngelantur. Ada juga adik keponakanku, Arifin. Ah, sejak dia kerja dan tinggal di Jakarta aku tambah sayang padanya. “Mas, gimana kabarnya. Baik-baik to? Kuliahnya lancar-lancar kan?”. Juga dari Karunia, adik kelasku yang masih mengalami konflik batin dengan kawanku. “Mas, tolong sampaikan maafku sama Mas Ubed ya? Aku tak bermaksud untuk membuatnya kecewa. Semoga kita masih bersahabat.”
Mengenai kondisi uang kiriman dari rumah, akhir-akhir ini sedikit mengalami kendala. Nampaknya sekarang aku harus memikirkan keuangan tak terduga sebagai akibat langsung dari keaktifanku mengikuti kegiatan di kampus. Belum termasuk membelikan pulsa untuk HP pemberian kakakku ini. Tapi tak apalah. Biasanya Tuhan mengalirkan rezeki itu dari jalan yang tak disangka-sangka.
Tuhanku, aku hanya bersandar kepada-Mu. Dari keberingasan nafsu syahwati. Dari ketidakpercayaanku atas qudrah-Mu. Dari kegelisahanku. Dari manusia yang terus membuat hatiku keder dan kerdil. Ada wanita, ada berhala materialisme, dan berhala-berhala yang selalu memaksa fikiranku dalam tiap jengkal waktu. Kabulkan Rabb...!!
* * *
5 Januari 2004
Malam ini, kucoba untuk merilekskan ketegangan-ketegangan pikiranku. Kuhentikan untuk sementara waktu aktifitasku membaca buku. Aku akan mencoba mengheningkan arus pikiran dan gejolak jiwa dengan menekuni kembali rutinitasku selama ini, yaitu ziarah ke makam-makam auliya’ setiap malam Jum’at.
Barangkali dengan aktifitas yang lebih menguatkan emosi dan perasaan itu, ketegangan pikiranku bisa kembali mengendur. Dan dengan memperbanyak zikir di malam hari semoga aku mendapatkan tambahan energi spiritual. Bukankah otak kiri dan otak kanan itu harus seimbang?
* * *
12 Januari 2003
Aku ternyata masih sangat merindukan Iffah. Aku ternyata belum mampu melupakannya. Dalam mimpiku semalam, ia benar-benar tampak anggun dan mempesona. Ia seolah hadir dalam dunia nyata. Dan aku benar-benar masih sayang padanya. Hatiku kala itu benar-benar tak tahan melihat seraut wajahnya yang...ah, sungguh mengikat hatiku. Sayang sekali, cintaku harus kandas.
Seandainya kita masih sehati, tak mungkin kurasakan derita yang tak terperikan ini. Bagiku engkau wanita terhebat yang aku kenal. Duh Gusti, jika kerinduan yang semakin menggelora ini hanya ilusi dan menyiksa batinku, aku mohon sirnakan. Namun jika rasa gundahku ini karena di hatinya juga merasakan seperti apa yang kurasakan, aku mohon dengan sangat Gusti; pertemukanlah hati kami berdua.
Kesadaranku tiba-tiba tersentak. Ada beban moral dan tanggung jawab sosial yang harus kuutamakan ketimbang mengurus persoalan hati yang tak menentu cuacanya ini.
Masih dalam mimpiku. Aku benar-benar panik. Mencari seorang tabib yang mampu menyembuhkan sakit kawanku. Tapi apa yang kudapat? Sepulang dari
perjalananku mencari seorang tabib, kawan-kawanku semua telah mati dan dikuburkan. Aku menangis tersedu. Tapi tiba-tiba aku dibikin benar-benar kaget. Di tengah kebingungan dan kekalutan itu, aku melihat Iffah justru sibuk dengan urusannya sendiri dan tak mau peduli dan empati dengan peristiwa yang baru saja terjadi. Aku pun kecewa sekali saat itu. Tapi, itu hanya mimpi.
* * *
Padepokan, Ahad siang, 18 Januari 2004
Gusti...Gusti...!!Akankah kesibukan di kampus tak menyisakan ruang refleksi, evaluasi, atau sekedar mengambil jarak dengan realitas agar kebenaran itu semakin tampak jelas.
* * *
18 Januari 2004
Pulang dari acara Kenduri Cinta di Bantul, aku bermalam bersama teman pondokku, Irham di sekretariat kampus. Dalam tidurku, aku kembali bermimpi bertemu Iffah. Seperti hari-hari biasanya, ia menyapaku. Aku yang berhasrat sekali ingin ke Malang akhirnya menuai kekecewaan. Padahal, suara hatiku yang paling kecil telah mengingatkan bahwa aku tak boleh menemuinya lagi.
Saat itu ia menunjukkan sikapnya yang dingin kepadaku. Aku benar-benar diliputi keputusasaan dan kesedihan mendalam. Aku bak si Hamid dalam cerita Di Bawah Lindungan Ka’bah yang hanya duduk termenung, berjalan, dan berteman sunyi. Waktuku habis untuk munajah, menunaikan sholat, berzikir dan sesekali berjalan di pematang sawah memandang keindahan alam yang masih menyisakan kenangan. Orang-orang yang melihatku menaruh rasa iba. “Kasihan sekali pemuda yang dirundung duka itu. Hatinya merana karena merasakan kegetiran cinta,” kata seorang yang sempat tertangkap kedua daun telingaku. Hatiku menjerit, kenapa kenangan yang meninggalkan duka-lara itu tak bisa lenyap dari ingatan. Akankah kita kelak dipertemukan kembali oleh-Nya?
“Bangun Areta! Subuh! Subuh!” Irham membangunkanku. Aku terdiam sejenak, rupanya aku bermimpi.
* * *
Senin, 26 Januari 2004
Pantai Trisik Kulon Progo adalah saksi bisu atas semua yang telah terjadi padaku. Malam itu, dengan mata tertutup kain, aku dan teman-teman dibuat bak boneka oleh panitia workshop Teater Kampus. Tanpa alas kaki, kami menyusuri ruas dan jalan setapak hanya dengan mengandalkan insting. Kaki tertusuk duri, menginjak serpihan batu dan cadas-cadas tajam. Aku rasakan anggota tubuhku serasa mau lepas satu persatu. Dengan arah yang berlawanan, mereka—para panitia, menarik kedua lenganku dengan kencang. Bentakan-bentakan pedas dan makian sudah bukan mahluk asing lagi di telingaku. “Awas! jangan sampai lepas pegangan kalian!!” teriak mereka yang terus terngiang di telingaku malam itu.
Esok pagi, dramatikal mengerikan kembali terulang. Di bawah terik mentari yang menyengat, kami dipaksa berekspresi di pasir pantai yang membara itu. Dahsyat! Pasir yang membara itu seketika menyelomot sekujur tubuhku. Ini adalah penyikasaan gaya baru sebagai salah satu syarat menjadi anggota komunitas seniman. Yang ada di benakku hanyalah harapan, semoga ekspresi di atas pasir ini lekas beralih ke bibir pantai. Lantas
aku akan berguling-guling di air sampai puas.
Namun apa yang terjadi?! Ekspresi di pasir ternyata berlangsung cukup lama sampai di batas kesabaran yang tipis. Dari gaya kapas terhempas air, gaya kuda meringkik, gaya cumi-cumi, cacing menggeliat, hingga gaya kura-kura merangkak, semua itu harus kami lakukan di atas bara pasir. Aku berguling-guling, merayap, meloncat, merangkak. Raut wajahku merah-padam. Rambutku menjadi tempat adonan pasir. Bersimbah! Sungguh kenangan yang tak terlupakan sekaligus menyenangkan!
Ups! Aku mendapat kenalan baru. Namanya Indani. Sayang, aku hanya bisa mengagumi. Tak berani mencintai. Terlalu traumatik. Aku terlalu dihantui berbagai resiko. Ah, biarlah aku menikmati ayunya. Aku masih ingin merdeka. Terbebas...
[Hingga sore ini, sekujur tubuhku masih terasa pegal-pegal.]
* * *
Jum’at, 6 Februari 2004
Ada lagi percikan-percikan asmara yang terus mengejarku. Apakah ini hanya bayang-bayang yang sekelebatan berlarian ke sana-kemari? Aku benar-benar tak tahu. Jangan-jangan ini hanya bagian dari episode kemarin yang pada saatnya nanti pasti berlalu. Akankah hatiku tersandung dengannya. Dan memulai cerita baru lagi. Cerita yang kelak akan menjadi sejarah bisu dan terpatri di jiwaku.
Tuhan, jangan kerdilkan jiwa hamba-Mu ini menghadapi kenyataan hidup. Jadikan hamba seperti Ibrahim yang tak gentar kepada siapapun dan siap menanggung segala resiko.
Usai ngobrol dengan penyair Jogja, Matori A Elwa. Saat itu ‘dia’ juga berada di kursi sampingku.
* * *
Masih di senja hari. Usai musyawarah untuk persiapan pentas, aku merayakan hari ulang tahunku ke 21 di sekretariat pers kampus. Tak banyak yang hadir, karena aku memang menyembunyikan hari ulang tahunku itu. Acaranya amat sederhana. Bercerita pengalaman pribadi sambil menikmati nasi angkringan bersama ‘Ali, temanku yang kenal saat bareng-bareng ikut pelatihan basic training HMI-MPO dulu. Dan yang mengesankan, ‘dia’ juga ikut menghangatkan acara ulang tahunku itu. Dengan serius, dia menyimak cerita dari pengalaman pribadiku setahun silam. Hmmm, diam-diam rupanya aku GR juga diperhatikannya.
Selepas Magrib, kami bertiga nonton film Biola Tak Berdawai. Sehari sebelumnya, aku juga memutar film gila, berjudul Beth. Dua buah film karya negeri sendiri yang kuacongi jempol.
Sampai detik ini, Sabtu dini hari, pukul 02.10 AM, banyak hal yang ingin kutulis. Ada urusan hati, proses kreatif berkesenian, atau tentang perkembangan pemikiran Islam dewasa ini yang dipicu oleh artikel kontroversialnya Ulil di koran Kompas: Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam.
Tentang berkesenian di sanggar, aku boleh dibilang sukses membawakan sebuah cerpen. Ah, lega sekali terasa, usai tampil di panggung kecil-kecilan itu. Cerpen yang kubaca itu—tentu saja tak sekedar baca, kuperoleh dari buku Seribu Masjid Satu Jumlahnya karya budayawan kondang asal Jombang, Emha Ainun Nadjib.
Tentang perkara hati...Ah, tampaknya aku semakin tak berdaya. Kian terpojok. Menyerah dan kalah. Dorongan dari dalam hatiku mengatakan bahwa aku harus terus
melangkah ke arahnya. Serentetan peristiwa saben hari sepertinya mengisyaratkan agar aku berlari ke sana. Dan lama-lama ternyata aku mulai jatuh hati juga padanya.
Tapi, apakah dia merasakan getaran kalbu seperti yang aku rasakan? Getaran yang menerbitkan harapan sekaligus ketakutan? Ah, kenapa aku menjadi manusia yang lemah. Mudah sekali jatuh hati.
* * *
Jum’at sore, 6 Februari 2004
Tadi malam ‘dia’ meminjam bukuku yang bersampul hijau itu; Seribu Masjid Satu Jumlahnya. Dan yang mengagetkanku, dia ternyata serius ingin melihat tulisan tangan Pak Tua yang pernah tertoreh di buku harianku. Dia mungkin penasaran dengan ceritaku semalam saat perayaan ulang tahun itu. “Orang tua itu menghilang entah ke mana rimbanya setelah menuliskan beberapa kalimat di buku harianku,” ceritaku padanya malam itu.
Tapi mungkin juga, sebenarnya itu hanyalah alasan dia saja agar aku dapat meminjaminya buku. Itu artinya aku dan dia dapat terus saling bertemu lebih dekat. Kalau memang benar, itu artinya...?
Aku tak tahu, akankah kelak dia akan bersamaku? Ah, wanita. Kenapa engkau membuat cuaca hatiku semakin tak menentu. Tuhan, kukembalikan semua urusan ini pada-Mu.
* * *
Kasmaran, 7 Februari 2004
Malam itu aku menatap rembulan dengan sempurna. Cahayanya yang terang namun menyiratkan kelembutan telah membuatku terpana. Ah, akankah aku mampu menggapainya?
* * *
17 Februari 2004
Kuawali tulisanku di hari keempat masa sakitku. Serasa ada cahaya kuat yang menerobos dan menyibakkan tirai-tirai di jendela pikiranku. Cahaya itu mengajakku bertamasya mengelilingi jagad. Di siang dan malam hari. Mata dibuat enggan terpejam. Kerja otak bekerja penuh. Dan ribuan hikmah mendadak membanjiriku. Dengan separuh keheranan, aku bertanya; di saat awal perjalananku meniti asa, mengapa aku hampir tak mengenal batas istirahat. Sampai-sampai teguran, ujian, atau semacam pelantikan menghujamku hingga kurasakan jasadku terpisah dengan rohku untuk sementara waktu. Aku terkejut bercampur takut, saat melihat tubuhku terbaring di kamar pondok.
Aku paham, ternyata di moment itulah cita-cita yang digantungkan manusia dalam setiap mimpi-mimpinya suatu saat nanti akan menjelma menjadi kenyataan. Pertanyaan-pertanyaan yang dulu seolah angin lalu, kini serasa menyapaku dan mengajakku untuk menderasnya. Begitu pula hal-hal yang paling remeh-temeh sekalipun. Apakah ini isyarat awal, bakal datang suatu ilham. Seperti sang pujangga yang sering merasa susah memejamkan mata ketimbang berjaga.
Refleksi kala aku terbaring lemah di pondok.
* * *
Selepas Isya’, 17 Februari 2004
Menjelang kesembuhanku, ‘dia’ menelponku ke pondok. Sebelumnya juga dua kali dia menelponku, namun tanpa hasil karena kebetulan aku lagi keluar. Dia bertanya tentang kondisi kesehatanku. Tentang kapan bisa ke kampus lagi. Dia bercerita tentang latihan teater yang selama ini tanpa kehadiranku, tanpa makan nasi angkringan bersama-sama lagi.
Tapi lucunya, kepada pengurus pondok dia mengaku sebagai kakakku yang ingin bicara dengaku untuk melepas kangen. Katanya, “Biar tak dicurigai dan disadap keamanan pondok.” Rupanya tekad untuk memberiku perhatian, jauh hari sudah mengetahui medan tempurnya, bahwa sebuah pondok memiliki aturan tak tertulis; seorang santri haram menerima telpon dari santriwati. Mungkin dia memiliki pengalaman semasa duduk di bangku ‘Aliyahnya.
* * *
Rabu pagi, 18 Februari 2004
Kesibukanku di kampus hingga saat ini tampaknya berakibat buruk pada tanggung jawabku di pondok. Di antaranya, TPA pondok yang aku pimpin jadi terbengkalai. Ziarah rutinku juga ikut-ikutan pasang surut. Aktifitas seriusku membaca buku sampai khatam juga semakin berat kutekuni. Semua berantakan akibat ketertarikanku pada aktifitas kampus yang menuntut ekstra keras. Tenaga, pikiran dan waktu. Akankah aku mendua hati? Antara tetap bermukim di penjara suci dan berhijrah ke Kampus?
Rasanya memang tak mungkin dua cinta dalam satu hati. Akibat kegiatanku di kampus saja, aku menjadi terbiasa nggak mandi dan gosok gigi selama dua hari. (hii...!!) Jika untuk hal-hal yang sepele saja—semisal mandi dan gosok gigi, aku sudah tak mampu meluangkan waktu secara ikhlas, lantas bagaimana mungkin aku mampu meluangkan waktu untuk hal-hal yang menuntut tanggung jawab sosial.
Benar memang, sindiran teman sekelasku dan juga peringatan Ibu serta kakakku kemarin. Aku itu sekarang terkesan kumuh dan kurang bisa menjaga kebersihan. Tapi anehnya kenapa aku jadi terbiasa? Mungkin komunitas teaterku semua hampir nyaris sama. Sama-sama kumuh. Sama-sama jarang mandi. Dan sama-sama jarang keramas!
* * *
Rabu malam, 18 Februari 2004
Kesibukan, seringkali membuatku tak mampu menyadap kelembutan cahaya-Nya. Munajahku bagai seorang yang lari terbirit-terbirit seperti hendak berak. Kalaupun kupaksakan, jiwa terasa berat sekali. Alhamdulillah, malam ini, di akhir pembacaan Al-Berzanzi aku berhasil menghadirkan hatiku.
* * *
19 Februari 2004
Kapan aku bicara secara terbuka kepada Lurah Pondok dan Simbah Kiai? Tentang statusku sekarang ini yang tidak jelas. Jarang pulang ke pondok, jarang mengikuti kegiatan dan tentu saja jarang mengikuti pengajian. Berangkat ke kampus pagi. Pulang malam.
Hah! semua memang berawal dari aktifitasku di kampus yang kebablasan.
Akibatnya, pondok kuanaktirikan. Malu juga aku sebenarnya berbuat demikian. Bayangkan, ketika aku memasuki pelataran pondok. Berjalan mengendap-ngendap, pelan, agar tak jadi pusat perhatian para santri, meski sebenarnya beberapa santri sudah mulai mencium pembangkanganku. “Huu...kemana saja seharian. Pondok bukan tempat kos Bung!” itulah kata-kata yang aku takutkan.
Itu belum ditambah beban hafalan nadzoman yang saben hari semakin menumpuk dan membuat kepalaku pening. Resikonya ketika aku mengaji dengan sisa-sisa tenaga, kepalaku blank. Lambat laun, rasa malas menyerangku. Aku mulai jenuh. Aku ingin pamitan. Aku tak ingin mengotori pondok ini dengan ulahku yang tak menggenggam erat etika kesantrian.
* * *
Jum’at pagi, 20 Februari 2004
Cahaya pagi ini, sama halnya dengan pagi-pagi sebelumnya. Dua hari yang lalu, sepulangku dari ndalemnya Mbah Siroh, Maguwoharjo, kedua kakiku terlalu bersemangat menikmati perjalanan pulang. Aku berjalan riang di sepanjang ring road utara. Tak kusia-siakan kesempatan emas itu. Aku pun berakting. Berteriak-teriak lantang, berlarian, meloncat, merayap dan menangis. Meneriakkan apa saja yang terlintas di benakku. Yang tersadap di daun telingaku. Yang merasuk ke pori-pori kulitku. Aku melakukan pembongkaran diri.
Orang mengira aku sudah gila. Tapi biarlah! Karena itulah yang kuinginkan. Aku hanya ingin keluar dari penjara tak percaya diri, introved, penakut, dan pemalu! Aku tak mempedulikan kedua temanku yang dari tadi hanya tersenyum-senyum, melihat polah tingkahku yang akhir-akhir ini rada aneh setelah bergabung dengan komunitas teater.
* * *
Sabtu malam, 21 Februari 2004
Usai latihan keaktoran tadi, aku mengantar dia pulang ke kosnya, meski terpaksa ada seorang yang tidak senang. Aku mencium gelagat, rupanya ada kompetisi. Rupanya ada seseorang yang juga sama seperti aku; memberi perhatian kepadanya. Dan seorang itu juga di komunitas teater. Temanku sendiri. Tapi aku justru merasa seperti terbang di atas awan, karena ‘dia’ malah menunjukkan sikap keberpihakannya kepadaku ketimbang temanku tadi. Ah, kasihan sekali temanku itu. Gayungnya tak bersambut.
Sampai di simpang jalan, aku berpapasan dengan Karunia dan Rahmawati tengah mencari makan di warung koboi. Mereka pasti menduga-duga tentangku. Tentang seorang yang berjalan di sampingku.
Sepanjang jalan menuju kosnya, seluruh upaya dan dayaku hanya tercurah untuknya. Menghiburnya, membuatnya tertawa, dan bahagia. “Ah, omong kosong!” aku mengumpati diri sendiri dalam batin sambil cengengesan.
Tapi, yang lebih menggelikan lagi ialah saat ia menegurku, “Jangan cepat-cepat dong jalannnya.” Ha...ha...ha... Aku tertawa dalam hati. Teringat masa SMU dulu, kala berjalan dengan Iffah dan menemukan kalimat yang sama, ”Jangan cepat-cepat dong jalannya.”
* * *
Ahad, 22 Februari 2004
Ibu...nampaknya anakmu ini sudah jatuh hati kepadanya. Aku ingin dia tahu, Ibu. Dan aku ingin mengatakan kepadanya. Aku akan memberanikan diri, Ibu.
* * *
Senin, 23 Februari 2004
Rembulan malam yang senantiasa hadir dalam alam nyata menyaksikan garis-garis tulisan yang tersimpan pada benda kecil, mungil.
Namanya Indani. Sebuah nama yang lembut. Artinya “di sampingku”. Aku tak tahu mengapa harus bernama Indani? Apakah dia terlahir agar senantiasa selalu dekat di hati orang?
* * *
Selasa 24 Februari 2004
Akan aku abadikan dalam buku harianku ini. Di samping hall Kampus, pagi yang diwarnai rintik hujan, aku duduk berhadapan dengannya. Menanti jawaban darinya!
Saat itu ramainya jalan raya masih bersembunyi. Hanya kicau merdu burung yang masih terdengar nyaring. Beruntung sekali, karena sebentar lagi suara knalpot motor dan dan deru mesin akan menelannya dalam perpacuan waktu dan kepentingan.
Kurasa sinar mentari juga masih bersahabat dengan kulit. Beruntung juga, karena sebentar lagi sinarnya tak lagi ramah. Dia akan menyengat kulit siapa saja yang tak berlindung dari semburan panas saat siang mulai merangkak.
Ya, di samping hall kampus tepatnya. Di sanalah awal kali aku menggelar sebuah janji dengannya. Pada sepucuk surat. Aku mengetik memakai komputer pers Kampus. Font huruf yang kupilih, garamond. Ukurannya tak terlalu besar, 11. Menurut keyakinan mataku, huruf saudaranya time news roman itu berkarakter ramping, mudah dibaca, cerah di mata. Dan aku suka huruf itu. Pas untuk menulis surat cinta.
Lalu kububuhkan hari, tanggal, tempat, dan waktu. “Besok, Selasa 24 Februari 2004. Pukul 06.00 WIB tepat, kita bertemu di samping hall kampus. Aku menunggu jawabanmu.” Singkat. Dan aku tak mau kompromi.
Sebenarnya ada rasa ngilu ketika hendak kuberikan lipatan kertas itu. Takut ditanya macam-macam. Dan yang mengerikan, jika cintaku ditolak. Mau ditaruh di mana mukaku. Tapi aku tak mau kalah. Kucuri kesempatan yang memungkinkan dia tak terlalu rewel. Kucegat sore hari, di depan kampus, saat dia mau pulang ke kosnya.
Surat itu telah kuberikan. Aku langsung cabut ke pondok. Senja kemerahan perlahan pudar. Menyusul kelabu dan hitam. Samar-samar pandangan mataku mulai kabur. Remang-remang. Dan gema azan Magrib berkumandang, seolah saling bersahutan dari satu dusun ke dusun lain. Sekejap mata saja, usai menderas Al-Qur’an bakda Magrib itu, waktu Isya’pun menggeser. Kini malam mulai merayap. Aku menanti dalam cemas. Rasa tak sabarku menggremang, ingin memangkas malam agar bergeser pagi.
* * *
“Kita bicara di sana saja ya?” dia menunjukkan suatu tempat yang lebih teduh dan tak menjadi lintasan orang. Kulirik wajahnya tampak pucat. Dia duduk di sebelah kananku. Sesekali kami beradu pandang. Iama kami berdiam, tak memulai cakap.
“Apakah kamu yakin dengan pilihanmu itu. Pikirkanlah masak-masak Areta!” katanya memulai pembicaraan.
“Engkau belum mengenal aku. Dua minggu adalah waktu yang singkat. Engkau belum tahu siapa aku, keluargaku, sifat-sifatku,” lanjutnya. Ketika dia diam, giliranku angkat bicara. Maka, mulailah aku terlibat percakapan panjang. Membicarakan siapa diri kami masing-masing. Masa lalu kami. Kemungkinan-kemungkinan yang lain. Sampai membahas takdir, harapan dan keinginan manusia. Dan juga keresahan kami masing-masing. Sebelum kami pungkasi perteman itu, ia menulis kalimat singkat di lembar tengah buku harianku;
“Oke! Selama kehadiranku tidak membebanimu. kita coba untuk berproses bersama,” demikian jawabannya.
* * *


No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates