Monday, April 7, 2008

catatan dari sudut kampus VII


--TUJUH--
Kediri, Jum’at, 24 April 2004
Ngeri! Sungguh ngeri, jika mikirin terus kondisi psikis bapakku akhir-akhir ini. Ambisinya untuk bertarung di gelanggang politik tak pernah surut. Tiap hari yang diomongkan selalu politik, sejarah G 30 S/PKI dan sentiment keagamaan. Kepada siapa saja. Tak peduli siap dia. Aku heran, mahluk macam apa yang telah merasuki jiwa bapak, hingga di usianya yang terus menyusut, tak pernah terbesit untuk merunduk. Apa memang hidayah Allah belum turun kepadanya? Aku dan semua keluarga dibikin pusing tujuh keliling oleh keanehan sikapnya yang tak bisa ditolerir itu.
Jika ada yang mencoba sedikit saja meluruskan, maka boro-boro adem-ayem. Bisa-bisa piring melayang atau gebrak meja. Begitulah kondisi bapakku. Ia seperti raja arogan dalam istana mainan. Rewelnya minta ampun. Semua kata-katanya harus diiyakan. Didengarkan dengan tenang. Apa yang menjadi kemauannya, harus dituruti saat itu juga. Tak ada ampun pokoknya. Dia mudah sekali tersinggung. Darahnya cepat naik. Dan kalau sudah begini, jangan harap suasana bisa tenang, aman dan terkendali.
Sekarang, ambisinya mencalonkan kakakku menjadi kamituwo (perangkat desa) membara. Kiamat sudah! Pikiran aneh dari siapa itu, hingga tiba-tiba punya ide gila itu. dan tahu sendiri kan, mendengar omongan bapak itu, kakakku tertawa nyengir. Kok bisanya punya ide seperti itu?!
Tapi tiap hari, jabatan kamituwo itu terus membayangi pikiran Bapak. Tiap hari angan-angannya pingin anaknya menjadi perangkat di desanya. Bapak begitu antusias dan sangat menyala-nyala. Ia sangat yakin, pendukungnya ada di mana-mana. “Inikan zaman reformasi. Jadi tak perlu pakai uang segala!” itulah kata-kata yang sering ia ucapkan. Reformasi gombal! Tahunya situasi hanya dari layer TV, tapi yakinnya sudah tak ketulungan. Merasa paling pinter, jagoan, sok tahu!
Bapak…bapak…dosa apa yang telah kau perbuatdulu, hingga kini penyakit jasmani dan rohanimu yang kronis itu tak kunjung sembuh. Aku sebagai anakmu, sudah sangat malu sekali menaggung beban omongan orang-orang tentangmu.
Allahku…Engkau penolong kami. Sembuhkan penyakit lahir batin bapak kami. Redamkan segala gemuruh nafsu yang menguasai jiwa bapak kami.
* * *
26 April 2004
Sujud syukur, memasrahkan segala persoalan hidup kepada-Nya. Buat apa terlalu risau dengan hidup ini. Buat apa bingung dan kalang kabut dengan keanehan-keanehan di dunia ini. Sudahlah, hidup yang hanya sekali dan sekejap ini buat apa jika tidak untuk mencintai-Nya dengan sepenuh hati. Lapangkan jiwamu, Areta!
[Refleksi dalam acara dzikir bersama]
* * *
Senin, 26 April 2004
Malam ini aku harus menyampaikan semua hasil “semediku” di Kediri beberapa hari ini. Ya, aku akan menuliskan di buku harian ini sebelum Indani menanyakan. Aku tahu, dia akan malu-malu untuk langsung bertanya padaku. Namun aku yang harus bisa memahami perasaan wanita. “Pencerahan apa yang Mas peroleh dari Kediri?” mungkin itulah pertanyaannya.
Indani…Indani pencerahan itu sudah jatuh saat sehari sebelum kepulanganku. Jika motivasi awalku pulang dipicu “kemuraman” hati, namun saat itu telah beralih. Bukan lagi melulu karena duka nestapa akibat tangan perpisahan yang kau ulurkan, namun karena aku sudah rindu ingin pulang ke rumah…
* * *
Rabu, 28 April 2004
Usai kepulanganku dari Kediri, ada perubahan besar dalam orientasi hidupku terutama aktifitasku di kampus. Aku ingin cepat lulus kuliah. Tak ada tawar-menawar. Keputusanku ini harus kuamini sendiri. Memang kondisilah yang memaksaku untuk bersikap demikian. Kondisi-kondisi itu tak lain adalah faktor biaya kuliah. Selama ini biaya kuliahku ditanggung oleh kakak sulungku yang belum berumah tangga. Jika kelak sudah berumah tangga, apakah aku masih terus merengek? Malu rasanya!
Kedua, adalah desaku. Guru didesaku tentu telah menanti kepulanganku dengan gerlap dan asa. Membangun desa kecilku. Dan aku akan berguru pada kearifan desa. Aku yakin, guruku tentu juga memikirkan nasibku mendatang. Apa pekerjaaanku nanti, meski sebenarnya aku malu juga jika harus menggantungkan nasib pada guruku.
Ketiga, aku terlanjur menyayangi Indani. Rasanya juga tak mungkin, jika terus-terusan aku dalam kebebasan dan tak bertanggung jawab. Pada akhirnya, aku juga akan melewati, masa-masa itu. Menikah dan berumah tangga. Dan pekerjaan adaah keniscayaan bagiku. Tiga hal itulah yang mengilhamiku untuk merubah orientasiku selama ini.
Masjid Kampus, 17.05 WIB, 28 April 2004
Bismillah...
Kumulai, petang hari ini menorehkan kembali penaku di lembaran buku harian ini. Ada permasalahan! Hari ini, permasalahan itu menggiringku terus dalam permenungan. Ada upaya-upaya manusia yang tak berbuah. Pada intinya, manusia hanyalah kapas kecil yang terhempas di padang ilalang. Ia tak berdaya sama sekali. Upaya-upaya apapun pada muara akhirnya tetaplah Allah yang menentukan. Manusia terus dalam ketakberdayaaan. Adalah suatu kesombongan, jika sampai mengaku; ini adalah daya dan upayaku...
Ya, Robb...tak ada yang lain, yang mampu menyelesaikan semua perkara hamba, selain Engkau! Curahkan kasih sayangmu, Allah...
Hingga detik ini, aku hanya berharap pada-Mu Allah...hanya pada-Mu saja!
Semua yang telah Kau ajarkan kepada hamba-Mu ini, hanya tinggal menanti izin-Mu.
Rabb...
Kabulkan pengharapan hamba...
Teguhkan keyakinanku...
Lapangkan jiwaku...
[kala mengaku pasrah, kalah...]
* * *
29 April 2004
Aku yakin do’a Pak Tua padaku itu di dengar-Nya. Aku sangat berharap, Allah membimbingku dalam segala hal.
Siang hari, kala aku membaca buku seorang diri di rumput lapangan kampus, mendadak sosok pak tua datang kepadaku. Dia mengaku dari Grobogan. Wajahnya pucat. Tubuhnya kulihat gemetar. Bajunya kusut dan kusam. Kedua tangannya bersilang dan menengadah meminta uang aku.
“Terima kasih Nak. Saya tak bisa memberi apa-apa! Hanya Gusti Allah yang mampu membalasnya,” demikian do’a dari mulut pak tua yang seketika pergi meninggalkanku. Mendadak jiwaku tergetar, ketika pak Tua itu menyebut nama “Allah”. Aku merinding. Aku menduga kuat, Pak tua itu adalah makhluk utusan Allah yang menguji sekaligus memompa keimananku. Sayang, mata batinku tak setajam kaum muqorobiin yang selalu merasakan kehadiran Tuhan dalam setiap hembusan nafasnya.
* * *
5 Mei 2004
Indani, apa yang engkau pahami tentang dosa? Engkau selalu mengatakan “ini” adalah dosa. Dosa perspektif fiqh yang engkau sodorkan dan engkau pahami akan terkesan dangkal jika engkau dengan gegabah menutup diri dari dosa sosial dan dosa perspektif kesadaran. Kesadaran bahwa di luar konteks normatif yang teologis itu, masih ada wilayah yang jauh lebih sensitive. Engkau barangkali tak melakukan dosa dalam kacamata normatif agama, tapi pernahkah engkau berfikir bahwa tiap kata, tingkah polah, hingga gejolak hati itu juga berimplikasi pada orang lain: menyakiti atau tidak! Merugikan atau tidak! Meski hal itu tak kasat mata.
Indani, bukannya aku berapologi lantaran sikap dan perilakuku di matamu begitu terang telah memporak-porandakan norma dan etika agama. Salahkah aku, jika niat baikku untuk mengunjungimu, mengkomunikasikan suatu kegelisahan hati, manyatukan hati, serta meluruskan kembali berbagai persoalan yang sekian lama tak pernah terselesaikan? Burukkah, jika perbedaaan-perbedaan yang ada di antara kita yang itu rawan pertikaian dicarikan titik temunya?
Aku tak tahu, apakah dengan memalingkan mukaku saat engkau bicara, hal itu mampu membebaskanku dari neraka karena mataku tak berzina? Segitu kejamkah aturan agama? Bukankah agama selalu mengajarkan untuk meluruskan niat terlebih dahulu dalam melangkah? Bukankah niat selalu tumbuh dari kesadaran hati. Pemahaman yang tak menyertakan kesadaran hati perlu dipertanyakan kembali? Sekali lagi, sejauh manakah pemahamanmu tentang dosa?
* * *
Sabtu, 8 Mei 2004
Indani, kenapa tak jua kau kirim kabar? Engkau pulang ke negeri anginmu. Aku memikirkanmu.
* * *
Malam Jumat, 13 Mei 2004
Aku sedikit menaruh rasa iba kepada Indani. Malam ini aku tak bisa mengantarnya nonton pementasan teater UGM di auditorium kampus. Ia sebenarnya sangat mengharapkanku agar mengajaknya nonton pertunjukkan bareng. Namun pers kampus dan kawan-kawan redaksi meminta jatah waktuku. Aku harus menemani mereka meliput konsolidasi gerakan mahasiswa dalam upaya membendung kebijakan rektorat yang mengesahkan DPP (dana penunjang pendidikan).
“Gimana, nonton pentas nggak? Kok aku nggak dihampiri?” ujarnya lewat telpon semalam. Aku dapat merasakan gejolak hatinya yang bergemuruh, ingin bertemu denganku. Ah, kasihan sekali Indani...
* * *
14 Mei 2004
Pagi-pagi benar, teriakan lantang mahasiswa terdengar nyaring. Bahasa propaganda mereka melengking; tolak DPP! Ya, anak-anak berdarah muda itu berorasi. Tangan kanannya mengepal erat. Tangan kirinya menggenggam megaphone. Di depan tangga masjid itulah mereka menggelar mimbar bebas, melancarkana agitasi. Di sanalah bentuk perlawanan dan keberanian dibuktikan. Di pelataran itulah, lalu-lalang mahasiswa, dosen, pegawai kampus, bahkan orang yang mencari recehan rupiahpun terkonsentrasi. Dan tepat di hadapannya sebuah bangunan kokoh berdiri menjulang. Di gedung itulah suara mereka akan dipekikkan, meski harus berhadapan dengan sepasukan satpam kampus.
Tiap hari, serasa aneh, jika tak ada teriakan-teraiakan ”tolak DPP”. Inilah sejarah kampusku yang sangat berhasrat untuk menjadi embrio dari gerakan nasional memberantas perdagangan pendidikan. Mungkin ini impian utopis. Tapi sepertinya rencana dan strategi yang mereka godog semalam itu kelihatan matang. Mereka akan bikin gebrakan radikal yang diprediksikan akan mengundang perhatian publik nasional. Target minimalnya, melumpuhkan aktitas perkuliahan.
Semua organ pergerakan mahasiswa bersatu. HMI, PMII, KMPD, GMNI, IMM. Bahkan organ intra kampus, etnis dan tentu saja pers kampus bergabung sebagai media pengompor. Hari Senin nanti, mereka akan menggelar aksi besar-besaran. Aku tak tahu, apa yang bakal terjadi di kampusku ini?
* * *
Sabtu, 15 Mei 2004
Aku bingung, malam ini hendak menulis apa. Ini adalah malam Minggu. Malam di mana aku semestinya meluangkan waktu untuk Indani, menyatukan hati dan mengkomunikasikan sekian hal di tempat yang kondusif. Tapi tak apalah. Acara bedah novel Genijora karya sastrawati Abidah El Khaliqie itu sudah cukup untuk mengobati malam ini, meski tak ada pembicaraan serius dengan Indani.
Indani, kamu tahu nggak, saat mbak Abidah menghadapkan wajahnya ke pengunjung untuk membacakan penggalan novelnya itu? Engkau tentu juga mengamati, ia tak banyak bicara. Hanya sepatah dua patah kata sebelum membaca novelnya. Sebenarnya saat itu, aku teringat Iffah. Terus terang, senyumnya, bicaranya, kacamatanya, berdiri dan bergeraknya Mbak Abidah di atas panggung itu mirip dia, Iffah. Aku jujur. Pemenang sayembara penulisan novel nasional itu wajahnya mirip sekali dengan Iffah. Nggak ada maksud apa-apa kok. Aku hanya ingin mengatakan, bahwa Iffah itu seperti mbak Abidah itu. suerr…!Nggak apa-apa kan? Sebenarnya aku pingin sampaikan padamu malam itu juga, tapi aku takut. Akhirnya hanya keterusteranganku itu kutulis di catatan harian. Suatu saat nanti, saat kau membacanya, kau mungkin akan tersinggung.
* * *
16 Mei 2004
Hari minggu. Ada yang membahagiakanku. Ada pula yang mengecewakanku. Aku ketemu Mas Fauzil Adhim di masjid kampus UGM. Cukup menyenangkan.
Tentang Indani, dia bercerita banyak kepadaku tentang keluarganya. Dan kini cita-citaku dengannya rupanya terpasung pemahaman tradisi keluarganya yang konservatif. Orang tuanya begitu takut mendengar isu bahwa Indani bakal menikah di Jogja. Aku dikira pengikut aliran aneh-aneh yang akan menghipnotis Indani. Mungkin trauma masa lalunya yang menimpa kakaknya saat kuliah di Malang itu yang membuat keluarganya waspada denganku. Mereka khawatir anak ragilnya itu kena tenun dan kuliahnya bakal hancur berantakan.
Akhirnya, aku dan Indani sepakat untuk mencoba merampungkan kuliah lebih dulu. Cuman aku rasakan Indani jadi sangat pesimistis. “Kira-kira sanggup nggak kita menjaga komitmen bersama hingga kuliah rampung dan lekas dapat kerja,” ujarnya.
Aku sungguh tak tahu, apa yang sebenarnya diinginkan Indani. Kenapa dia memintaku agar aku mencari kekasih lain, lalu melupakan dirinya. Apa maunya? Ingin mengetehui kedalaman dan kesungguhan cintaku? Atau ia takut, jika tiba-tiba aku dengannya berpisah setelah ikatan cinta kami kokoh. Ia berpaham, bahwa jodoh itu di tangan Tuhan. Padahal bagiku, jika kita tak merebutnya dari tangan Tuhan, ya selamanya ada di tangan Tuhan.
* * *
Senin malam, 24 Mei 2004
Gila! Ini benar-benar sudah di ambang ketidakwajaran. Aksi mahasiswa, brutal. Kaca-kaca rektorat dihancurkan. Pagar, meja, papan, remuk! Dinding gedung rektorat penuh coretan sarkasme dan kata–kata makian! Darah tercecer. Sampah-sampah berserak. Batu, kayu, kaleng, sandal, sepatu adalah saksi bisu demonstrasi yang berujung chaos itu!
* * *
Jum’at, 3 September 2004
Semoga jalan terang itu bukanlah fatamorgana. Aku sudah bersemangat sekali. “Lowongan pekerjaan”. Itulah yang kutemukan malam ini di papan pengumuman kampus. Serasa ada harapan terang di hadapanku. Aku ingin mencari pengalaman
sebanyak mungkin. Ya Robb…bukalah jalan terang itu. Aku sudah pingin hidup mandiri. Membiayai hidup sendiri. Lama sudah aku menunggu-nunggu masa seperti itu. Bekerja! Aku berjanji, jika aku diterima bekerja nanti aku akan lekas meminang Indani. Ya, itu tekadku.
Namun aku tak ingin niatanku bekerja ini diketahui oleh kawan-kawanku yang lain. Juga Indani. Biarlah aku berusaha dahulu hingga berhasil. Nanti jika sudah terwujud, baru aku akan membongkar rahasia ini.
Aku berjanji tak akan berbuat yang macam-macam kepada Indaani, meski hasrat untuk sekedar menggandeng tangannya. Biarlah aku tahan dahulu. Aku ingin menjaga keutuhan cintaku dengannya. Lahir-batin. Kelak jika aku sudah syah menyentuhnya, aku pasti akan mengecup keningmu. Dan kelak akan terasa nikmat jika untuk masa kini kita berpuasa terhadap segala keinginan untuk bertemu.
Besok pagi, aku akan pulang. Aku akan meminta izin keluarga. Aku ingin bekerja!
* * *


No comments:

Post a Comment

Tentang Blog

Ini hanya cerita tentang orang biasa. Tentang ketegarannya, kesabarannya, ketekunannya, kebesaran jiwanya, dan kepasrahan hidupnya kepada pemangku jagad ini.

Terpopuler

Designed ByBlogger Templates