Monday, April 7, 2008

catatan dari sudut kampus II


--DUA--
Sabtu, 5 November 2005
“...Aku masih ingin tali silaturahmi kita tetap terjalin. Lebaran ini, jika tak keberatan aku akan menunggumu di rumah.”
Pengirim:
+6281556282xx
5 Februari 2005
07:15:13
Goresan penaku detik ini adalah momentum; apakah kisah nyleneh di dusun Mbatokan beberapa hari lalu akan kuabadikan terlebih dahulu? Ataukah 5 November ini? Tanggal yang menyeretku dalam kisah duka dan sunyi.
Jika siang ini, sepotong sms yang masuk ke HPku mengawali catatan harianku, aku benar-benar takut. Takut terhanyut oleh kisah beberapa tahun silam itu. Sebuah kisah kepedihan yang mengurungku dalam duka nestapa. Sementara beberapa ke’arifan hidup yang melintas di hadapan mataku telah menanti…
“Apa yang bisa kau lakukan sebagai seorang wartawan, seorang pengukir sejarah ketika menyaksikan setiap jengkal peristiwa haru?!” kata Cak Udin beberapa hari lalu di kebun kearifan, tepi Kali Brantas, Kediri.
Aku tersentak, kaget! “Bukankah itu jalan spiritual yang dibentangkan buatku?”
Sekarang, pilihan menantiku; mengabadikan setiap jengkal peristiwa berharga sebagai jalan spiritualku? atau aku terhanyut dalam nestapa tiga tahun silam. Dalam SMS siang ini. Dari seseorang yang telah menggoreskan luka di hatiku. Yang membuatku meradang lama…
“Ntar jika aku sudah bisa berdamai dengan masa laluku, aku pasti ke sana. Kita pasti berbincang-bincang lagi yang seru.” Demikian bunyi SMS balasanku.
* * *
Peristiwa pilu itu terjadi beberapa tahun silam. Seorang gadis, putih bersih rupanya. Matanya sedikit sayup, namun memancarkan sinar keteduhan. Siapa sangka, sore itu adalah kelabu. Di sebuah ruang tamu yang beku, dia duduk terpaku. Pandangan tertunduk. Seorang lelaki diam tepat di depannya. Hanya bertaut meja kecil dan vas bunga. Lama mereka terdiam. Menunggu ucap yang keluar dari salah satu mulut mereka.
“Mas, aku mohon. Mulai sekarang jangan kesini lagi, ya? Di antara kita sudah tak ada apa-apa lagi. Aku ingin konsentrasi kuliah. Maafkan atas keputusanku ini.” Suara gadis itu memecah keheningan. Terdengar terbata-bata. Matanya berkaca-kaca.
Lelaki itu hanya mampu menahan, sambil menarik nafas dalam. Berhambur keluarlah ia, meninggalkan puing-puing kehancuran. Ia tak kuasa membendung genangan air mata yang mendadak tumpah. Lelaki itu adalah Areta. Aku!
* * *
23 Juni 2003
Aku kalut. Sehari, setelah tragedi Sabtu kelabu itu memecah lumbung air mataku, aku mengurung diri dalam kamar pengap. Menertawakan kebodohanku. Bodoh, kenapa aku berharap lebih kepadanya. Kepada seorang yang tak menghiraukanku. Yang menganggapku ABG berbau kencur. Lulus SMA kemarin sore. Tak punya kejelasan masa depan.
Mungkin dia memang tak salah, jika selalu bersikap baik kepada mereka yang mengaku mahasiswa akhir. Yang kuliah di kampus bergengsi. Yang ijazahnya laku di dunia kerja. Yang menjanjikan masa depan cerah. Yang siap segera menjemputnya. Membahagiakannya. Dan memberinya harta dan anak! Ya, sekali lagi dia memang tak salah.
Pada sesobek kertas, kusapukan penaku. Aku berusaha tetap tersenyum. Tetap rasional. Tak menyembunyikan kecewa. Meski dengan kalimat tertahan, kutuangkan juga rasa dongkolku itu. Lalu kutitipkan kepada teman kelasnya;
Gadis itu bernama Iffah. Artinya orang yang selalu menjaga kesucian jiwa. Ia sangat “baik”. Dan selalu memancarkan kebaikan kepada siapapun. Aku—Areta yang merasa bertepuk sebelah tangan, berharap semoga kebajikan yang selalu ia tebarkan mampu meraih kecintaan Ilahi. Bukan kecemburuan Ilahi.
* * *
Dalam gelapnya hati, lamat-lamat puisinya Gus Mus hadir di benakku dan menghiburku:
Aku datang dan pergi
Berharap dan kecewa
Datang, pergi
berharap dan kecewa…
Ah, tapi biarlah

Biarlah kebersamaan kita senantiasa demikian
Abadi.
Tak pernah aku impikan
Betapa beratnya menundukkan hatimu
Lama sudah ku menunggu
Seutas harapan tulus cintamu
Takkan kutemui wanita sepertimu
Takkan kudapati rasa cinta ini
Jujur kukatakan: “Aku masih mencintaimu.”
Aku tersenyum sendiri membaca bunyi kalimat terakhir itu. Sebuah kalimat yang jika kuturuti pasti akan menerbitkan kembali harapanku.
* * *
25 Juni 2003
…pada sebuah makam. Kala malam menabur sunyi, kubaca mantra yang pernah ditulis Emha Ainun Nadjib;
...dan ternyata hanya sunyi
yang mengajari kita untuk tak mendua hati.
Tuhanku yang maha hening
Kupilih sepi
Sepi yang sunyi
Maupun sepi dalam ramai
Sepi rahasia-Mu
Yang mengandung
Semesta ruang dan waktu
Tak penuh oleh keributan jagad seribu

Tuhanku
Aku ingin agar tak ingin
Sebab di antara seribu keinginan
Hanya satu yang sejati
Engkau !
[Di sebuah tanah makam]
* * *
Sabtu, 28 Juni 2003
Ada kesan mengejutkan saat aku menelpon ke Malang. Waktu itu dia benar-benar tampak ceria, tak menyembunyikan kesedihan sedikitpun. Dia sangat berhasrat untuk masuk ke perguruan tinggi bergengsi di kota apel itu.
“Do’akan ya, Mas!” pintanya.
Percakapanku dengannya pagi itu bak seorang kawan akrab. Tak mengesankan usai perang batin. Dan di antara aku dengannya memang seolah “tak pernah ada apa-apa”, seperti yang ia katakan padaku kemarin.
Aku semakin sadar, jurang pemisah antara aku dengannya terlalu lebar. Tak mungkin terjembatani. Dia berjalan menuju gerlapnya dunia. Aku memunggungi dunia. Semoga saja, hatiku tak goyah pendirian. Begitulah “hawa”, orientasinya pragmatis, namun daya tariknya kuat.
* * *
4 Juli 2003
Sebelum berangkat ke Jogja, sore itu aku sempatkan diri mampir ke rumahnya. Sekedar pamitan. Dia dan kakaknya terlihat di teras depan rumah. Aku pun memasuki pelataran rumahnya. Dia tampak terkejut melihat kedatanganku.
“Mas Areta!” katanya dengan berbinar-binar.
Waktu itu kelihatan nyata olehku, mukanya yang kemerah-merahan, karena ceria. Nampak, seolah ia sangat gembira melihat kedatanganku. Cepat-cepat ia berlari kecil membukakkan pintu ruang tamu. Aku tak bisa gambarkan dan tuturkan bagaimana ia sangat gembira. Wajahnya yang putih bersih terus memancarkan senyum keceriaan.
Memang sejak peristiwa sore kelabu itu terjadi, aku nyaris tak pernah ke rumahnya. Kami tak pernah bertatap muka. Hanya sekali aku menelponnya, itu pun dengan memikul rasa malu yang kutahan-tahan.
“Sudah lama benar Mas Areta tak datang kemari. Saya kira Mas sudah melupakanku,” katanya.
“Jangan-jangan malah engkau yang sudah melupakanku,” gurauku. Ia tertunduk senyum. Sesaat kemudian ia mengangkat pandangnnya.
“Memangnya Mas Areta mau kemana sekarang?” tanyanya penuh penasaran. Aku diam sejenak, tak langsung menjawab.
“Aku…mau pulang ke Jogja,”
“Pulang ke Jogja!” ia terperanjat setengah tak percaya.
“Secepat itu!” lanjutnya.
Aku hanya menganggukan kepala. Dan terlihatlah kemurungan dan kekecewaan menyelimuti wajahnya.
“Maafkan aku. Ini sudah menjadi keputusanku,” kataku membatin. Aku tak tahu, kenapa hatiku sangat lemah. Pertemuanku itu kembali menerbitkan harapanku. Dan kurasa petuah Gus Mus kemarin terus terngiang; “Aku masih mencintaimu.” Ah, bodoh sekali aku!
[Sepucuk surat menjelang keberangkatanku ke kota Gudeg]
Untuk ‘Iffah yang berhasrat ke UNAIR.
Harapanku, kelak bila telah tercapai cita dan asa
atau telah menjadi orang ’besar’,
agar tak melupakan orang-orang kecil.
Ini sekedar harapan, bukan permintaan.
Jaga diri baik-baik.
Innalaaha ma’ana
Aku yang memang sudah keracunan pikiran-pikiran berbau komunis, akhirnya kububuhkan sabda dedengkotnya kaum kiri termasyhur, Karl Mark. Maksudku sebenarnya hanya ingin menonjok mahasiswa-mahasiswa seniornya itu.
“Hakikat sebuah pendidikan adalah untuk membebaskan manusia dari ketergantungan pada berhala materialisme. Bukan hanya menjadi robot-robot kapitalis” – Karl Mark—
NB:
-Kalau boleh Areta memohon; ada baiknya surat-surat dari Areta disimpan. Areta yakin, masih ada yang lebih berharga yang dapat kau miliki; “kesadaran dan keyakinanmu”.
-Cukuplah Allah sebagai saksi kita.
* * *
Senin, 21 Juli 2003
Semenjak sowanku ke rumahnya awal Juli itu, kini dia semakin dekat di hati. Aku tak tahu, kenapa aku masih berharap padanya. Rupanya kebaikan-kebaikannya selama ini, telah membuatku tak berdaya. Aku kalah.
* * *
Cinta itu kerap kali berupa putus harapan, takut, cemburu, iba hati, dan kadang-kadang berani. [Hamka]
* * *
Selasa, 22 Juli 2003
Ia yang terus hinggap di jiwaku… Aku semakin tak berdaya untuk menjauhinya. Walau jauh dari pandangan, namun dia sangat dekat di hati. Sangat dekat sekali. Aku dapat merasakan untaian do’a-do’anya yang terbang ke Jogja.
Ah, Iffah…! Moga damai selalu menyertaimu.
Tuhan selalu bersama kita.
[Dari Jogja kukirim kepadanya buku “jiwa-jiwa pecinta” karya Arini Hidajati]
* * *
Selasa pagi, 29 Juli 2003
[Dia menelponku ke Jogja]
Ia amat manja pagi itu. Pesan terakhirnya, “Udah ya Mas. Nanti disambung lagi. Jaga diri baik-baik. Wassalamu’alaikum!”
* * *
6 Agustus 2003
[Kala sepi mengurung diri, aku bercakap dengan kesunyian batinku]
Areta…
Engkau terlahir bukan untuk bersenang-senang dengan fantastisnya dunia
Engkau hidup dalam lingkaran orang-orang kecil, pahit, dha’if, faqir…
Areta…
Engkau musti berani tampil apa adanya
Engkau musti yakin pada dirimu sendiri
Pegang erat tali keyakinanmu
Jangan sekali-kali membohongi diri
Jangan pula berkecil hati
Selain Tuhan adalah kecil
Tuhan senantiasa bersamamu Areta
….
Selamat tinggal dunia fatamorgana!
[pukul 22.30, penjara suci Jogja]
* * *
8 Agustus 2003
Hari demi hari serasa membangun kembali kerinduan. Ternyata, Jogja-Malang bukanlah jarak yang menjauhkan hatiku. Keceriaannya, perhatiannya, seolah meluruhkan kebencianku. Aku semakin ragu dengan keputusannya di senja kelabu itu. Aku masih kurang percaya dengan ultimatum itu. Aku ingin mengetahui perasaan yang sebenarnya.
Sepucuk surat kukirim ke Malang:
Assalamu’alaikum, wr.wb.
Iffah, bagaimana keluarga di rumah. Sehat dan baik selalu kan? Areta harap demikian terus. Di Jogja juga demikian. Ia masih seperti yang dulu, meski sedikit labil emosinya. [Di sini aku belum bisa beradaptasi dengan kondisi sosialnya]
Iffah, jika biasanya surat Al-Fatihah yang kukirim sebagai do’a, kali ini Areta mohon maaf karena telah merepotkan Iffah: menumpuk-numpuk kertas-kertas kurang bermanfaat ini.
Iffah…
Areta ingin menyampaikan sesuatu, mengajukan sebuah pertanyaan.
[sekali lagi minta maaf. Areta berharap Iffah tak surut hati dan tersinggung]:
“Iffah, benarkah engkau sudah tak mengharapkan kehadiran Areta?”
…................................................................................................
Iffah.....aku sangat berharap jawabanmu. Jawaban yang jujur dan terbuka. Sekali lagi, Areta minta maaf. Mungkin pertanyaan ini memang kurang sopan.
Semoga kita dianugerahi ketegaran melangkah di lorong sunyi-Nya dan dijauhkan dari segala bentuk kemunafikan.
Wassalamu’alaikum, Wr.Wb.
* * *
10 Agustus 2003
[Masa-masa penantian…]
Bersama “Di Bawah Lindungan Ka’bah” dan “Tenggelamnya Kapal Vander Wick”, aku menanti jawaban darinya. Dua novel cinta, kemanusiaan, dan kesetiaan itulah yang menemaniku. Novel yang mengharu-biru, memilukan, dan telah menguras air mataku.
* * *
13 Agustus 2003
Aku heran, tiba-tiba hatiku hari ini terasa lapang dan terang. Dengan ikhlas aku rela melepas “rasa” berharapku padanya. Aku tak tahu, kenapa setelah kukirim surat-surat itu, aku menjadi belas kasihan kepadanya. Aku iba, merasa bersalah karena telah menuntutnya.
Kini, aku merasakan cinta yang tulus, qudus dan murni. Bukan karena dorongan
ingin memiliki atau hasrat ingin mendapat sambut bergayung. Baru kali ini aku merasakan ia sebagai seorang yang menjadi tumpahan kasih sayangku. Ah, sampai kapan rasa ini terus bertahan. Semoga sampai akhir hayatku.
* * *
16 Agustus 2003
Di maqam Sunan Geseng, jiwaku luluh lantak saat kalimat “Lailahaillallah” itu menguasaiku. Rasa kepasrahan total dan roja’ telah memaksaku untuk menumpahkan air mata di haribaan-Nya. Ah, begitu syahdunya bermesraan dengan Tuhan. Genangan air mata yang meleleh dari kedua bola mataku, laksana embun pagi. Menambah khusyu’ munajahku.
Aku menginsyafi bahwa egoislah sebenarnya musuhku.
Astaghfirullah…
Duh Gusti…kasihanilah diri ini
Curahkan karunia-Mu padaku
Jadikan hamba seperti hamba-Mu yang selalu mendekat pada-Mu.
* * *
7 September 2003
Lewat telpon, pagi itu ia menangis. Ia rupanya tak mampu mengungkapkan rasa hati yang mengendap lama itu. Ia hanya terdiam. Tak mampu menjawab.
“Iffah, tolong bicaralah. Sampaikan apa yang ada dalam perasaanmu. Aku siap menerima.” Tapi, ia hanya terdiam. Dan itulah jawaban darinya: diam.
* * *
Wanita tak boleh menampilkan kewanitaannya. Yang boleh ditampilkan adalah jiwa kepemimpinannya, intelektualitasnya, prestasinya, dan fungsi sosialnya, bukan kewanitaannya. Jika anda pacaran, maka berpacaranlah dengan cara silaturahmi intelektual, atau ruhaniah. [Emha Ainun Nadjib]
* * *
Serambi Masjid, 19 September 2003
Siapa yang mengetahui dalamnya jiwa manusia? Siapa yang mampu menyelami isi hatinya? Penampakan lahiriah, gemerisik suara, dan kabar, tak akan mampu melukiskan perasaan yang sejati. Aku yaqin itu.
Meski dia sudah tak mengharapkan kehadiranku, namun aku percaya bahwa surat-surat yang kuberikan itu cukup untuk sekedar tak melupakanku. Aku berusaha untuk tak sakit hati, kecewa, dan berkecil hati.
* * *
Jika kau tak dapat menjadi pohon Meranti di puncak bukit, jadilah pohon semak belukar di lembah yang teranggun di sisi bukit. Jadilah dirimu sendiri yang
terbaik.
[ Dougles Mullock]
* * *
Selasa, 23 September 2003
…dan ternyata aku tak mampu bertahan dalam keistiqomahan. Begitu banyaknya onak dan duri yang menghadangku. Tolonglah hamba ini Tuhanku.
* * *
Senin, 29 September 2003
Senin hari ini aku bersyukur. Aku lulus puasa, meski waktuku di siang yang terik itu terbuang di serambi masjid kampus. Aku terlelap dalam pembaringan. Kurasakan tubuhku sangat lemas. Tak kuasa bangun. Bahkan kala sayup-sayup adzan Ashar terdengar, rasa malas masih terus merayuku. Mengajakku agar tak lekas bangun lalu beranjak menuruni tangga dan mengambil air wudhu. Sholat Dhuhurku pun akhirnya kutegakkan pukul 15.00 WIB, kurapal jadi satu dengan Ashar. Ironis!
Sungguh tak bisa kubayangkan bagaimana keadaanku di siang itu. Seperti orang gila yang terlantar, aku tergolek lemah menahan rasa lapar yang menyerang lambungku. Yang membuatku tambah heran, kenapa di saat puluhan mahasiswa yang lagi sholat dan berlalu lalang, aku malah tertidur pulas di tengah-tengah mereka. Mereka yang mengetahui bahwa yang tertidur pulas itu aku, mungkin akan mengernyitkan kening. Lantas tersenyum sambil bergumam, “Areta…Areta…!”.
Terima kasih maulana Rumi. Syair-syairmu telah menggelorakan jihad akbarku.
Kini saatnya genderang perang Akbar ditabuh!
Potong leher nafs dengan lapar!
Singkirkan amarah!
Rasa manis yang tersembunyi
ditemukan di dalam perut yang kosong ini!
Ketika perut kecapi telah terisi,
Ia tidak dapat bersuara dengan nada rendah ataupun tinggi.
Jika otak dan perutmu terbakar karena puasa,
Api mereka akan terus mengeluarkan ratapan dari dalam dadamu.
Melalui api itu, setiap waktu kau akan membakar seratus tabir
Kau akan mendaki seribu derajat di atas Jalan dan di dalam hasratmu.
Kosongkan perutmu!
Merataplah seperti sebuah kecapi
Dan sampaikan keinginannmu pada Tuhan!
Kosongkan perutmu dan bicaralah tentang misteri-misteri bagai ilalang.
Petang, selepas Magrib itu aku terkejut. Di kamar 13 sebelah kamarku, kutemukan sesobek kertas yang tertanda tangan bertuliskan “Iffah”. Aku bertanya penuh keheranan. Bagaimana mungkin surat dari Malang sampai ke pesantrenku tanpa aku mengetahuinya. Di kertas yang sudah sobek-sobek itu tertoreh tulisan puitis. Aku menduga kuat bahwa surat itu tulisan adalah tulisan dia, Iffah. Tapi mungkinkah dia mengirimku surat? Lalu kenapa sampai terlantarkan di pojok kamar dengan kondisi yang kusut? Apakah ini ulah santri pondok yang sengaja tak mengasihkan surat itu padaku?
Aku bertanya seorang temanku, Al-Ghozali, namun ia merasa tak mendapat surat dari pak pos. Ia hanya menerima surat dari penerbit buku Qolam untuk Zuhri. Kutanyakan lagi kepada Said, tapi ia nyarankan untuk menelpon saja ke Malang, menanyakan apakah Iffah benar-benar mengirim surat ke Jogja.
Hatiku benar-benar gusar malam ini. Besok pagi aku akan mengikuti saran Said. Menanyakan apakah dia benar-benar telah menjawab suratku. Ada keyakinan dalam hatiku bahwa surat itu dari Iffah. Pertama, tulisan tangan yang tertera di surat ini memiliki karakter tulisan seorang wanita. Kedua, pilihan kata-katanya seperti yang diambil dari suratku dengan maksud sebagai sikap respeknya kepadaku. Terakhir, meski dalam bentuk puisi, aku mengerti bahwa itu lukisan jiwaku selama ini yang tengah diuji untuk tak bertemu dengannya.
Pada halaman pertama dalam surat itu berjudul “Sebuah Pilihan”:
…kini saatnya kau menentukan pilihan
Atau seperti air yang terus mengalir sepanjang hari
Sesungguhnya pilihan itu ada padamu.
Pada halaman kedua berjudul “Cinta Sejati”:
…cinta yang membuat kita tulus mengabdi hanya kepada sang Ilahi.
Aku sangat berharap, surat itu datang dari seorang yang benar-benar aku tunggu: Iffah. Semoga…
Sampai detik ini, pukul 24.00 WIB, aku masih setia dengan catatan harianku. Malam ini aku terus membayangkan bahwa sobekan kertas yang berisi puisi itu adalah surat dari iffah. Sebuah ungkapan hatinya atas permintaanku untuk berbicara secara jujur dan terbuka.
Sudah dua bulan ini surat yang kutulis dan kukirim ke Malang itu berlalu. Aku yakin dia tak setega itu membiarkan surat-surat yang kukirim dibiarkan tanpa apresiasi. Ia juga manusia yang memiliki perasaan.
Ah, aku sudah tak sabar menanti datangnya subuh. Aku ingin segera menelponnya esok hari. Pagi-pagi sekali. Usai sembahyang subuh besok, aku akan bergegas ke wartel.
* * *
Selasa pagi, 30 September 2003
Menara yang kuimpikan itu, kini luluh lantak. Tak membekas satupun. Alhasil, dia tak pernah mengirim surat ke Jogja. Bahkan tak terbetik di hatinya sedikitpun untuk membalas surat-suratku. Salah ternyata anggapanku kepadamu.
Engkau yang selama ini kuanggap sebagai wanita yang memiliki kesetiaan dan menghargaiku, kini pupuslah sudah. Kini hanya puing-puing kenangan yang tersisa.
* * *
Selasa petang, 30 September 2003
Selepas Maghrib ini, seperti biasa, aku berada di lantai paling atas, beratap langit, berlampu sinar bintang-rembulan dan berteman sepi. Aku mencoba untuk khusyu’ berdo’a.
Ya Allah, kukuhkan pendirianku agar tak goncang dihantam badai.
Karuniakan kepadaku jiwa yang istiqomah.
Amin...
Tentang urusanku dengan seorang yang terus mengusik batinku, sepertinya tak perlu kuberikan ruang terlalu luas. Hanya akan menambah duka nestapa dan bikin mendung hati. Biasa saja. Dunia memang seperti ini. Situasi jiwa manusia; gembira, bingung, duka-derita, memiliki ruang dan waktunya sendiri. Untuk apa memberi ruang dan waktu sedemikian luas kepada rasa duka. Masukilah ruang dan waktu. Habiskan untuk sesuatu hal yang diinginkan-Nya. Jangan beri tempat dan kesempatan kepada rasa sengsara. Pakailah waktu untuk menyelesesaikan masalah bukan untuk meratapinya. Masih ada cita-cita yang terus menggantung, dan harus kugapai. Cita-cita itu adalah perubahan sosial. Aku musti melangkah ke sana. Harus!
* * *
1 Oktober 2003
Ha...ha...ha...!! Tiba-tiba saja hatiku tertawa riang ketika kakiku melangkah menuju aula II. Aku rupanya tak betah diserang kemurungan yang tak menemukan ujung pangkalnya ini. Ya, tertawa adalah obat mujarabnya. Mungkin semacam katarsis. Boleh jadi perilaku aneh dan liar ini adalah ilham Tuhan setelah beberapa hari ini hatiku dilanda kemurungan. Aku merasakan sekelebat cahaya yang menyambar hatiku.
Gejala tersenyum dan tertawa seorang diri adalah suatu bentuk sikap peregangan, manakala kebisuan, kebekuan, dan kejumudan semakin membuatku tenggelam. Segala persoalan jika telah mencapai titik kulminasi, kenapa harus kudramatisir dan larut dalam kekalutan. Kesedihan hanya akan semakin menyiksa batin. Lupakan! Minggat kau dariku!
Hidup memang seperti roda. Silih berganti. Masalah bukan untuk kuhindari. Bukan pula obyek yang final dan tunggal. Ia ada karena jelmaan Tuhan. Masalah lahir untuk dipelajari, digeluti, dan ladang dalam menemukan nilai-nilai kearifan. Sukses dan gagal telah menyatu dalam tempayan kearifan. Semua ada sisi hikmahnya.Tugasku adalah berikhtiar dalam rambu-rambu-Nya. Dan puncaknya ialah memasrahkan dengan legowo, taslim, dan hati yang sumeleh di pangkuan-Nya. Maka tertawalah kau! Ha...ha...ha...!!
Aku berjanji, apapun nada surat yang kau kirimkan padaku kelak, aku tak akan kecewa dan larut dalam kepedihan. Aku akan tetap tertawa ha...ha...ha...!!
* * *
Dini hari, 02.27. Senin, 6 Oktober 2003
Hari ini, surat dari Iffah telah tiba di padepokanku. Seperti yang kuduga, surat itu bernada getir !
Di tengah reruntuhan perasaan, aku menyumpah-serapahi diri. Dan benar, ternyata aku memang lelaki tolol!
Masihkah ada yang namanya kesetiaan?
Jika tidak ada, apakah aku termasuk orang yang gila?
Kenapa aku harus dirundung kegalauan karena memikirkanmu?
Sementara di hatimu, sedikitpun tak terbetik untuk memikirkan dan menghargai kesetiaanku?
Yang aku harapkan, engkau tak semudah itu melupakan seorang yang tak mampu melupakanmu.
Atau buatlah agar ia tak selalu murung.
Sayang, hingga detik ini aku masih juga tak mampu mengenalmu.
Sementara hatiku sudah terlanjur tertambat padamu.
[Aku yang saat ini ditemani tembang Ebiet G Ade]
* * *
8 Oktober 2003
Rabu pagi ini, kakakku menelpon ke Jogja. Ia menyampaikan pesan dari ibu. Katanya selama dua hari berturut-turut ini, ibu memimpikanku. Ah, ibu aku merindukanmu. Aku ingin tidur pangkuanmu. Ingin belaian kasih sayangmu.
Aku juga lega mendengar penuturan kakakku yang merelakan kepergian sepeda motornya. Sepekan lalu motor yang masih baru dibelinya itu raib dicuri maling.
Lagi, tentang Iffah. Aku akan berusaha untuk melupakannya. Selamanya!
* * *
Malam Ahad, 10 Oktober 2003
Mengapa bayang-bayang wajahnya senantiasa hadir dalam kesendirianku? Ebiet mungkin benar, “Mengapa dadaku mesti berguncang, bila kusebutkan namamu. Sedang kau diciptakan bukanlah untukku.”
Niatanku untuk tak bertegur sapa, meski lewat tulisan ternyata sangat berat kurasa. Tekadku untuk tak lagi mengingat namanya ternyata berujung kegagalan. Aku kalah untuk yang kesekian kalinya.
Cerita bermula saat saudara kemenakannya menemuiku malam itu. Namanya Fauzi. Ia kenal denganku saat aku masih duduk di bangku SLTA. Dan sejak kepergianku ke Jogja, kami nyaris tak pernah ketemu.
Fauzi bercerita banyak tentang keadaan Iffah. Tentang keluarganya, tentang studinya, tentang masa kecilnya, tentang ah....[ kembali gelisah dan tak tenang perasaanku].
“Mas, kemarin aku dimarahi Iffah, gara-gara aku tak mengajak Mas mampir ke rumahnya,” kata Fauzi malam itu.
Seperti petir yang menyambar ubun-ubun kepalaku, nama Iffah itu kembali menyentakku. Pikiranku semakin tak konsentrasi. Aku tak manangkap lagi apa yang dibicarakan Fauzi. Ingatanku larut dalam bayang-bayang Iffah. Aku kembali gelisah. Perasaanku mulai tak tenang. Dan aku luruh dalam duka masa silam. Kenapa setiap orang, tulisan, dan ucapan yang menyebut nama Iffah, selalu menerbitkan harapanku sekaligus kekecewaanku?
Hari itu juga, dengan kepedihan yang terisak kukirim kartu lebaran kepada Iffah. Tepatrnya sehari menjelang perayaan Idul Fitri:
Berat sekali terasa olehku, untuk tak bersua lagi denganmu. Maka inilah
beberapa baris tulisan dariku sebagai ungkapan ‘rasa’ yang masih terpendam itu:
“jaálnallahu waiyyakum minal ’aizin wal faizin”
Met Lebaran!
Maafkan segala khilafku lahir-batin. Dunia hatta akhirat. Tak terkecuali surat ini, yang mungkin engkau sudah muak dengan kehadirannya. Sekali lagi mohon maaf.
NB: -Jika tak keberatan, Areta minta tolong sampaikan salam takdzimku pada Ibu dan kakak-kakakmu.
-Ternyata hanya kesunyian yang mengajari kita untuk tak mendua, Iffah.
* * *
11 Oktober 2003
Aku sangat berharap, semoga mampu mengikhlaskannya.
* * *
Rabu, 3 Desember 2003
Seharian penuh waktuku hari ini kuhabiskan ke tokoh-tokoh kiai daerah Jombang. Aku bersama kawan-kawan dan sebagiannya bapak-bapak. Di kendaraan pick up berkapasitas 10 orang-an itu, aku mencari obat pelipur lara. Obat yang mampu mengembalikan kondisi batinku menjadi normal setelah sekian hari penyakit gundahku kambuh.
Dia yang kini sudah tak mengingatku lagi, ternyata bayangannya terus hadir dalam setiap heningku. Lekat dalam ingatanku. Dan setiap hari, batinku terus dalam kemurungan dan kekalutan, kala bayangannya sekelebatan melintas. Hari-hariku belum beranjak dari masa suram.
Aku tak tahu kenapa diri ini terus-menerus larut dalam kedukaan. Sungguh! akal sehatku selalu berontak dan bertekad untuk melupakan nama Iffah dari ingatanku. Selamanya! Ya selamanya, jika aku ingin kondisiku kembali normal seperti sediakala. Ah, kenapa tragedi memilukan itu mesti menimpaku..
Alhamdulillah, saat sowan di ndalemnya Kiai tepi sungai Brantas itu, jiwaku tiba-tiba tercerahkan. Nasehat-nasehat yang meluncur dari Kiai itu menembus dinding kalbuku. Seperti bulir embun pagi yang menyejukkan jiwa yang tandus, petuah-petuah Pak Kiai itu terasa sekali muatan spiritualnya. Kedalaman tauhidnya dan kebersahajaan bicaranya membuatku kembali dalam kekhusyu’an. Saat itu aku larut dalam khouf dan roja’. Dari kedalaman hati, aku merintih:
Tuhanku, aku ingin selalu damai dengan-Mu.
Aku ingin bersama-Mu selamanya...
Tanpa terasa, kedua bola mataku berkaca-kaca dan melinangkan bening air mata. Kurasakan hatiku sejuk dan tentram seperti terselimuti salju. Gundah kelana yang bersarang di sudut-sudut batinku sirna seketika.
“Teruslah muroqobah dalam setiap jengkal waktu...” demikian petuah Pak Kiai
yang menggetarkan jiwaku dan terus terngiang di benakkku.
* * *
07.20 WIB. Kamis, 4 Desember 2003
Menjelang keberangkatanku ke Jogja, aku memberinya sebuah cindera mata sebagai tanda pisah.
Assalamu’alaikum wr.wb.
Iffah, kaset ini bukan berisi lagu-lagu. Hanya alunan musik instrument. Cukup untuk sekedar menemanimu kala kontemplasi atau belajar. Engkau tentu ingat Arini Hidajati kan? Pengarang buku Jiwa-Jiwa Pecinta itu. Konon, dulu saat ia melahirkan karya-karya sastra religiusnya banyak terilhami oleh musik Kitaro ini.
Ah, seandainya engkau berada di Jogja. Engkau pasti tahu lebih dekat siapa Arini itu. Ia adalah Rabiah Al-Adawiyah abad ini, persis sepertimu Iffah.
Kaset sederhana ini untukmu. Aku teringat kata-katamu saat aku berkunjung ke Malang kemarin. Engkau mengatakan bahwa engkau menyukai suasana hening dan sunyi. Kaset ini mungkin sangat pas buatmu, meski kaset ini tak baru dan tak original. Jika tak salah, kaset ini telah berusia setahun. Di Jogja, kaset ini biasa kuputar untuk menemaniku saat malam mulai menabur sunyi.
Aku berharap, kaset ini bisa membuat hatimu lebih tenang dan damai. Dan semoga melaui kaset ini pula inspirasimu terilhami darinya.
Terakhir kali, aku sangat berharap, engkau masih berkenan bertegur sapa. Atau jika tidak masih berkenan mengirim surat-surat pencerahan (Al-Fatihah) dan do’a penyejuk ke Jogja. Aku yakin dapat merasakan kebersamaan ini, jika engkau menyampaikannya dengan sepenuh hati.
Do’amu kunanti. Semoga kabut kemurungan, kesedihan dan kedukaan yang tiada ujung pangkalnya ini lekas sirna. Kita pun bisa bercanda tawa seperti dulu kala tanpa terselip kebimbangan perasaan. Dan aku pun bisa memperbarui semangatku yang telah surut kini. Juga tanggung jawab sosial dan tanggung jawab pribadiku yang terbengkalai dan tak terurus selama ini semoga lekas pulih. Yang juga tak kalah pentingnya, idealis yang dulu pernah kuikrarkan dalam hati semoga bisa menjelma jadi kenyataan.
Biarlah hari-hari yang berlalu dalam kesunyian ini membakar jiwaku untuk lebih matang. Dalam heningku, aku senantiasa munajah agar tak berkeluh kesah, berprasangka buruk apalagi sampai menyimpan bara api.
Do’a dan nasihat dari orang yang memiliki sifat keibuan akan senantiasa kunanti-nanti. Semoga engkau istiqomah menapaki lorong sunyi-Nya dan dianugerahi ketegaran jiwa. Amiin.
Wassalamu’alaikum, Wr.Wb.
* * *
5 Desember 2003
Tercerahkan. Dua hari terakhir ini, tengah malamku selalu bersimpuh, menangis kepasrahan di haribaan-Nya. Di sudut ruang imaman masjid, aku berasyik ria dengan luapan harapan, mengadukan hajat dan pengakuan khilaf kepada Kekasih sejatiku yang sekian lama sering kuabaikan.
Sepertinya Dia juga menyimpan kecemburuan, sampai-sampai setelah aku terkapar di tengah kedukaan, Dia langsung menarikku. Mengajakku bermesraan kembali dengan senandung wirid khofi.
Butir-butir tasbih itu menemaniku ke puncak syahadah. Duduk tahiyatku khusyu’. Jiwaku terpusat menatap kelembutan wajah agung-Nya. Ah, damai sekali hatiku.
Genangan air mataku tiba-tiba tumpah saat membaca surat surat At-Taubah. Dan hatiku pun tergetar ketika sampai pada kalimat: Innalaaha laayuhibbul faasiqiin.
Rabb...ampuni hamba.
Ampuni hamba paduka.
* * *
6 Desember 2003
Masih dalam perenunganku, untuk menghapus kenangan yang meninggalkan duka-lara, sepertinya aku harus mengalihkan jalan fikiranku ke hal-hal yang berbau positif. Memberi manfaat pada orang lain. Memperluas wacana sosial dan memperdalam spiritual. Besok pagi aku harus kembali ke Jogja.
* * *
7 Desember 2003
Ahad pagi, tekadku untuk kembali ke Jogja terwujud. Kusalami semua saudara-saudaraku. Ayah dan ibunda. Tak lupa juga pada A-lung, putra kakakku yang lucu, cakep dan nakal.
Linangan air mata bapak mengiringi keberangkatanku. Begitu berat sekali perasaannya untuk berpisah denganku. Mungkin karena aku yang kerap bercengkerama dengannya, sehingga kasih sayangnya lebih banyak tercurah padaku. Ah, bapakku, semoga Allah lekas memberi hidayah kepadamu. Aku sangat berharap itu…
* * *
8 Desember 2003
Jika alam fikiranku memasuki kondisi keluarga, semangatku tiba-tiba tergugah. Satu sisi aku dituntut harus mewujudkan impian bapakku untuk menjadi manusia ruang. Manusia yang integritas sosialnya tinggi, yang sadar kemajemukan dan distribusi sosial, yang paham dan mewujudkan kekhalifahan bersama dengan manusia dan mahluk-mahluk lain. Sungguh amat mulia meski aku sadar itu sangat berat.
Aku teringat budayawan asal Jombang, Emha Ainun Nadjib yang selalu menekankan bahwa empati sosial dan cinta kasih itu tidak terbatas pada pemenuhan hak-hak bagi manusia, namun juga semua mahluk. Tanaman berhak untuk tumbuh, tanah berhak untuk bernafas, ayam berhak untuk berkembang biak agar ia memperoleh kemuliaan kelak jika disembelih dan dimakan manusia. Kalau seseorang menjadi pemimpin, ia tak sekedar memimpin masyarakat manusia, tapi juga memimpin masyarakat mahluk yang luas—seperti Nabi Sulaiman.
Lawan kata manusia ruang ialah manusia perabot. Manusia yang tak menyediakan ruang bagi orang lain, karena dirinya dipenuhi hanya oleh dirinya itu sendiri. Ia sekedar perabot yang tak bisa ditempati oleh perabot, dan justru hidup untuk merebut ruang bagi dirinya sendiri belaka. Manusia-manusia semacam ini banyak sekali jumlahnya. Manusia yang hanya ingat kepentingan dan kebutuhannya sendiri. Dalam psikolgi, disebut egoisme. Dalam sistem politik namanya otoritianisme.
Manusia perabot hanya mementingkan kebutuhannya sendiri, atau paling jauh kepentingan keluarganya. Ia hanya berpikir dan berlaku bagaimana semua unsur di sekitarnya dimanfaatkan untuk kepentingan dirinya. Kalau ia bersekolah, ia hanya
membayangkan keuntungan pribadi di masa datang. Kalau ia jadi sarjana, yang ia pikirkan bukan kontribusi sosial atau mengabdi ‘bangsa dan negara’ seperti yang biasa ia bohongkan. Kalau ia jadi pejabat, ia tidak menghidupi fungsinya dalam kerangka kepemimpinan sosial serta kepentingan masyarakat banyak, melainkan memasukkan dirinya dalam filosofi dan kehendak kekuasaan di mana rakyat, fasilitas dan segala milik Negara hanya dieksploitasi untuk tujuan-tujuan pribadi. Beruntunglah manusia yang punya peluang kecil untuk hidup di rumah ini dengan cinta kasih sosial dan saling menjadi ruang satu sama lain…”
Di sisi yang lain, aku dituntut untuk membantu kakak-kakakku yang hingga kini belum jelas masa depannya.
* * *
10 Desember 2003
Malam Kamis, tepat pukul 23.30, aku dibangunkan oleh-Nya. Dinginnya air dan udara tak menghalangiku untuk mengguyur sekujur tubuhku dengan air yang menggenang di kulah pondok. Dari ujung rambut hingga pangkal tumit, air itu meluruhkan beban-beban yang menyumpal di fikiran. Membeningkan hati dan jiwaku. Usai mensucikan diri, kuhamparkan sajadah sarungku di aula I.
“Allahuakbar,“ kupusatkan seluruh jiwa dan ragaku ke hadirat Ilahi, sang pengatur jagad ini. Dengan lidahku yang masih menggigil, kupanjatkan sebait do’a: Rabb, bimbinglah diri ini agar senantiasa tetap tegar dan lurus menapaki lorong-Mu. Hamba tak kuasa sendirian. Hamba amat faqir pada-Mu. Kabulkan do’a hamba Rabb!
Jarum jam menunjukkan angka 01.00. Aku kembali beranjak tidur. Pulas. Di tengah-tengah tidurku itu, aku bertemu dengan orang-orang yang selama ini dekat denganku. Ada Ibu dan bapak yang sudah sehat kembali. Juga kakakku kedua yang terlihat sudah damai dengan bapak. Aku melihat mereka tengah bercanda tawa, mengisyaratkan bahwa sentimen bapak kepada kakak sudah hilang. Aku senang, karena melihat seluruh keluargaku bisa berkumpul menjadi satu dalam suatu acara.
Aku juga merasakan seperti tengah berjalan bareng dengan seorang teman sekuliahku yang memiliki rupa mirip dengan Iffah. Namanya pijar. Ia juga berkacamata seperti halnya Iffah. Dan memang setiap kali aku bertemu dengannya, aku seperti bertemu dengan Iffah. Mungkin aku memang belum bisa melenyapkan dirinya dari ingatanku.
Di penghujung jalan, tiba-tiba aku melihat Iffah dengan saudara-saudaranya tengah bersilaturahmi ke rumah orang tuaku. Aku merasakan keterkejutan. Dadaku berdesir kencang. Aku setengah tak percaya. Ada apa gerangan?
Ternyata aku mimpi. Tak terasa jarum jam tanganku terus bergerak cepat dan menunjukkan pukul 05.30 WIB.
* * *
11 Desember 2003
Malam ini, tepat pukul 00.00 WIB. Sejak selepas Isya’ hingga detik ini, tak terasa aku disibukkan menjawab SMS keluarga di rumah dan seorang misterius. Misterius, karena nomor itu tak kukenal, tapi bertanya macam-macam. Kondisi seperti ini nampaknya wajar saja; efek samping dari hadirnya benda mungil produk luar negeri itu. Tapi percayalah, seiring dengan merambatnya waktu, kepuasan manusia terhadap benda-benda akan mengalami titik jenuh. Dan aku yakin, kelak aku akan mampu mengontrol
HP, bukan benda itu yang mengaturku.
Misterius : Apa itu kebenaran?
Aku : Kebenaran belaka akan membuat hidup menjadi kering dan sepi.
Maka ajarilah ia cinta agar wajahnya yang lembut dan matanya yang sayu menjadi bercahaya. Anda siapa? Kenapa tanya tentang
‘kebenaran’?! bukankah kebanyakan orang mencari ‘pembenaran’ bukan kebenaran.
Misterius : Lalu apakah kebenaran itu bisa ditemukan atau ditafsirkan?
Aku : Tuhan tak membatasi bahasa. Ia mengalungkan nilai kebenaran di setiap leher manusia. Namun hiburan-hiburan yang memabukkan batin, yang memangkas otak dan menina-bobokan hati telah menggeser kepribadian dari nurani ke syahwat. Maka kita memerlukan kejernihan untuk menemukan kebenaran. Maaf pulsaku habis. Bicara kita sampai di sini.
* * *
Senin, 20 Desember 2003
Sebelum malamku larut dalam mimpi, krentek hatiku berharap semoga Gusti Maha Agungku membangunkanku pada tiga perempat malam-Nya.
Tengah malam, saat detak jarum jam mengisyaratkan pukul 00.00 WIB, kedua kelopak mataku perlahan terpejam. Aku sudah tak peduli dengan usilnya nyamuk-nyamuk yang terus bergiliran menghisap darahku. Di atas karpet merah tua yang telah usang, kuhempaskan tubuh dan segenap kegelisahanku di malam bertabur rintik hujan itu. Di sebuah sekretariat pers kampus. Sepersekian detik kemudian, tanpa kutahu permulaannya, aku pun terbang jauh di alam mimpi. Pulas tertidur.
Sepertinya Gusti yang menggerakkan jantungku ini mengabulkan permintaanku. Dia Yang Maha Luas, tak terbatas ruang dan waktu membangunkanku lebih awal dari jam tiga malam. Dia Yang Maha Tahu, bagaimana bertegur dan berdialog dengan hamba yang serba nisbi, ternyata membangunkanku dengan menampilkan adegan seekor kucing yang mengharukan.
Suara tangis kucing itu benar-benar menyayat-nyayat. Memecah keheningan di pertiga malam. Aku yang terbangun dengan rintihan suara kucing itu lekas mencari sumber suaranya. Aku sejenak tertegun, larut dalam kepedihan yang dialami kucing itu. Rupanya kucing yang sedari tadi meraung-raung itu memanggil-manggil kedua anaknya yang terperangkap dalam ruangan. Dari luar, induk kucing itu hanya bisa menyahut rengekan kedua anaknya yang masih kecil-kecil tanpa bisa berbuat banyak.”Meong-meong...!!” suara itu terus bersahut-sahutan. Aku yang tercengang menyaksikan adegan memilukan itu lekas membangunkan kawanku yang tertidur pulas di sampingku.
“He, bantu aku menolong kucing kasihan itu,” ujarku sambil menggoyang-goyang tubuhnya. Aku benar-benar iba melihat musibah yang menimpa keluarga kucing itu. Hatiku diliputi rasa iba. Bagaimana jika itu menimpaku? Menimpa keluargaku? Bagaimana?! Aku teringat kisah yang termaktub dalam kitab klasik tentang seorang wanita yang mendapat curahan rahmat Tuhan karena mengasihi seekor anjing yang kehausan.
Aku kemudian melangkah menuju masjid kampus, menunaikan tahajut cintaku. Di pojok serambi masjid, di situlah aku munajah. Aku sudah tak memperdulikan dinginnya udara malam yang mencucup sumsum tulangku. Air wudhu nampaknya juga
kurang bersahabat. Belum lagi dinginnya lantai marmer masjid yang menyetrum kulit ariku. Tak ada tikar ataupun sajadah. Dan tubuhku yang hanya terbalut kaos oblong dan sarung itupun menggigil. Meski demikian, aku paksa untuk menghadirkan hatiku. Mencoba sekuat tenaga memanggil nama-Nya. “Allahku...Allahku...Allahku...hamba yang selalu berharap kepada-Mu, tak kuasa jika harus berpisah dengan-Mu.
* * *


No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates