Monday, April 7, 2008

catatan dari sudut kampus VIII


--DELAPAN--
Di samping rel kereta api, Kediri, 4 September 2004
Angin bertiup kencang dari arah selatan. Merinding bulu kudukku, menahan dinginnya hawa pagi ini. Burung emprit asyik berkicau, bersahut-sahutan. Sepasang muda-mudi kulihat tengah menikmati kehangatan bersama. Duduk di rel kereta api yang menjulur.
“Bress..!!” Baru saja kereta api itu melintas dengan angkuhnya. Roda-rodanya memercikkan api. Gemuruh suaranya memekakkan gendang telingaku. Terlintas di pikiranku, manusia pasti tewas seketika dan tubuhnya hancur berkeping-keping jika saat itu ia hendak mengakhiri hidupnya.
Aku masih duduk di sini. Di tepi rel kereta api. Menanti sebuah bus. Kulihat orang setengah baya menjaga palang rel kereta api. Rambutnya sebagian sudah terlihat beruban. Aku tak tahu seberapa besar upah bapak itu menjaga palang. Tak ada aktifitas lain, selain menanti kereta api melintas. Tapi dari itulah, istrinya menggantungkan nasib. Juga si anak yang membangun cita dan harapannya. Ah, anak-anak kecil itu. Jagalah kehormatanmu. Janganlah kau hinakan dirimu dengan perilakumu yang merasa berkecil hati.
* * *
Kediri, Sabtu malam, 4 September 2004
Kenapa kepulanganku selalu disambut dengan cerita-cerita pedih dan haru? Himpitan ekonomi yang menyesakkan dada senantiasa menjadi cerita klasik. Cerita itu seolah tiada ujung pangkalnya. Helaan nafas panjangku terdengar mendesah. Pandangan tertuju ke langit-langit rumah. Kosong. Berat terasa. Seolah hidup hanya menjadi beban derita.
“Usaha bengkel Mas To kian tenggelam dalam ketidakberdayaan,” keluh ibuku.
“Sekarang tubuh Mbok juga kian kurus akibat pertengkaran yang tak kunjung usai,” tambah Ibuku.
“Baru saja bapakmu ngamuk. Dia membanting hiasan yang terpampang di dinding,” lanjutnya. Ah, aku sudah menduga. Kulihat memang di dinding depan terlihat
goresan hitam.
Aku tak tahu sampai kapan cerita duka ini kan berakhir. Tak adakah cerita yang menghibur? Atau memang aku saja yang tak mampu menyulapnya menjadi kisah cinta yang senantiasa bersemi.
Ibu, Mbok, Mas...usahlah mengeluh. Jangan terlalu bersedih. Kering sudah air mata hatiku...
* * *
6 September 2004
Ibu merestui. Aku cuti kuliah. Aku akan bertarung! Aku akan berproses menjadi wartawan di Kota Solo. Ini adalah awal perjalanan karirku...
* * *
Solo, 1 November 2004
Hari ini seperti hari-hari sebelumnya, aku keluar masuk pengadilan mencari berita. Ah, pengadilan rupanya memang tak selalu identik dengan keadilan. Sama dengan institusi lain. Sekolah, kantor pajak, kantor polisi, kantor berita yang kujalani ini, bahkan kantor agama sekalipun ternyata sama saja. Tak segendang sepenarian. Pada akhirnya, memang manusialah pengendalinya.
Kutunggu sampai jam 12.00 WIB. Panas siang mulai terasa menggerahkan. Namun sungguh sialan. Sidang belum juga dimulai.
“Hakim belum datang,“ kata petugasnya.
“Hari ini ada kasus apa Pak?” tanyaku.
“Sama seperti kemarin. Melanjutkan persidangan. Tak ada yang divonis,” lanjutnya.
Pikirku, ketimbang menanti persidangan orang-orang kecil yang mencuri ayam dan barang-barang bekas lantaran terjepit ekonomi, mending aku cabut dari tempat itu. Cari hiburan ke toko buku. Urusan berita, ah bersetanlah!
Aku lekas meluncur bersama motor antikku ke Gramedia. Berderet-deret buku terpajang di lantai dua. Semua dijual, meski aku tak mungkin mampu membeli satupun. Tapi, tak punya uang bukan berarti menyerah dan menyurutkan semangatku untuk menderas buku. Buku-buku yang menarik pandangan mataku, kubaca di tempat sekaligus. Sambil berdiri, kadang jongkok, kadang bersandar jika kaki sudah mulai terasa cemut-cemut.
“Ternyata kesuksesan itu memang hanya bisa diraih dengan ketekunan dan bekerja keras,” kata batinku, usai membaca biografi dan perjalanan panjang koran Kompas. Pada mulanya, koran yang didirikan Petrus Kanisius Ojong adalah koran yang sekedar untuk cetak saja harus numpang di penerbitan koran lain. Akibatnya kerap dijuluki harian sore, lantaran harus telat cetak.
Kini karena kegigihannya, Kompas menjadi koran nasional yang elegan. Koran yang bertiras ratusan ribu eksemplar. Koran yang mampu menghidupi ratusan ribu karyawan. Koran yang memiliki halaman paling tebal. Koran yang memiliki usaha melimpah, dari Toko Buku raksasa, Gramedia, sampai memiliki TV sendiri. Dan jujur kuakui, dari isi dan keakuratannya, Kompas belum tertandingi dengan koran lain.
* * *
Karangasem, Selasa, 30 November 2004
Aku tahu, keuangan di keluargaku mulai tidak stabil. Sementara kebutuhan-kebutuhan mendadak mulai datang bergiliran. Kakakku kedua, pertengahan Januari 2005 akan melangsungkan hajatan nikah. Sementara Ibu, sejak perpindahan rumah itu, hingga kini rezekinya nyaris lumpuh. Tak ada pemasukan sama sekali. Warung yang biasanya menjadi tulang punggung untuk kebutuhan sehari-hari, sekarang telah tiada. Dan aku benar-benar pailit. Uang di tanganku tinggal empat ribu. Untuk makan, beli bensin, sabun cuci, dan kebutuhan-kebutuhan tak terduga lainnya mau pakai apa?!
Aku minta pulsa seorang temanku. Kuberanikan diri sms kakak sulungku. “Mas, pnya uang 50 rb g? Utk byr kos.[areta]”. Dalam batin, aku sangat malu dan ingin merintih. Kenapa masih juga aku membebani kakak? Bukankah janjiku, di semester IX kelak aku sudah harus go-on. Bekerja dan mandiri. Mungkin aku terlalu sombong dengan impianku. Aku tak pernah berfikir bahwa nyari uang itu susah. Maafkan adikmu ini, Kak!
* * *
Rabu pagi, 1 Desember2004
Bismillah. Pasti ada hikmahnya di balik semua ini. Beberapa bulan aku menjadi wartawan magang, aku mendapatkan banyak pengalaman. Paling tidak aku belajar sabar, istiqomah, dan tawakal menatap masa depan.
Seperti yang kuimpikan dulu, ternyata benar, profesi wartawan senantiasa dituntut kuat mental-fisik. Tambah satu lagi, kuat daya refleksinya yang berhubungan dengan kesadaran hidup. Mentalitas wartawan mau tak mau memang harus tahan uji, tak gila kehormatan, memiliki daya reaksi yang tinggi dan cepat tanggap. Dicemooh, dikebiri, dihina harus tetap tegar. Tak gampang patah.
Jargon yang selama ini digaungkan seorang wartawan adalah “Aku lokomotif perubahan masyarakat. Tinta yang kutorehkan adalah nilai juangku”. Idealis sekali kan?! Tapi itu bagi yang sadar akan arti menulis. Bagi yang tidak, mungkin profesi wartawan tak ubahnya kuli-kuli atau babu dari majikan pemilik modal. Yang bekerja merangkai kata menjadi kalimat sekedar untuk mengais mahluk bernama duwit. Bahkan profesi wartawan bagi mereka adalah pekerjaan yang menjengkelkan, menjemukan, meletihkan.
Mereka tak sedikit pun menikmati jerih payahnya sendiri sebagai bagian dari proses menuju pencerahan dengan menorehkan kata-kata. Kata-kata yang mereka lahirkan bukan dari kedalaman hatinya, bukan lahir dari ruang gelisahnya, juga bukan dari tujuannya. Kata-kata yang mereka lahirkan dan menyebar serta menjadi santapan manusia, mereka paksakan demi mengejar deadline. Dan mereka benar-benar telah menjadi robot yang digerakkan oleh kapital. Mereka tak mengerti, bahwa kata-kata mampu menggerakkan emosi? Mampu menggulingkan tahta? Bahkan mampu membunuh nyawa. Kata adalah senjata ampuh manusia! Kekuatannya melebihi satu batalyon tentara, karena ia mampu merajut peristiwa masa silam dan menjadi ibroh bagi generasi lanjut.
Jangan heran, jika kemarin saat dibuka pendaftaran CPNS, banyak wartawan yang meski sudah senior pun, ramai-ramai ingin ikut tes itu. Mereka diam-diam ingin beralih profesi yang bisa bikin nyenyak tidur. Tapi, “Sstt...jangan bilang-bilang! Ntar ketahuan atasan. Bisa dipecat saya,” celetuk salah satu wartawan yang sempat terdengar. Rupanya mereka tak ingin aksinya itu tercium. Bisa mengurangi kredibilitas. Dan loyalitasnya bisa diragukan. Iya kalau tes CPNS nya lolos. Kalau tidak?! Matilah kau!
Pertama kali aku meliput, langsung diminta untuk menulis gaya faeture. Sebuah tulisan khas yang melibatkan ketajaman pengamatan, kepekaaan emosional dan kekayaan
kosakata. Awal mulanya aku sempat minder, karena rubrik yang kugarap itu bukan koran utamanya, tapi tabloid yang terbit seminggu sekali. Tema-temannya seputar keagamaan. Dan jika ditanya narasumber tentang desk yang kupegang, aku menjawab ringan, “Bagian mingguan!”
Kini setelah aku dilempar di desk kriminal, baru kusadari arti pentingnya menulis feature. Tahu sendiri kan, desk yang identik dengan kekerasan, keculasan, intrik kotor, manipulasi, penyelewengan, dan segala hal yang menjauhkan dari cinta itu, bentuk tulisannya benar-benar sangat dibatasi; straigh news, begitulah bentuk tulisannya. Lurus-lurus. Tak ada pengembangan cerita dan kosakata. Meski demikian tetap juga ada sisi positif yang kudapat. Aku jadi sedikit mengerti beberapa istilah dalam pengadilan. Siapa itu JPU, bagaimana proses hukum terhadap terdakwa, apa yang memberatkan dan meringankan tuntutan, bagaimana perjalanan vonis dijatuhkan, dan istilah-istilah lain dalam dunia kriminal.
Ketika di desk kriminal, keseharianku selalu bertemu wajah-wajah suram yang meringkuk di balik jeruji penjara. Perasaan mereka berdebar-debar, menanti palu sang hakim diketok. Seberapa lamakah dirinya menjalani masa-masa sunyi di penjara? Meninggalkan anak dan keluarga? Meninggalkan sejuta rasa yang hancur berkeping-keping.
Ada seorang maling sepeda onthel, maling baju, maling HP, penipuan, sabu-sabu, hingga tuntutan si pacar yang kecewa lantaran pasangannya ternyata hanya memanfaatkan dirinya untuk diperas harta kekayaannnya. Wanita yang melajang itu semula sangat bahagia saat menemukan calon pendampingnya. Namun kini ia kembali gelisah di usianya yang menginjak di atas 25 tahun. Dan pacarnya itu nekad ia adukan ke pengadilan, agar diberi ganjaran setimpal karena ulahnya.
Ah, kau maling-maling kecil, yang harus menerima kepahitan akibat ulahmu. Kau hanyalah korban kekalahan dari sisitem di negeri ini. Mereka yang menjarah uang rakyat dengan cara sistemik, memanipulasi, melegalkan penggusuran demi pemodal, mengusir pedagang kaki lima yang katanya demi keindahan taman kota, yang main sogok kekuasaan, yang menghanguskan sektor informal sebenarnya adalah maling-maling kakap. Maling-maling yang berbaju kekuasaan. Maling-maling yang bertampang perlente. Sayang, hukum tak mampu menyentuhnya.
Ada yang membuatku sedikit kecewa di desk kriminal itu. Tulisan beritaku tak satupun dimuat, meski di kolom pojok secuil pun. Dan akibatnya berdampak buruk padaku. Aku jadi malas mengejar berita. Aku ingin cepat pindah di desk yang lain. Dengan redaktur kriminal saja, aku jarang ngobrol, meski untuk kepentingan evaluasi. Dan sepertinya memang sudah terbentang jarak antara aku dengannya. Redaktur itu namanya Anton. Hubunganku dengannya dari awal memang kurang familier. Kurang akrab. Terlalu struktural. Top-down. Lagian dia tampaknya terlalu senang menyibukkan diri. Jika tak salah, aku bicara dengannya hanya dua kali kesempatan. Saat masuk dan pamitan. Itu saja! Tak lebih.
Ah, biarlah...
* * *
Menjelang tidur, Rabu 1 Desember 2004
Dari ketujuh wartawan yang berproses, barangkali hanya Nadhirohlah yang bakal lolos menjadi wartawan di kota Bengawan itu. Dia seorang wanita periang. Tak kenal lelah. Disiplin tinggi. Patuh. Dan selalu berbuat untuk menyenangkan orang lain.
Jika sudah bicara, maka wanita asal Tegal ini tak kenal tanda koma dan titik. Tiap hari, tiap yang ia saksikan, yang ia rasakan, yang ia alami, selalu menjadi bahan cerita. Dan suasana akan selalu tampak gher-gherran.
Harapannya untuk lekas kerja, meluap-luap. Apalagi ia telah lulus kuliah dan bergelar sarjana sosial. Usianya pun melangkah di tahun ke 25. Bayang-bayang rumah tangga sudah di pelupuk matanya. Aku yakin, ia bakal lolos dalam seleksi menjadi wartawan di surat kabar ternama di kota itu.
Dari sekian teman-temanku yang kecewa, aku adalah salah satunya. Harapanku terlalu melangit mungkin. Padahal syarat untuk menjadi wartawan di sana harus mengantongi gelar sarjana dahulu. Aku sempat gelisah bercampur panik. Aku teringat ibu-bapakku yang terlalu berharap padaku agar bisa bekerja di sana. Teringat pula kakak sulungku yang telah susah payah mencarikanku sepeda motor dengan harapan agar aku tak terlalu kerepotan dalam memburu berita nanti. Begitu pula, Indani...
Aku mencoba meredam gejolak hati yang dirundung gelisah beberapa hari itu. Seiring dengan merambatnya waktu, alhamdulillah aku mampu menghadirkan rasa syukur. Syukur yang teramat dalam. Kenapa aku masih bisa menyapa-Nya di tengah kerasnya dunia kerja. Bisa menjelajah kota Solo. Mengais pengalaman dengan menjadi wartawan kecengan. Dan yang membahagiakan, aku mempunyai keluarga baru di Solo.
Adalah Sarinem, seorang ibu yang teramat baik dan sabar. Usianya sekitar 50-an. Bersamanya aku merasakan orang tua kedua. Saben hari ia yang memberiku perhatian. Membangunkan, menyiapkan secangkir teh poci panas, menyiapkan makan pagi, siang dan malam. Ah, Ibu, kebaikanmu tak akan pernah terhapus dari ingatanku.
Kemarin, setelah uneg-unegku itu kusampaikan kepada Indani, aku merasa sedikit tenang, meski cita-cita meraih pekerjaan itu akhirnya memang tetap kandas juga. Sebuah cita-cita yang sebenarnya menjadi alasan utamaku untuk lekas mengakhiri masa penantian Indani, yakni hidup bersama-seatap. Tapi yang membuatku semakin tenang adalah sikap Indani yang dewasa, sareh, sumeleh. Malah dia memberiku semangat baru agar aku tak terlalu meresahkan urusan pekerjaan itu. “Mungkin memang belum rezekinya, Mas,” nasehatnya malam itu.
Aku sungguh tak tahu, rahasia apa yang bersembunyi di balik kenyataan ini? Tak bisa mengikuti tes menjadi wartawan, impian menjemput Indani kembali kandas, dan sekarang kondisi keuangan di rumah lagi seret.
Kemarin siang, sehari setelah kukirim sms, kakak sulungku kirim pesan kepadaku, “Dik, uang dah kutransfer 400 rb. Tlong, jk tdk terll pnting jgn dkeluarkn. Bulan-bulan ini pngeluaran bnyk, tp pmasukan sdkit.” SMS itu benar-benar telah mencambukku.
Gusti, bagaimana nasibku bulan-bulan dan tahun-tahun mendatang?
Allahku, kokohkan keyakinan hamba-Mu ini. Hamba tak bermaksud meragukan kekuasaan-Mu.
* * *


No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates