Monday, April 7, 2008

catatan dari sudut kampus VI


--ENAM--
Selasa siang, 30 Maret 2004
Hari-hariku terasa menegangkan bercampur bangga. Impianku untuk menggemparkan kampus terwujud sudah. Dan seperti yang kuduga, aku berhadapan dengan organ ekstra yang berlindung di bawah payung lembaga kemahasiswaan (Senat dan BEM).
Semua memang berawal dari berita yang kuturunkan kemarin. Judulnya sangat menohok; “Pembusukan!” Berita kami menguak salah tim sukses dari salah satu kandidat kursi kepemimpinan yang menabrak tata tertib pemilihan. Tentu saja itu menjadi bahan berita yang bernilai tinggi. Ada unsur konfliknya. Pelanggaran yang semula tak tercium di kampus, akhirnya menyengat baunya.
Seminggu pasca berita itu menyebar, reaksi mulai muncul. Mereka yang terpukul mulai melakukan aksi teror, intimidasi, dan mengancam akan membredel pers kampus
yang kupimpin itu. Tiap hari suasana adem-panas terasa. Setiap aku melangkah memasuki kampus, berpasang-pasang mata kurasakan mengintaiku.
Esoknya, surat penghakiman melayang ke dapur redaksi. Isinya, aku harus bertanggung jawab atas pemberitaan yang telah merugikan kepentingan mereka. Jika tidak, Bredel! Persis yang menimpa pada majalah terkemuka di Indonesia, Tempo saat orde baru bercokol kuat. Dan moment yang mendebarkan itu akhirnya meletus juga. Di sebuah ruangan, kami bersama kawan-kawan seperti terdakwa yang tengah dihakimi massal. Awak kami yang memang minoritas mau tak mau harus berhadapan dengan puluhan aktifis penguasa kampus.
Ah, tapi aksi mereka menurutku sangat murahan. Main gertak sambal. Pasang muka seram. Mengancam. Menghardik. Mengatakan jurnalisme tai kucing. Main keroyok. Dan ajian “pokonya”.
Mereka mempressure, agar kami meminta maaf kepada publik dan mengatakan bahwa berita yang kami turunkan kemarin itu bohong. Yang mereka inginkan sangat pragmatis; pembenaran. Bukan kebenaran. Mereka hanya menginginkan jago yang mereka usung lekas didaulat oleh rektorat dan segera menguasai kampus lagi. Lalu mereka akan merayakan kemenangannya. Tasyakuran. Bagi-bagi duwit.
Kami lantas menyanggupi dengan mengatakan, “Iya. Kami akan minta maaf!” Dalam hati, kami tertawa cekikikan. Tolol semua kalian. Jika tanpa alasan yang kuat, berita itu kami nyatakan tidak benar, justru akan menjadi bumerang bagi kalian sendiri. Dan aksi menjijikan kalian sekarang ini akan tercium publik. Publik akan mengetahui bahwa kalian telah melakukan aksi premanisme terhadap seorang jurnalis.
* * *
2 April 2004
Jum’at sore adalah sejarah pertamaku sebagai pembicara dalam diskusi, Politik Media Mengemas Berita. Istilah kerennya sekarang adalah framming. Bahwa intinya setiap jurnalis dalam menangkap fakta itu memiliki idiologi, cara pandang, dan aliran politik tersendiri yang akhirnya mempengaruhi juga cara pengemasan beritanya. Inilah yang kemudian menggeser paradigma lama yang menyatakan bahwa pers itu objektif, bebas nilai, dan netral. Dan jargon itu sudah lama ditinggalkan orang. Basi, kalau ada yang masih mengagungkan kenetralan pers. Justru pers akan berwibawa jika dia berpihak. Berpihak pada kebenaran.
Acara yang digelar pers kampus kawakan Jogja itu, sebenarnya dipicu oleh berita yang bikin geger di kampus kemarin. Dan aku selaku Pemrednya, tak bisa berdiam diri begitu saja. Pertanyaan-pertanyaan terselubung mengalir kepadaku. Rasa penasaran beberapa mahasiswa dan dosen membuat mereka ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Ada yang langsung datang ke dapur redaksi. Ada yang sambil ngobrol di angkringan. Ada pula yang melalui acara diskusi formal seperti acara itu.
Tapi memang benar kata orang. Iklim diskusi di Jogja sekarang lagi kering. Tak lagi merangsang seperti seperti dulu. Di mana nyaris di setiap sudut kampus, di taman-taman, di sekeliling serambi masjid, siang, sore, malam, selalu saja terlihat lingkaran kecil anak-anak muda. Dan diskusi yang kuhadiri itu hanya beberapa gelintir manusia yang hadir. Mungkin benar kata orang, Jogja sebagai kota pencetak manusia bibit unggul tinggalah romantisme. Dan sebentar lagi tunggulah, akan menjadi mitos. Slogan yang benar sekarang adalah Jogja berhati iklan konsumerisme. “Kalau ke Jogja, belanja ah,“ demikian bunyi salah satu iklan yang mentereng di jalan raya.
Mulai sekarang aku nampaknya musti merenungkan kembali langkahku selama ini. Ingin terus dalam ruang pemikiran, dalam karir atau mendalami kesenian yang aplikatif. Bukan seperti yang disarankan Faisal Kamandobat kemarin. Wacana yang ia wedarkan kepadaku itu memang lumayan hebat. Cuman aku mensangsikan seberapa besar kontribusinya di tengah-tengah umat. ...
* * *
Sabtu, 3 April 2004
Hari ini barangkali adalah hari yang termasuk dalam kategori “sepi”. Sendiri aku di langgar pers kampus. Cuaca yang gerah dan panas membuat kakiku merasa berat untuk beranjak keluar. Aku tiba-tiba terkenang pondokku yang telah kutinggalkan. Terkenang Indani yang jauh di rumahnya. Terkenang guru ngajiku di Kediri. Terkenang Ibu bapakku yang terserang sakit. Terkenang kakak-kakakku.
Ah, Indani seandainya engkau tak pulang ke negeri anginmu. Aku akan mengajakmu berbagi rasa. Indani, aku tak tahu sedang apa kau sekarang?
Malam Jum’at kemarin, Indani berbicara terus-terang kepadaku. Malam Sabtunya, kami bersama-sama ke alun-alun utara keraton, menyaksikan pagelaran Sekaten. Seperti ABG yang baru mengenal cinta monyet, kami membeli es krim. Dan di warung lesehan milik nenek itu, kami juga makan mie bersama dalam satu mangkok berdua. Lucu sekali! Satu hal yang ingin kusampaikan kepadanya, aku ingin berguru pada kesetiaan. Dia pun hanya tersenyum simpul mendengarnya. Tersenyum karena konyol, atau karena bahagia. Aku tak peduli.
Tuhanku, aku yakin akan semua qudrohmu. Karuniakan kepada hamba ketetapan hati bahwa dia seorang yang terbaik untukku. Musnahkan perasaan was-was, ketakutan dan keringkihan yang bersarang di hati hamba.
Sampai detik ini, aku tak punya aktifitas yang berarti apa-apa di kampus. Seonggok tubuhku yang malas ini kubiarkan terbaring di lantai. Tiba-tiba aku terkejut. Tak terasa sudah tiga jam aku terlelap.
* * *
Sabtu, 10 April 2004
Sepertinya keberadaanku di komunitas Teater mulai mendapat sorotan dari berbagai pihak. Terutama yang senior. Aku tahu, semua karena hubunganku dengan Indani selama ini. Mereka nampaknya mulai mencium gelagat kurang sehat. “Bisa mengganggu proses berkesenian,” kata-kata ini yang santer terdengar. Tapi, aku meyakinkan Indani, agar tak terlalu merisaukan kata mereka.
* * *
Senin, 12 April 2004
Minggu, usai aku bikin cerpen singkat, aku mendapat kabar duka dari temanku, Iril bahwa simbah Kiai hari ini pulang ke haribaan-Nya.
Ah, simbah Kiai... kenapa engkau begitu cepat pergi. Masih terngiang kata-katamu saat itu; ”Mugi-mugi ilmunipun paring manfaaat dunia-akhirat,”
Tak kuduga, petuah-petuah yang membuatku melingkan air mata kala itu adalah kata-kata terakhirmu yang sempat kuamini.
Saat itu engkau terbaring lemah, menahan sakit yang teramat berat. Nafasmu kala
itu tersengal-sengal. Namu engkau tak mengeluh sedikitpun pada-Nya. Engkau malah terus memngalirkan dzikir di bibirmu yang bersahaja itu. Engkau terus menebar doa kasih sayang kepada setia santri-santrimu.
Ah, simbah Kiai engkau teramat mulia. Engkau teramat sederhana menjalani hidup ini, jauh dari segala ketamakan dunia. Semua yang kau miliki kau serahkan buat santri-santrimu. Engkau tak pernah memikirkan nasibmu sendiri.
Simbah kiai, kata-katamu yang lembut, tak pernah membentak itu akan kuingat selalu. Semoga Allah membalas semua kebaikan yang engkau tebar di dunia ini. Di surga firdaus adalah tempat yang layak buatmu.
* * *


No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates