Monday, April 7, 2008

catatan dari sudut kampus IX


--SEMBILAN--
Usai jamaah shalat Subuh
Kamis, 2 Desember 2004

Aku tak akan banyak keinginan.
Aku tak akan banyak berharap.
Agar aku tak terlalu banyak kecewa.
Cukuplah aku sempat memandang wajahmu.
Cukuplah aku sempat mengingatmu.
Dan cukuplah Engkau, Tuhanku sebagai pembelaku.
Itulah janji yang akan kuusahakan untuk terus kugenggam erat. Kejadian demi kejadian, benar-benar menyentak kesadaran batinku, meski tidak serta merta. Meski saat berlangsung, kepanikan, kegalauan, dan kekecewaan meradang juga. Namun aku bersyukur, serentetan peristiwa pada akhirnya justru membuatku termanggut-manggut. “Oo...Allah,” demikian gumamku dalam batin. Ternyata di balik semua tragedi ini, Allahlah sang skenarionya. Memang hebat filosofis orang Jawa itu:”Oo...Allah” seraya manggut-manggut.
Kegalauan pertama terjadi ketika keinginanku menjadi wartawan di kota Solo harus terganjal dengan masa kuliahku yang belum rampung. Aku kecewa saat itu, lantaran keinginanku yang terlalu muluk, yakni bernafsu ingin menjadi karyawan di penerbitan Koran itu. Padahal jika sedari awal, hanya berniat untuk mengantongi pengalaman, maka aku tak akan menuai kekalahan itu. Dan aku mungkin termasuk orang-orang yang sangat beruntung. Faulaika humul faizuun.
Kegalauan kedua terjadi ketika aku berada di Jogja. Keinginanku pulang jauh-jauh dari Solo ke Jogja sebenarnya didorong kuat oleh hasrat untuk melepas kerinduan kepada Indani. Namun apa yang kudapat? Seraut wajah dingin Indani. Sikapnya pasif. Tak menunjukkanh keceriaan dan kegembiraan atas kepulanganku. Aku pun kecewa untuk yang kesekian kalinya. Ah, semestinya aku pulang ke Jogja itu sekedar bisa ketemu dan memandang sekilas wajahnya tersenyum. Itu saja. Tak lebih.
* * *
Kamis, 2 Desember 2004
Seperti hari-hari biasanya, aku bertugas memburu berita di kantor pengadilan Solo. Aku berkenalan dengan sesama wartawan. Akupun terlibat perbincangan hangat. “Jika kerja sambil kuliah sulit, mending rampungkan kuliah dulu, Mas!” wartawan RRI itu memberiku nasehat setelah mendengar keluhanku.
Lapang dadaku hari ini, karena mendapat tambahan motivasi agar tak terlalu kecewa dengan posisiku saat ini. Wartawan senior itu melanjutkan, “Jadikan kerjamu saat kuliah hanya sebagai batu loncatan. Jangan lebih. Sekedar untuk menambah pengalaman saja. Perdalam bahasa Inggris, kelak bisa mengantarmu menjadi wartawan TV yang handal.”
Di akhir perbincanganku itu, dia bergurau dengan ledekan, “Jangan puas mendekam di sana. Kagak pinter-pinter kamu nanti. Ha..ha..ha..,” tawa kami pun lepas keras di ruang pengadilan itu.
* * *
Jum’at sore, 3 Desember 2004
Di samping kosku Solo, sepasang suami-istri dan tiga orang anaknya tinggal. Setiap hari kata-kata keji nampaknya sudah tak asing lagi di telingaku. Umpatan demi umpatan saben hari terdengar memekak.
“Kalau aku sudah naik darah, bisa kubunuh kau, Nando!” cetus Ibu itu, tetangga
kosku yang kesal dengan ulah anaknya yang selalu bikin pusing.
Karuan saja ibu itu stres berat. Suaminya tak punya penghasilan tetap. Sementara anak-anaknya yang berjumlah tiga dan masih kecil-kecil selalu bikin onar. Yang bertengkarlah, rewel, menangis, bandel, pipis sembarang tempat, atau sukar diatur.
Jarang sekali aku melihat raut wajah ibu itu tersenyum bersama anak-anaknya. Kekesalan, kegeraman, dan merah padamlah yang senantiasa tercoreng di wajahnya. Kasihan sekali ibu itu. Hari-harinya selalu diwarnai dengan api amarah. Dan si anaklah yang menjadi sasaran utama, akibat himpitan ekonomi yang tak henti mendera. Ah, kefakiran memang kerapkali mendekati kekufuran.
Seperti hari ini. Pagi masih sejuk benar. Namun, sejuknya tidak terasa sama sekali. Ini lantaran tetangga kost selalu ribut. Anak-anak kecilnya buang hajat di mana-mana. Bau nyinyir kotoran itu begitu meyengat hidung. “Nando, kamu goblok amat sih. Beol di kamar,” teriak Yani, sosok ibu yang kelewat kejamnya itu.
Dan tahu sendiri, tamparan keras si ibu itu langsung mendarat di sekujur tubuh anak yang masih TK itu. “Plak… plak.. plak..!” seketika anak itu menjerit keras.
“Ibu… ibu… ibu… Ampun ibu…,” rengek Nando ketakutan melihat wajah Ibunya berubah sadis-menakutkan.
Ini bukan pertama kalinya. Pemandangan seperti ini hampir setiap hari terpampang jelas di depan mataku. Maklum, selain tiga anaknya masih kecil-kecil dan bandel-bandel, kondisi keuangannya juga belum stabil. Parahnya lagi, perangai suami-istri itu sama-sama sangat sadis. “Yani bukan orang jawa, ia keturunan darah panas dan cepat naik temperatur suhu tubuhnya. Sedangkan suaminya, jebolan LP dan sering keluar masuk berurusan dengan polisi,” kata Ibu kos.
Saben hari, khususnya malam-malam, beberapa anak muda sering mencari bang Burhan, suami Yani. Pada mulanya aku tak sedikitpun menaruh curiga pada perilaku mereka. Lambat laun, bau bangkai tercium juga. Bang Burhan rupanya mengais rejeki dengan menjual “CIU”, semacam bahan dasar minuman keras. Ibu yang memberi tahu aku.
Dalam hati kecilku, sebenarnya aku kasihan kepada mereka. Bagaimana kelak masa depan anak-akanya jika tiba-tiba polisi menggerebeknya. Si istri yang tidak punya mata pencaharian itu, bagaimana menghidupi dan mengurusi anak-anaknya. Tentu Yani akan sepuluh kali lipat stresnya. Dan yang paling membahayakan, anak-anak itu bisa saja digorok lehernya oleh ibunya sendiri.
Dalam keseharian saja, di mana masih ada tunjangan suami, anak-naknya tersebut kerap diancam akan dibunuh. Apalagi kalau bukan karena kenakalan anak-anaknya. Yang belum mandilah, yang be’ol di sembarang tempatlah, yang berkelahilah, yang salah bertindaklah dan masih banyak kesalahan lumrah anak kecil tapi disikapi dengan sadis oleh ibu itu. Apa jadinya, jika tak ada suami di sampingnya dan tidak ada tunjangan? Mungkin ibu itu akan gila.
Semenjak hubunganku dengannya retak, aku telah kehilangan rasa respecku kepadanya. Tanpa tegur. Tanpa sapa, meski berjalan bersimpangan.
Cerita bermula saat Yani di suatu pagi mengamuk kepada Ibu kos. Kisah ini terjadi dua setengah bulan silam. Tepatnya saat Ramadhan. Ibu berputra tiga ini tiba-tiba berteriak-teriak mengumpat Ibu kos. Ia rupanya tersinggung dengan sikap Ibu yang dingin.
Sebenarnya sebelum tragedi pagi itu meledak, sudah ada benih-benih perang
dingin. Dan tampaknya amarah itu meletus di bulan penuh keberkahan itu. “Hey, kamu tua bangka…! Kau ini memang busuk. Tua-tua makin brengsek. Kenapa kau bilang ma tetangga kalau keluargaku itu sering bertengkar, tak punya pekerjaan dan tak punya tatakrama,” cetus yani sembari telunjuknya menuding-nuding muka Ibu. Karuan aku yang tahu peristiwa itu langsung bergegas melerai. “Sudah… sudah Bu, ini bulan puasa,” ujarku. Tapi semua di luar dugaan, yani malah mendampratku. “Hey, kau anak ingusan jangan ikut-ikut campur masalah ini ya. Mentang-mentang wartawan sok jagoan,” sentak Yani. Akupun tak menggubrisnya. Kubiarkan mulut tajamnya mengumpat-umpat tanpa henti. Dalam hatiku aku hanya bisa beristigfar. “Ya.. Allah kok ada manusia sebengis ini?”
Semenjak itulah, aku dengannya terbendung tembok pembatas. Antara aku dan mereka bagai air dan minyak.
* * *
Sabtu, 4 Desember 2004
Keinginanku untuk lekas mendapatkan penopang hidup, nampaknya secara perlahan mengubah sikapku kepada Indani. Aku sepertinya lebih mementingkan meniti karir, ketimbang membaca perasaanya. Kelembutan perasaanya sangat mudah melihat perubahan sikapku.
“Kenapa Mas, tak seperti dulu lagi? Romantis dan sering kirim sms,” gejolak Indani siang itu.
Aku terhenyak mendengar penuturan Indani lewat sms itu. Aku sadar. Aku sekarang memang seperti yang dituturkan Indani itu. Ternyata, kegelisahnku akibat terlalu tegang mencari penghasilan telah membuatku tak sempat meluangkan perasaan untuk bersikap sedikit romantis. Aku menjadi kaku. Tak lembut. Dan tak mampu membaca perasaan yang dia maui.
* * *
Ahad malam, 5 Desember 2004
“Mas, jangan tinggalkan adik, ya...?!” pesan Indani lewat sms Subuh tadi terkesan memelas. Seolah hendak ada perpisahan yang mengancamnya. Semalam aku memang sedikit ngambeg kepadanya. Ngambeg, lantaran terus-terusan aku ditekan agar tak bersua lagi dengannya. “Mas, kita nggak usah lagi ketemu, ya?” pintanya malam itu dengan sangat.
Aku, sampai detik ini masih diliputi kebingungan dengan sikapnya. Kadang sangat merajuk dan ingin selalu bersama. Kadang pula dingin, membuatku meragukan akan keseriusannya. Ragu bukan karena dia sudah punya pujaan lain, namun ragu karena ia sering bertindak konyol, aneh, dan absurd.
Setahu yang kubaca, perasaan Indani memang labil. Jika baru pulang dari rumahnya, biasanya dia menganggapku seperti orang asing, orang yang baru kenal, dan perlu dibuatkan pagar agar tak mendekatinya. Namun jika sudah lama di Jogja, jauh dari rumahnya, biasanya ia kembali normal. Sekeras apakah keluarga Indani hingga kemerdekaannya musti terenggut?
* * *
Rabu, 7 Desember 2004
Aku harap, usai kusampaikan ikrar kesetian itu, Indani tidak terlalu bimbang.
“Aku bertekad, akan tetap berguru pada kesetiaan!” ujarku semalam. Dia pun sedikit tersenyum. Indani lega mendengar ikrarku itu.
Apa yang diramalkan Kokoh, adikya Iqbal mengenai sosok Indani memang ada benarnya. “Dia itu pencemburu berat. Kamu harus bersabar,” ujarnya kepadaku malam itu. Menurut Kokoh, Indani itu anak ke tiga. Jadi sedikit saja aku bicara yang melibatkan seorang wanita lain, dia akan dibakar rasa cemburu. Tak peduli siapakah wanita itu. Entah teman dekat, teman kelas, teman yang masih saudara, bahkan nenek-nenek pun kalau perlu dicemburui. Luar biasa kan!!
* * *
Semenjak Indani beli HP, komunikasi antara aku dengannya semakin lancar. Dia pun kini sering SMS, atau sekedar miscall-miscall.
28 November 2004:
Mas, skrg yg pntg lbh mnata ht & brdo’a. Smoga sll dberi kteguhn ht. Ingt Allah mmbrikn ujian ssuai dg kmmpuan hmb-Nya. Udah...gak usah brsdih & cmberut. Ntar cpt tua. Jg dr baik-baik. Miscl jk dah nympai Solo.
29 November 2004:
Asslmkm. Good morning drling! Gmn? Udah enakn blm? Sehatkn? Klo skit cpt mnum obatny.Sblm trlnjur. Olhrga, mndi, biar sger. Smngat!
3 Desember 2004:
Mas, klo jd k jgja hti-hti y? Hujn-hujn jln lcin. Jgn lupa pkai jket & mntel. Slm syg+kgen.
* * *
Solo, Ahad 12 Desember 2004
Jogja-Solo. Dua jarak itu kutempuh dengan melaju kencang di atas motor tuaku. Sedikitnya lima hari sekali aku pulang pergi ke kota yang sama-sama masih berdiri bangunan tua bersejarah, Keraton. Satu keraton di bawah tampuk pimpinan Hamengku Buwono X. Satunya lagi masih dalam untran-untran (sengketa) berkepanjangan, antara Tejowulan dan Hangabehi. Semua ingin menjadi raja. Dan jadilah, Solo dipimpin dua raja.
Lelah. Memang lelah. Tapi, sebenarnya bukan itu yang menyebabkan aku terserang virus lelah. Adalah kegalauan perasaanlah yang sebenarnya membuatku terasa berat untuk melanjutkan perjalanan hidupku ini. Ada masa depan yang masih mengambang tak jelas. Ada tanggung jawab yang tak kepalang tanggung menghadang. Ditambah suasana keseharian yang membosankan. Hah..berat! Tuhan, kenapa aku menjadi hamba yang begitu mudah menyerah?!
Tapi, mau bagaimana lagi? Bukankah ini yang dinamakan hidup. Hidup yang sesungguhnya! Kesulitan, kesusahan, semua adalah hamparan luas kekuasaan-Nya. Dan aku memang musti bertahan. Bertahan segenap jiwa. Tak ada keluh kesah yang mendesah. Dan memang hamparan luas-Nya itu musti kujalani.
Aku teringat nasehat-nasihat bijak dari kaum ‘arif. “Ciri orang bertakwa adalah tidak memiliki rasa takut dalam menjalani hidup”. Seorang sufi akan mengatakan, “Kedukaan itu tinggal bagaimana manusia mensikapinya. Jika paham betul bahwa duka
di dunia hanyalah sekejap mata, kenapa harus menyerah?”
Jika duka adalah cara Tuhan dalam mencintai hamba-Nya, kenapa aku musti berkecil hati? Jika keyakinan hati sudah menegaskan bahwa Tuhan senantiasa bersemayam di hati hamba-Nya, kenapa aku musti kédér? Bukankah aku semestinya sumeleh, tersenyum, yakin, bahwa apa yang beredar di jagad ini akan pulang ke pangkuan-Nya jua. Manusia kosong. Tak ada hak memiliki gundah maupun merasa memiliki keceriaan. Semua milik-Nya.
Pertanyaannya sekarang, sejauh mana manusia itu mampu bertahan dalam gempuran ujian Tuhan? Akankah mereka akan selalu tersenyum dan sumeleh? Semua memang tak semudah manusia berangan, berfilsafat, mengedar sabda, dan menulis. Apa yang terekam dalam jiwa, terkadang jauh meleset dari apa yang disaksikan di panggung dunia. Bahkan, mungkin manusia akan menggadaikan keyakinannya itu, setelah menanti gempuran dari Tuhan tak kunjung reda.
* * *
Senin, 13 Desember 2004
“Anda yang terdepan?!” kalimat menantang itu terpasang di rubrik iklan sebuah koran. Tempo, sebuah majalah terkemuka di Indonesia rupanya membuka lowongan untuk reporter. Aku berdecak kagum. Kagum, karena majalah yang dirintis Goenawan Muhammad dkk itu menurutku memiliki keunggulaan dibanding majalah-majalah yang lain. Terutama dalam ketajaman beritanya, kepiawaian meracik kata-katanya, serta suguhan pendidikan politiknya bagi pembaca. Angan-anganku saat itu langsung melayang, “seandainya aku wartawan Tempo”.
Mungkin aku adalah si bungkuk yang merindukan bulan! Amat sangat mustahil aku bisa menjadi wartawan majalah yang terbit mingguan itu. Baru membaca syarat-syaratnya yang berderet panjang saja, aku langsung merinding. Ngeri! Apa coba syarat-syaratnya?
Pertama, selain harus mahir berbahasa Inggris aktif, untuk bisa menjadi wartawan di sana juga harus memiliki keluasan wawasan tentang ilmu sosial-politik-ekonomi-sain-teknologi-sosial-budaya-sejarah-agama-filsafat, dll dari tingkat lokal-nasional sampai internasional. Bayangkan!
Lha aku, kuliah saja belum kelar! Wacana? Nol! Bahasa asing? Apalagi!
Kedua, untuk bisa menjadi wartawan di majalah sepuh itu, minimal empat tahun dia harus pernah mengantongi pengalaman menjabat sebagai redaktur harian di sebuah perusahaan pers. Jadi redaktur?! Minimal empat tahun?! Mana mungkin mak! Itu impian utopis! Mungkin redaktur bulletin Jum’at itu yang dimaksud. Yang terbit sekali, lantas edisi keduanya empat tahun mendatang. Ha..ha..ha..!!
Ada sepenggal catatan yang lagi-lagi menyulut darah mudaku. Meski tak mungkin aku menjadi wartawan Tempo, namun aku yakin, kelak aku akan melangkah ke profesi yang tak jauh dari jagad jurnalis. Kapan itu? Allah yang tahu. Bisa tujuh tahun, sepuluh, atau mungkin lebih!
Tapi...
Ah, kenapa hidup harus ada kata “tapi”. Sengajakah Sang Maha hening membikin dunia ini dalam keter”tapi”an? Mungkin saja, biar manusia berada dalam lingkar kesadaran, bahwa dia masih membutuhkan sandaran. Membutuhkan sesuatu di luar dirinya. Sesuatu yang mengatasi segalanya. Yang menjelmakan impiannya. Itulah Tuhan.
Lantas, kandaskah impian setiap insan yang tercekal dengan “tapi”? Wallahua’lam!
Manusia memang dalam lorong malam. Keinginannya boleh melangit, namun tetap tak mampu menembus petala langit yang digariskan. Keinginannya dalam serba keterbatasan.
Seorang sufi tersohor, Abu Yazid Al-Bustami mungkin benar; “Aku ingin agar tak ingin,” demikian do’anya. Yazid mungkin tak ingin dirinya diperbudak berhala keinginan. Ia menghendaki hidup yang mengalir seperti tetesan embun pagi di pucuk-pucuk daun talas. Manusia ada dalam kemahaan-Nya. Adanya manusia, karena ada-Nya. Dan gerak-gerik manusia adalah gerak-Nya.
* * *
Selasa, 14 Desember 2004
Barangkali memang benar kata Indani, bahwa aku mudah sekali mengambil kesimpulan, sehingga terkesan tergesa-gesa. Akibatnya, kini semua yang kujalani sering dalam dilema yang berbuntut kegamangan.
Namun, aku tak ingin menyerah begitu saja. Biarpun orang mengejek, namun selama keyakinanku masih tertancap kuat di hati, aku tak akan mempedulikan omongan mereka. Meski tertatih-tatih, aku akan tetap melangkah dengan keyakinanku, dari pada mengikuti bayang-bayang orang lain, meski itu semulus jalan tol.
Hari-hari ini, keyakinanku berada dalam ujian. Aku tak tahu, apakah keyakinan identik dengan keras kepala? Tak mau mendengar nyanyian orang lain, dan harus diperjuangkan hingga titik darah penghabisan?
Orang sok bijak akan berujar, “Ya...kita mesti mendengar saran orang lain. Jangan ekslusif gitu dong!” Persoalannya, bukan hanya merebutkan benar-salah. Lebih dari itu, ini menyangkut keyakinan. Sebuah keyakinan bahwa apa yang tampak kasat mata bukanlah kemutlakan. Bukan pula kebenaran yang tunggal.
Mungkin orang akan mengatakan, “Ah jangan sok pluralislah!” Tapi kenyataannya memang demikian. Kebenaran itu bisa dimasuki dari berbagai pintu. Simak nasehat Lukman Hakim kepada anakanya, “Hai, Nak! Janganlah kamu masuk hanya dari satu pintu. Masukilah dari berbagai pintu.” Artinya kebenaran itu nisbi dong?! Iya! Tapi juga mutlak. Ia nisbi karena berada dalam ceruk dunia. Namun kebenaran nisbi itu harus diyakini.
Dan kini magang wartawanku tinggal satu bulan lagi. Usai ini, aku akan kembali ke kampus lagi. Menjadi mahasiswa lagi. Kuliah lagi. Perjalananku masih panjang. Hari demi hari adalah sebuah proses yang tiada henti. Sebuah proses menggapai, mendaki, memanjat, yang kapan saja aku bisa terjatuh dan terjungkal.
* * *
Kamis, 16 Desember 2004
Sebuah pesan pendek buat Indani;
“Dlm ksunyian, krinduan kerap x mlahirkn scrcah hrpan. Tp ia musti dtuntun mngenl air, agr jk trantuk batu nnti, ia tak mudh mmercikan api. Ia musti setia mngalir...”
Kecurigaan terus-menerus menghantui Indani. Sedikit saja aku terpeleset melangkah, tudingan-tudingan miring akan diarahkan ke mukaku. Akhir-akhir ini perasaanya sangat sensitif, agresif, dan lekas berontak. Aku tak tahu kenapa? Terlalu manjakah dia? Sudah pudarkah kepercayaannya kepadaku? Atau ini gejala alami manusia yang memang pasang surut. Kadang cuek, merasa tak membutuhkan, dan sangat dingin,
sedingin air dalam kulkas. Kadang pula berada dalam pengharapan yang melonjak-lonjak bagai anak kecil. Tetapi kadang pula pencemburu di luar batas kewajaran...
* * *
Sabtu, 18 Desember 2004
Hari ini, pintu kamar mandi Ibu kos terpasang sudah. Kucat pintu yang ramping itu dengan warna cerah; biru laut. Harapanku, jika sepasang mata memandangnya, jiwanya akan tenang dan cerah, secerah warna biru laut itu. Meski sekilas!
Aku bikin pintu itu sekedar untuk kenang-kenangan, kelak jika aku sudah pulang ke Jogja. Rasanya, aku tak mampu jika harus membalas jasa-jasanya selama aku di Solo. Hanya dengan pintu itulah! Sebisa-bisaku!
Mungkin saja, pintu itu tak mampu bertahan lama. Tak sampai tahunan. Apalagi puluhan tahun. Kayunya memang kelas rendah. Tapi aku cukup puas. Karyaku sendiri! Kubuat dengan tenaga keikhlasan. Kucat dengan pengharapan. Dan kutinggalkan dengan ketulusan.
Aha...! semalam, sebelum terlelap dalam buaian mimpi, aku terinspirasi dengan cerpen-cerpennya Kuntowijoyo dalam “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga”. Aku ingin membikin cerita yang kerangka dan alurnya mengikuti cerpen-cerpen beliau. Menarik kan?! Ketimbang terus menerus didera kemurungan karena susahnya membaca sikap Indani yang bagai cuaca. Sulit diterka. Yang penting aku mampu meluangkan sedikit waktu, beri dia perhatian. Intinya mengalah. Titik!
* * *
Minggu, 19 Desember 2004
“Aku nilai, tulisanmu kemarin-kemarin sudah cukup bagus. Tapi karena keterbatasan space, jadi belum sempat kumuat,” kata redaktur pagelaran, Suwarmin malam itu.
“Ah, santai saja, Mas!” sahutku.
Suwarmin, sebenarnya orangnya enak’an. Gampang diajak kompromi, kalem dan perhatian. Bandingkan dengan redaktur kriminal, pengampuku sebelumnya. Busyett...!
Salah ternyata persepsiku, jika aku mengira Suwarmin nggak konsisten. Mungkin peristiwa masa lalu saat itu masih terasa membekas dan mendongkol di ceruk hatiku. Ceritanya begini;
“Tadarus Puisi” adalah pementasan teaterikal untuk mengisi bulan Ramadhan di Kampus. Rencananya, pentas kawan-kawanku di Jogja itu akan kubuat berita dan kuusahakan bisa dimuat di koran Solo. Maka mulailah aku meliput dan menulis acara itu. Dengan susah-payah tentunya. Setelah pentas berjudul Go-Fall itu kusulap jadi tulisan berita, akhirnya kuserahkan kepada Suwarmin. Bayanganku, besok atau lusa akan dimuat. Dan aku akan menunjukkan kepada teman-teman, “Lihat nih, pentas kalian masuk koran Solo!”
Tapi penantianku rupanya tak berujung. Lama tak ada hasilnya. Setiap kulihat berita yang dimuat di halaman akhir itu, yang nampang adalah pentas-pentas teater dan kesenian asal Solo sendiri. Teater dari Jogjaku, tersingkirkan! Aku pun kecewa. Kepada Suwarmin. Kepada redaktur pagelaran itu. Ditambah rasa maluku kepada kawan-kawan di Jogja yang sudah berharap banyak karena telah kuliput.
Tapi, aku sadar. Suwarmin juga manusia. Ia tak bisa ngotot bersaing dengan
jumlah iklan yang terus menjubel. Antri. Ia tak bisa berbuat banyak atas berita yang kubawa dari Jogja itu. Ini koran Solo. Kenapa bawa-bawa nama Jogja?! Memang di Jogja nggak ada koran?! Dan cara redaktur muda itu membuang berita yang kubawa dari Jogja memang beretika, “Karena keterbatasan space, jadi belum sempat kumuat!” Aku pun menjawab dalam batin, “Ah, santai saja, Mas. Masih banyak iklan yang lebih menguntungkan kok, dari pada memuat berita yang kutulis dari antah berantah ini!”
* * *
Rabu, 22 Desember 2004
Ada kecenderungan, sekaligus keunikan dan kelebihan Indani. Dia sangat menggemari ramalan nasib, kekuatan di luar nalar, dan ilmu kebetulan. Berangkat dari ramalan yang diyakininya itu, dia akan melangkah. Kejadian demi kejadian yang ia saksikan dan yang ia alamai akan ia rangkai, lantas akan ia tarik kesimpulannya. Sebelumnya, akan ia utak-atik terlebih dulu kepingan kejadian itu dengan rumus keyakinan yang selama ini menggelanyuti alam pikirannya. Yang jodohlah, rizkilah, keberuntunganlah, dan seabrek ramalan lainnya.
Malihat perilaku tradisional ini, pola pikirku memang harus digeser sekali-kali. Bukankah ini masuk wilayah seni, wilayah tradisi, wilayah kenyataan bahwa perilaku seperti itu memang ada di masyarakat? Tak perlu heran. Sebaliknya, justru seharusnya kuapresiasi karena akan memperkaya bahan imajinasiku: ternyata ada wilayah supranatural, wilayah keyakinan, wilayah rasio dan wilayah lainnya. Dan keunikan Indani adalah bagian dari wilayah itu.
* * *
Kamis, 23 Desember 2004
Seperti biasa, Ibu itu selalu setia membangunkanku. “Areta, sholat Subuh dulu,” suara Ibu itu terdengar dari luar sambil mengetuk pintu kamar kos. Meski berat, harus kupaksa juga. Aku tak boleh memanjakan seonggok tubuh ini. Bagaimana kekuatan mentalku nanti, jika masih muda saja bangunku sering kesiangan?
Kulihat, di luar memang sudah agak cerah. Nadhiroh pun sudah terlihat mencuci piring-piring. Dan si Ibu itu, terlihat tengah mempersiapkan sarapan pagi.
“Bangun Bos!” sapa Nadhiroh dengan gaya ngapaknya yang kental. Wajah keceriaannya tak pernah tersembunyi. Ia gembira sekali hari ini. Harapan itu sudah di dekat pelupuk matanya. Ia diterima jadi reporter di wilayah Solo. Memang selayaknya ia di sana. Jika masih juga terkatung-katung nasibnya, barangkali Tuhan akan kukatakan tidak adil.
Pagi ini, Ibu itu memberiku nasihat. Dia menyarankan agar aku meminang Indani lebih dulu. Tapi menikah dan rumah tangganya menyusul jika sudah kerja. “Biar kalian nggak njeglék kalau terpaksa berpisah nanti,” katanya.
“Kalian kan sudah sama-sama saling kesenggsem. Jika Indani sampai jatuh ke pelukan orang lain, bukan hanya engkau yang terpukul, tapi Indani juga,” lanjutnya pagi itu sambil nyuci perkakas dapur.
Ada benarnya nasihat Ibu itu. Bukankah ini adalah kenyataan. Kenyataan yang mentitahkan bahwa ada sepasang insan yang saling mencinta di masa kuliah. Dan cinta tak bisa dielakkan kehadirannya. Kata orang, itu adalah anugerah. Tapi kataku, cinta juga petaka ketika kesiapan ruhiyah dan ma’isyah (financial) masih jadi problem.
“Sekarang, tinggal bagaimana kalian mensikapinya, agar cinta kalian tak
menimbulkan mara bahaya,” sambung Ibu itu.
Aku paham, yang dimaksud mara bahaya itu adalah perbuatan zina, kecemburuan sosial, dan runtuhnya tata nilai normatif di masyarakat.
Dari awal, Indani sebenarnya memang pernah menyarankan demikian. “Nggak usah pacaran segala. Itu dosa! Kita nikah sambil kuliah saja. Tapi berumah tangganya kemudian, karena status kita belum bekerja dan masih kuliah. Jadi kita tetap seperti biasa, nafkah tetap dari orang tua masing-masing, tinggal juga tetap di kosnya masing-masing. Tetapi status kita sudah menikah,” demikian saran Indani kala itu, persis kata Ibu itu.
Tapi, persoalannya tak segampang itu. Pokok problemnya itu berada di pundakku dan keluargaku. Bukan pada Indani, meski keluarganya juga masih sangsi. Kakak sulungku, yang selama ini membiayai kuliahku masih belum bersedia menikah. Yang membuatku terharu, ia berjanji tak akan menikah sebelum kuliahku rampung. Demi masa depanku yang masih meremang. Simalakama kan? Maju kena! Mundur kena!
Bagaimana mungkin, keringat kakakku kugadaikan dengan seteguk air dahaga yang kutenggak di tengah kering kerontangnya tenggorokan kakakku? Aku ngotot melamar Indani, maka dampratan luar biasa akan menghujamku. “Dasar anak nggak tahu dikasih untung. Disekolahkan malah menggores luka kakakknya!” Tapi jika kondisi ini kubiarkan berlarut-larut, aku akan terus-menerus dalam penderitaan. Aku dan Indani akan benar-benar di ambang ketakutan luar biasa. Takut terperosok ke jurang mengerikan, maksiyat! Takut berpisah. Dan takut menabrak tata nilai sosial-budaya masyarakat. Sungguh tragis!
Namun, dari obrolan santaiku yang sekaligus menggelisahkan itu, paling tidak telah memercikkan api. Dan hasrat untuk mewujudkan impian hidup bersama itu kini semakin berkobar. Malah, Ibu itu akan siap membantuku. Suatu saat nanti dia ingin bersilaturahmi ke tempat tinggal keluargaku untuk menjadi orang ke tiga. Perantara yang akan menjelaskan permasalahanku dan permasalahan Indani. Dan Ibu itu nampaknya benar-benar serius dengan omongannya. Tidak hanya janji. Ibu itu rupanya mengerti betul perasaan anak muda. Dia menyadari persoalan konservatisme budaya, kerapkali menyurutkan langkah mulia sepasang kekasih yang ingin menggapai ketenangan batin.
Ah, Ibu itu. Dia adalah orang yang memiliki kepekaan rasa dengan penderitaan orang lain. Apalagi orang lain itu telah dianggap menjadi saudara kandungnya atau anaknya sendiri. Ia rupanya banyak belajar dari masa lalunya. Belajar dari masa mudanya. Belajar dari anak-anaknya. Dan belajar dari kehidupan kesehariannya. Ia mengerti betul, bagaimana pedihnya hati jika harus berpisah dengan seorang yang telah mengisi batinnya. Berpisah dengan seorang yang dicintai. Hancur berkeping-keping!
Sublimnya, menikah adalah solusi dari kegelisahan-kegelisahan yang meradangku. Meski demikian, semua harus dihadapi, dicernak dengan pikir yang logis, dan diperjuangkan. Bukan serta merta, seperti dunia sulap, “Bim salabim!” lalu mak bedunduk menjelma jadi kenyataan. Perjuangan bisa berujud kerja keras, senantiasa mendekat dan bersimpuh di haribaan-Nya. Titah Tuhan adalah yang terbaik. Yakinlah, semua pasti mengusung hikmah terdalam. Bagiku. Bagi Indani. Bagi semua keluarga.
Ini adalah buah dari berguru pada kesetiaan. Masih ada segudang hikmah lagi yang suatu saat nanti mengucur dari sana. Cinta dan kesetiaan bagai melati yang harum mewangi. Cinta meniscayakan kesetiaan. Dan kesetiaan membuahkan seribu mutiara. Usah sesali kenyataan dengan bersembunyi atas nama agama. Kenyataan bahwa hati merindukan kasih sayang. Mencintai bukan kecelakaan sejarah. Jika dengan sayap cinta,
semakin meningkatkan kadar ketuhanan kita? Jika dengan kequdusan cinta, melahirkan kepasrahan sikap hidup akan kedha’ifan kita? Dan jika dengan pengorbanan cinta, manusia semakin tahu arti kebersamaan dan mengenal sisi kemanusiaan? Kenapa cinta musti disalahkan?!
Mengkambing-hitamkan cinta, dengan mengambil langkah mundur, hanya menunjukkan sikap kepengecutan. Pengecut yang mengatasnamakan masa depan. Lebih hina lagi jika sampai menyeret-nyeret kemuliaan agama. Apakah karena takut menerjang terjalnya hidup, kita mengumpetkan cinta dengan bertopeng sejuta kemunafikan dan takut tanggung jawab?
Biarlah cinta tetap bersemi. Jangan padamkan sinarnya! Apa yang menjadi penghalangnya, singkirkan! Beri ruang dan kesempatan cinta! Agar ia tetap bersemi dan harum aromanya semerbak di sekelilingnya. Buah-buahnya kelak akan menjadi tunas masa depan. Kemuliaanmu terselip dalam keluasan hatimu menatap angkuhnya dunia. Malamnya dunia, jangan sampai mengkerdilkan jiwamu. Jadilah Khidir yang senantiasa berjubah malam. Sebab jubah kepastian hanya melahirkan manusia-manusia pasif dan jumud. Siapakah Khidir itu?
Robb, jadikan aku bonekamu!
* * *
Ahad, 26 Desember 2004
“Tunggu, Mas!” pinta Indani dengan nafas terengah-engah. Meski mengaku lelah, namun raut wajahnya tetap memancarkan keceriaan dan kebahagiaan. Pagi itu dia ingin sekali menamatkan dan menikmati pemandangan di puncak bukit sampai tuntas.
“Lihat, Mas! Indah sekali alam Yogyakarta dari sini,” teriaknya sambil telunjuk tangannya mengarah deretan bangunan dan kendaraan yang seperti mainan anak-anak.
Puncak bukit itu adalah Turgo. Sebuah bukit tempat seorang kekasih Allah bernama Syekh Jumadil Qubro disemayamkan. Butuh satu jam-an untuk mendaki sampai tujuan. Dan ketika di atas, maka orang yang mendaki itu akan terlihat seperti semut yang merayap. Saking tingginya. Logikaku serasa tumpul, ketika membayangkan bagaimana cara menggotong sepotong mayat itu ke puncak bukit yang terus menanjak, terjal, berdaki, berkelok-kelok, bersemak-semak, rimbun, licin, dan wingit. Nyaris tak ada jalan mulus, datar, apalagi sampai berharap ada penjaja makanan kecil. Aku dikepung keheranan, bagaimana pula cara mengangkut bahan materialnya, semen, air, kayu, dan tegel-tegelnya itu ke puncak. Lantas di zaman ratusan tahun silam itu, bagaimana orang mendapatkan bahan-bahan materialnya? Siapa yang menyuruh memakamnya di sana?! Aku hanya geleng-geleng, antara percaya tak percaya.
Orang-orang kerap menamakan wisata ziarah wali. Dinamakan wisata ziarah wali karena bukit yang memancarkan hijau daun itu bersemayang seorang auliya’ yang konon dari kabar penduduk, wali itulah yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Sehingga selain orang bisa berwisata menikmati pemandangan alam, juga bisa berziarah. Mendo’akan dan mengenang jasa-jasa perjuangan Syekh Jumadil Qubro.
Perjalanan itu amat mengesankan. Bagiku. Juga bagi Indani. Ini adalah pertama kalinya aku mengajak dia mendaki bukit sampai puncak. Impian yang dulu sempat terlintas, akhirnya tergapai sudah...
Indani tentu tidak mengira, jika pagi-pagi itu aku bakal mengajaknya mendaki bukit. Ia mungkin menduga bahwa daerah Kaliurang mungkin seperti itu. Tak terlintas sedikit pun bahwa di sana berdiri menjulang bukit yang menuntut tantangan. Makanya,
saat berangkat ia hanya berbekal tangan kosong dan perut kosong. Berpenampilan ala kadarnya. Tanpa jaket tanpa shall. Dan seperti yang kuduga, ia pun terkejut sesampai di lokasi. Namun bagaimanapun puncak itu harus kami tempuh tanpa bekal apa-apa.
Beberapa kali ia menyerangku dengan gurau, “Kamu nampaknya mau membunuhku pelan-pelan, ya!” ujarnya terdengar ngos-ngosan. Aku hanya tersenyum senang melihat ekspresi Indani yang tampak payah. Kerap kali ia berhenti dan istirahat saat di tengah-tengah pendakian. “Hah...kalau tahu seperti ini, seharusnya dari kos tadi kita bawa bekal,” ujarnya mengandai-andai. Dan hampir saja ia menyerah, sebelum sampai puncak bukit yang dituju itu. Tapi itu tak mungkin terjadi, “Ayolah, sebentar lagi juga sampai puncak!” aku menyemangatinya.
“Indani, pendakian ini dalah simbol perjuangan cinta kita. Jika kita sukses menggapai puncak itu, berarti cinta kita nanti juga sampai puncak. Tuntas!” lanjutku.
Dan memang, pendakianpun kami tuntaskan akhirnya. Senang sekali terasa. Apalagi Indani juga memancarkan ekspresi keceriaan. Ia lekas memberi tahu kawan-kawan kuliahnya, “Tut, aku sekarang berada di puncak bukit Turgo. Subhanalloh indahnya alam Indonesia,” demikian isi SMSnya.
Di puncak itu, aku bersimpuh pasrah di haribaan-Nya. Butir-butir tasbih yang kuputar di jemariku, mengiringi bacaan wiridku. Air bening mendadak mengalir dari celah-celah mataku.
“Rabb, selamatkan hamba, keluarga hamba, guru-guru hamba. Kabulkan hajat hamab-Mu yang faqir ini,” aku merapal do’a itu sesenggukan.
Kulihat Indani dibelakangku juga khusyu’ memohon. Syahdu kurasa, saat berkhidmat di dekat makam Syekh itu.
* * *
Ahad Malam, 26 Desember 2004
Bagai debur ombak pantai selatan, perasaan sayangku kepada Indani kian menggelora. Begitu juga sebaliknya. Sebagaimana halnya perasaan seorang wanita, Indani sepertinya juga tak mampu mencegah gejolak hati yang jauh lebih dahsyat. Tapi niatan suciku itu, tak bercampur keinginan di baliknya.
Begitu pula Indani, bagai perahu layar yang siap kemana sang nahkoda mengendarai. Robb, dengarlah keluhan mereka...
* * *
24.00 WIB, 2 Januari 2005
Enam hari lagi, aku akan meningalkan Solo. Ada perasaan haru, ada yang tercerabut, hilang dari di sisi kanan-kiri ruang batin dan pikiranku.
Jogja-Solo, seolah jarak yang singkat, seperti aku mengayuh sepeda onthel Kraton-Nglaren.
Cahaya kemilauan itu sebenarnya sudah semakin menampak. Meski dari kejauhan terlihat kerlap-kerlip. “Ada dunia yang aku saat aku singgah di sana, apa itu?”
“Jangan pernah meratap. Hadapi kenyataan, tak ada kata menyesal.
Biar bagaimanapun, perjalanan tetaplah penuh misteri. Kekalahan demi kekalahan yang menderaku adalah hal lumrah dalam kehidupan. Tak pernah ada kata usai. Mencoba dan mencoba demi sesuatu yang kadar nilainya lebih baik, adalah akhir dari segala usaha.
* * *
Sabtu, 8 Januarai 2005
Masa depan...?! Hah, Bahh!”
Omong kosong dengan masa depan. Terlalu egois! Cinta diri! Penakut! Semestinya bukan itu yang kuresahkan. Bukan cita-cita yang bersumber dari lamunan kosong. Singkirkan pikiran tamak itu jauh-jauh. Lekaslah bangun dari mimpimu itu. Singsingkan lengan bajumu. Angkat dan pikul hari-harimu dengan senyum. Tunaikan kewajibanmu sebaik mungkin, karena kapan saja nyawa terenggut. Sempurnakan kemanusiaanmu kawan!
* * *
Sabtu malam, 8 Januari 2004
Wulan, si gadis kecil itu menanyakan nomer teleponku. Anak TK nol besar itu terlihat gelisah mendengar bahwa esok hari aku akan meninggalkan Solo. Wajahnya terlihat murung seolah tidak merelakan kepergianku. “Kan masih ada mbak Nadhiroh. Ntar minta telepon mbak Nadhiroh saja ya,” ujarku malam itu.
Aku melihat, antrian gejolak hati yang ingin disampaikan kepadaku. Namun, keterbatasan bahasa dan masih hijaunya usia, membuatnya hanya diam tertekur. Bisa juga ia malu. Selama ini ia memang selalu dekat denganku. Pagi-pagi buta selalu mengajakku lari-lari. Pulang dari kantor minta diajari menggambar, bermain game HP, dan selalu mengajak bercanda tawa.
Satu hal yang membuatku tersentuh, bahwa perpisahan dalam kebersamaan membuat hati dirundung nestapa. Seperti juga perpisahan antara si Qais dan Layla dalam Layla Majnun. Atau antara Si Zainuddin dengan si Hayati dalam Tenggelamnya Kapal Vander Wick. Keceriaan yang terbiasa terpancar di raut wajahnya malam itu tersembunyi. Aku merasakan kepedihan hatimu, Wulan. Aku pernah merasakannya.
Jika ada ladang bolehlah menumpang mandi. Jika ada umur panjang, bolehlah berjumpa lagi. “Iyalah… kapan-kapan aku mampir ke sini. Eh, itu pasti ding…! hiburku kepadanya.
* * *
Ahad, 9 Januari 2005
Himpitan itu kembali mendera Ibu itu. Suaminya terserang inveksi lambung. Setelah beberapa hari kesal lantaran suaminya enggan makan, kini Ibu semakin dibuat tak berdaya. Kadang terjebak oleh kata-katanya sendiri yang yang pernah ia dengungkan dengan jumawa. Ongkos perawatan bisa mencapai Rp 800 ribu. Dari mana uang sebanyak itu. Sementara ia terlanjur berucap, tak akan meminta bantuan siapapun!
Ibu itu memang keras kemauanya, selain kelembutan yang ia miliki. Saat suaminya menitikkan air mata sendu, Ibu itu malah melarangnya menangis. Seolah menangis adalah tindakan pengecut.
Tidak Ibu! Menangislah, jika memang ingin menangis. Beban deritamu kan berkurang dan berangsur padam.
Ah, Ibu … kenapa cobaan itu datang saat aku akan meninggalkan kota Bengawan ini…??
* * *
Selasa, 11 Januari 2005
Suatu ketika, salah seorang yang punya bargaining power di Koran Solo pernah menceritakan kisah wartawan handal. Orang itu memuji dan mengangumi wartawan itu, di mana saat magang mencatat prestasi luar biasa. Dengan salut ia berkata, “wartawan ini dulu saat magang punya prestasi luar biasa. Akhirnya ia kami tarik menjadi wartawan, padahal saat itu ia masih kuliah,” katanya.
Beberapa kawan yang mendengar kisah itu, termotivasi semangatnya. Ingin sekali mengikuti jejak wartawan handal itu. Dan mulai saat itu terjadi kompetisi sesama mereka. Ada yang dengan cara sehat, pula ada ayang melalui dengan cara pintas, alias cari muka. Itu semua demi pekerjaan di tengah repotnya mencari duit.
Tetapi sayang, mereka tidak bertanya apa yang dimaksud handal itu. Dan benarkah hanya modal itu, ia ditarik menjadi wartawan. Tidak adakah faktor-faktor lain yang turut meluluskan nasibnya itu. Sebuah pertanyaan kritis yang harus diajukan. Dan akhirnya sekawanan wartawan itu satu persatu lepas, lantaran sambut tak bergayung. Ada yang kecewa teramat sangat, ada yang mengganggap itu sebagai angin lalu. Ada pula yang baghagia lantaran hatinya melangit luas.
Kini, pertarunganku di kota Solo usai sudah.
* * *


No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates